sukabumiNews.net – DALAM
Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i (1:413-418), Syaikh Prof. Dr. Muhammad
Az-Zuhaily membahas beberapa syarat seseorang jadi imam. Beberapa syarat dari
beliau bisa dijadikan ketentuan untuk menjadi imam saat shalat di rumah sebagai
berikut:
Shalat imam harus sah
dengan memenuhi rukun dan syarat sah shalat.
Imam tidak boleh
seorang ummi, sedangkan makmum adalah qari’. Yang dimaksud
dengan ummi adalah
tidak benar dalam membaca surah Al-Fatihah.
Imam tidak boleh
wanita dan makmumnya laki-laki. Yang dibolehkan adalah jika imamnya wanita
untuk mengimami jamaah wanita, di mana imam wanita tadi berdiri di tengah
jamaah wanita. Imam laki-laki yang bersendirian boleh juga mengimami banyak
wanita atau bersama jamaah laki-laki, posisi jamaah wanita berada di belakang
jamaah laki-laki.
Ada kisah bahwa Umar pernah mengimami jamaah wanita dalam
shalat tarawih pada bulan Ramadhan. Catatan: Seorang wanita dimakruhkan berdiri
di samping laki-laki dalam shalat. Jika itu terjadi, shalat laki-laki dan
perempuan itu tidak batal. Begitu pula, seorang laki-laki dimakruhkan shalat
dengan wanita non mahram. Makruh di sini adalah makruh tahrim. Namun shalat
keduanya tetap sah.
Adapun, kalau seorang laki-laki mengimami istri atau wanita
yang masih mahram dengannya, tetap sah, tidak makruh.
Sifat mustahab (yang
dianjurkan) untuk imam:
Yang didahulukan
adalah imam yang fakih (paham hukum shalat) dan yang paling bagus bacaannya.
Jika keduanya
sama-sama bagus bacaannya, yang didahulukan adalah yang paling fakih. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh Abu Bakar untuk mengimami shalat,
padahal masih ada yang lebih bagus bacaannya dari Abu Bakar dan mereka
mengumpulkan Al-Qur’an, yaitu Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin
Jabal, dan Abu Zaid.
Hendaklah
mendahulukan yang lebih tua. Yang dimaksud dengan lebih tua adalah lebih lama
dalam berislam. Jika ada yang lebih tua usia, namun baru masuk Islam; lalu ada
yang muda namun berislam sejak lama, yang lebih tua tidak didahulukan. Kecuali
kalau keduanya masuk Islamnya bersamaan, yang didahulukan adalah yang lebih
tua.
Kesimpulannya, yang
dipilih jadi imam di rumah adalah:
Yang betul dalam
membaca surah Al-Fatihah.
Imam yang lebih paham
hukum shalat lebih didahulukan daripada yang bagus bacaannya. Anggota keluarga
yang paham shalat bisa jadi ayahnya atau anaknya yang sekolah di pesantren.
Shalat wanita di
rumah
Syaikh Muhammad
Shalih Al-Munajjid mengatakan,
صَلاَةُ المَرْأَةِ
فِي بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِي المَسْجِدِ ، سَوَاءٌ الفَرِيْضَةُ أَوْ
النَّافِلَةُ ، وَمِنْ ذَلِكَ صَلاَةُ التَّرَاوِيْحِ .
“Shalat
wanita di rumahnya lebih afdal daripada di masjid, baik shalat fardhu maupun
shalat sunnah, termasuk pula shalat tarawih.” (Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab,
no. 222751)
Dalam Al-Liqa’
Asy-Syahri, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan,
صَلاَتُهَا التَّراَوِيْحُ
فِي البَيْتِ أَفْضَلُ ، لَكِنْ إِذَا كَانَتْ صَلاَتُهَا فِي المَسْجِدِ أَنْشَطُ
لَهَا وَأَخْشَعُ لَهَا ، وَتَخْشَى إِنْ صَلَّتْ فِي البَيْتِ أَنْ تُضِيْعَ صَلاَتُهَا
، فَقَدْ يَكُوْنُ المَسْجِدُ هُنَا أَفْضَلُ
“Shalat
tarawih di rumah itu lebih afdal bagi muslimah. Namun jika ia shalat di masjid
membuatnya lebih semangat dan lebih khusyuk, juga khawatir kalau shalat di
rumah akan lalai dari shalat, dalam kondisi ini, shalat di masjid lebih afdal.”
Membaca Al-Qur’an
dari mushaf atau dari gawai yang terdapat aplikasi Al-Qur’an saat shalat
tarawih
Syaikh Ibnu Baz
rahimahullah berkata,
إِذَا دَعَتِ الحَاجَةُ
أَنْ يَقْرَأَ مِنَ المُصْحَفِ ؛ لِكَوْنِهِ إِمَامًا ، أَوِ المَرْأَةُ وَهِيَ تَتَهَجَّدُ
بِاللَّيْلِ ، أَوْ الرَّجُلُ وَهُوَ لاَ يَحْفَظُ : فَلَا حَرَجَ فِي ذَلِكَ
“Jika
memang dibutuhkan membaca Al-Qur’an dengan mushaf (saat shalat) karena ia
menjadi imam atau wanita yang sedang shalat tahajud pada malam hari atau ada
yang tidak menghafalkan Al-Qur’an, tidaklah masalah ia membaca dari mushaf.”
(Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb, 8:246)
Imam Bukhari
membawakan dalam kitab sahihnya,
وَكَانَتْ عَائِشَةُ
يَؤُمُّهَا عَبْدُهَا ذَكْوَانُ مِنَ الْمُصْحَفِ
“Aisyah
pernah diimami oleh budaknya Dzakwan dan ketika itu ia membaca langsung dari
mushaf.”
Ibnu Nashr
mengeluarkan hadits-hadits tentang masalah qiyamul lail (shalat malam) dan Ibnu
Abu Daud dalam Al-Mashahif dari Az-Zuhri rahimahullah, ia berkata ketika
ditanya mengenai hukum shalat sambil membaca dari mushaf, “Kaum muslimin terus
menerus melakukan seperti itu sejak zaman Islam dahulu.” Dalam perkataan lain
disebutkan, “Orang-orang terbaik di antara kami biasa membaca Al-Qur’an dari
mushaf saat shalat.”
Imam Ahmad berkata,
“Tidak mengapa mengimami jamaah dan melihat mushaf langsung ketika itu.” Beliau
ditanya, “Bagaimana dengan shalat wajib?” Jawab beliau, “Aku tidak pernah
melihat untuk shalat wajib seperti itu.” Lihat Masail Shalah Al-Lail, hlm.
54-55.
Menutup shalat malam
dengan shalat witir
Kita disunnahkan
menutup shalat malam dengan shalat witir (rakaat ganjil) sebagaimana disebutkan
dalam hadits,
اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ
بِاللَّيْلِ وِتْرًا
“Jadikanlah
penutup shalat malam kalian adalah shalat witir.” (HR. Bukhari, no. 998 dan Muslim, no. 751)
Jika memilih shalat
witir tiga rakaat, bisa dilakukan dengan cara dua rakaat salam, lalu satu
rakaat salam, atau tiga rakaat sekaligus salam.
Dalilnya:
1. Mengerjakan tiga
rakaat dengan pola 2 – 1 (dua rakaat salam, lalu satu rakaat salam)
Dari ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى فِى الْحُجْرَةِ وَأَنَا فِى الْبَيْتِ فَيَفْصِلُ بَيْنَ
الشَّفْعِ وَالْوِتْرِ بِتَسْلِيمٍ يُسْمِعُنَاهُ.
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di dalam kamar ketika saya berada di rumah
dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memisah antara rakaat yang genap
dengan yang witir (ganjil) dengan salam yang beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam perdengarkan kepada kami.” (HR. Ahmad 6: 83. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth
mengatakan bahwa hadits ini shahih)
2. Mengerjakan tiga
rakaat sekaligus lalu salam
Dari ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- يُوتِرُ بِثَلاَثٍ لاَ يَقْعُدُ إِلاَّ فِى آخِرِهِنَّ.
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berwitir tiga rakaat sekaligus, beliau
tidak duduk (tasyahud) kecuali pada rakaat terakhir.” (HR. Al Baihaqi 3: 28)
Sudah tarawih,
malamnya shalat tahajud lagi
Seorang muslim masih
boleh menambah shalat malam setelah tarawih karena jumlah rakaat shalat malam
tidak ada batasannya. Yang penting tidak ada dua witir dalam satu malam. Dari
Thalq bin ‘Ali, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ وِتْرَانِ فِى
لَيْلَةٍ
“Tidak
boleh ada dua witir dalam satu malam.” (HR. Tirmidzi, no. 470; Abu Daud, no.
1439, An-Nasa-i, no. 1679. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Masih bolehnya lagi
menambah rakaat setelah shalat witir, dalilnya berikut ini.
‘Aisyah
menceritakan mengenai shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat 13 rakaat (dalam
semalam). Beliau melaksanakan shalat delapan rakaat kemudian beliau berwitir
(dengan satu rakaat). Kemudian setelah berwitir, beliau melaksanakan shalat dua
rakaat sambil duduk. Jika ingin melakukan rukuk, beliau berdiri dari rukuknya
dan beliau membungkukkan badan untuk rukuk. Setelah itu di antara waktu adzan
shubuh dan iqomahnya, beliau melakukan shalat dua rakaat.” (HR. Muslim, no.
738)
Ibnul Qayyim
rahimahullah menjelaskan, “Dua rakaat setelah witir itu tanda bahwa masih
bolehnya dua rakaat setelah witir dan jika seseorang telah mengerjakan shalat
witir bukan berarti tidak boleh lagi mengerjakan shalat sunnah sesudahnya.
Adapun hadits di atas “Jadikanlah akhir shalat kalian di malam hari adalah
shalat witir”, yang dimaksud menjadikan shalat witir sebagai penutup shalat
malam hanyalah sunnah (bukan wajib). Artinya, dua rakaat sesudah witir masih
boleh dikerjakan.” (Zaad Al-Ma’ad, 1: 322-323).
Ada qunut witir
Qunut witir
disunnahkan ketika separuh kedua dari bulan Ramadhan.
Diriwayatkan oleh Abu
Daud dari sebagian sahabat Muhammad—salah seorang perawi–, Ubay bin Ka’ab
mengimami jamaah di bulan Ramadhan dan ia membaca qunut pada separuh akhir dari
Ramadhan. (HR. Abu Daud, no. 1428, hadits ini didhaifkan Syaikh Al-Albani).
Inilah pendapat yang
masyhur dalam madzhab Syafiiyah dan ada perkataan dari Imam Ahmad mengenai hal
ini. Ketika Abu Daud menanyakan pada Imam Ahmad, “Apakah qunut itu sepanjang?”
“Jika engkau mau”, jawab Imam Ahmad. Abu Daud bertanya lagi, “Apa pendapat yang
engkau pilih?” Jawab Imam Ahmad, “Adapun saya tidaklah berqunut kecuali setelah
pertengahan Ramadhan. Namun jika aku bermakmum di belakang imam lain dan ia
berqunut, maka aku pun mengikutinya.” (Masail Ahmad li Abi Daud, 66). Mereka
pun berdalil tentang riwayat dari Ibnu ‘Umar, diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dengan sanad sahih (Al-Mushannaf, 2:98).
Al-Hasan bin ‘Ali
radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengajariku beberapa kalimat yang saya ucapkan dalam shalat witir, yaitu
اللَّهُمَّ اهْدِنِى
فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِى فِيمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِى فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ
لِى فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِى شَرَّ مَا قَضَيْتَ فَإِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى
عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
“ALLAHUMMAHDINII
FIIMAN HADAIT, WA’AAFINI FIIMAN ‘AFAIT, WATAWALLANII FIIMAN TAWALLAIT, WABAARIK
LII FIIMA A’THAIT, WAQINII SYARRAMA QADLAIT, FAINNAKA TAQDHI WALAA YUQDHO
‘ALAIK, WAINNAHU LAA YADZILLU MAN WAALAIT, TABAARAKTA RABBANA WATA’AALAIT.”
Artinya: Ya Allah,
berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk, dan
berilah aku keselamatan di antara orang-orang yang telah Engkau beri
keselamatan, uruslah diriku di antara orang-orang yang telah Engkau urus,
berkahilah untukku apa yang telah Engkau berikan kepadaku, lindungilah aku dari
keburukan apa yang telah Engkau tetapkan, sesungguhnya Engkau Yang memutuskan
dan tidak diputuskan kepadaku, sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah
Engkau jaga dan Engkau tolong. Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi)” (HR. Abu
Daud, no. 1425; An-Nasai, no. 1745; Tirmidzi, no. 464. Syaikh Al-Albani
mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Membaca doa setelah
witir
Ada dua doa yang bisa
diamalkan:
[1] Dari Ubay bin
Ka’ab; ia berkata,
فَإِذَا سَلَّمَ قَالَ
:« سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ». ثَلاَثَ مَرَّاتٍ يَمُدُّ بِهَا صَوْتَهُ فِى
الآخِرَةِ يَقُولُ :« رَبِّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوحِ »
“Jika
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam, beliau mengucapkan,
‘SUBHAANAL MALIKIL QUDDUUS’ sebanyak tiga kali; ketika bacaan yang ketiga,
beliau memanjangkan suaranya, lalu beliau mengucapkan, ‘ROBBIL MALAA-IKATI WAR
RUUH.’” HR. As-Sunan Al-Kubra Al-Baihaqi, 3:40 dan Sunan Ad-Daruquthni, 4: 371.
Tambahan “Rabbil malaa-ikati war ruuh” adalah tambahan maqbulah yang diterima.
[2]
اللَّهُمَّ إِنِّي
أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ
مِنْكَ لاَ أُحْصِى ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
“ALLOOHUMMA
INNII A’UUDZU BI RIDHOOKA MIN SAKHOTIK WA BI MU’AAFAATIKA MIN ‘UQUUBATIK, WA
A’UUDZU BIKA MINKA LAA UH-SHII TSANAA-AN ‘ALAIK, ANTA KAMAA ATSNAITA ‘ALAA
NAFSIK.” (Dibaca 1 kali)
Artinya: Ya Allah,
aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemarahan-Mu, dengan keselamatan-Mu
dari hukuman-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa-Mu. Aku tidak mampu
menghitung pujian dan sanjungan kepada-Mu, Engkau adalah sebagaimana yang
Engkau sanjukan untuk diri-Mu sendiri. (HR. Abu Daud, no. 1427; At-Tirmidzi, no.
3566; An-Nasa’i, no. 1748; dan Ibnu Majah, no. 1179. Al-Hafizh Abu Thahir
mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Berniat puasa pada
malam hari
Niat berarti
al-qashdu, keinginan. Niat puasa berarti keinginan untuk berpuasa. Letak niat
adalah di dalam hati, tidak cukup dalam lisan, tidak disyaratkan melafazhkan
niat. Berarti, niat dalam hati saja sudah teranggap sahnya.
Muhammad Al-Khatib
berkata,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ وَمَحَلُّهَا القَلْبُ وَلاَ تَكْفِي بِاللِّسَانِ قَطْعًا وَلاَ يُشْتَرَطُ
التَّلَفُّظُ بِهَا قَطْعًا
“Sesungguhnya
setiap amalan tergantung pada niat. Namun niat letaknya di hati. Niat tidak
cukup di lisan. Bahkan tidak disyaratkan melafazhkan niat.” (Al-Iqna’, 1:404).
Madzhab Syafii
menganjurkan untuk melafazhkan niat di lisan bersama dengan niat dalam hati.
Niat sudah dianggap sah dengan aktivitas yang menunjukkan keinginan untuk
berpuasa seperti bersahur untuk puasa atau menghalangi dirinya untuk makan,
minum, dan jimak khawatir terbit fajar. Lihat Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh
Asy-Syafi’i, 2:173.
Dalil niat harus ada
pada malam hari adalah hadits dari Hafshah—Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha–,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ
الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
“Siapa
yang belum berniat di malam hari sebelum Shubuh, maka tidak ada puasa
untuknya.” (HR. An-Nasai, no. 2333; Ibnu Majah, no. 1700; dan Abu Daud, no.
2454. Syaikh Al-Albani mensahihkan hadits ini).
Shalat tarawih cukup
di rumah saja saat pandemi corona karena resiko berkumpulnya orang banyak akan
mudah terjangkiti virus
Hal ini menimbang
kaedah fikih,
لاَ ضَرَرَ وَلاَ
ضِرَارَ
“Tidak
boleh memberikan mudarat tanpa disengaja atau pun disengaja.”
دَرْأُ المَفَاسِدِ
مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ المَصَالِحِ
“Menolak
kerusakan didahulukan daripada mencari kemaslahatan.”
المَشَقَّةُ تَجْلِبُ
التَّيْسِيْرُ
“Kesulitan
menyebabkan adanya kemudahan.”
Orang yang punya uzur
tetap mendapat pahala seperti keadaannya tatkala tidak ada uzur
Dari Abu Musa
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ
أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika
seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), maka dicatat
baginya pahala sebagaimana kebiasaan dia ketika mukim dan ketika sehat.” (HR.
Bukhari, no. 2996)
Dari hadits itu, Ibnu
Hajar Al-Asqalani mengatakan,
وَهُوَ فِي حَقّ مَنْ
كَانَ يَعْمَل طَاعَة فَمَنَعَ مِنْهَا وَكَانَتْ نِيَّته لَوْلَا الْمَانِع أَنْ يَدُوم
عَلَيْهَا
“Hadits
di atas berlaku untuk orang yang ingin melakukan ketaatan lantas terhalang dari
melakukannya. Padahal ia sudah punya niatan kalau tidak ada yang menghalangi,
amalan tersebut akan dijaga rutin.” (Fath Al-Bari, 6:136)
Kesimpulannya, kalau
kebiasannya adalah shalat tarawih di masjid saat tidak pandemi, pahala tersebut
bisa diraih saat ini walau shalat tarawih di rumah saja.
Ringkasan panduan
shalat tarawih saat pandemi corona
Hukum shalat tarawih
di bulan Ramadhan adalah sunnah muakkad. Shalat yang penuh keutamaan ini jangan
sampai ditinggalkan walaupun saat ini melaksanakannya di rumah saja karena
adanya mudarat jika kumpul bersama di masjid.
Waktu shalat tarawih
adalah antara waktu shalat Isya hingga terbit fajar Shubuh, bisa dilakukan pada
awal malam, maupun akhir malam (sepertiga malam terakhir) yaitu menjelang
sahur.
Shalat tarawih bisa
dilakukan dengan rakaat yang sedikit atau banyak. Yang tepat, jumlah rakaat
shalat tarawih tidak dibatasi. Kalau biasa merutinkan sebelas rakaat, baiknya
di rumah dijaga dengan sebelas rakaat.
Shalat tarawih
dilakukan dengan dua rakaat salam, dua rakaat salam. Shalat tarawih bisa pula
dilakukan dengan empat rakaat salam, empat rakaat salam sebagaimana
pendukungnya dalam hadits Aisyah.
Shalat tarawih bisa
dilakukan berjamaah bersama keluarga, atau bisa seorang diri di rumah,
tergantung mana yang dinilai maslahat.
Yang menjadi imam
adalah yang paham hukum shalat dan bagus bacaannya. Yang dipilih wajib adalah
yang benar dalam membaca surah Al-Fatihah, walau dengan keterbatasan hafalan
surah lainnya. Imam bisa dipilih ayah, kakek, atau anak laki-laki yang sudah
pantas jadi imam shalat.
Wanita muslimah tidak
disyaratkan untuk berjamaah dalam tarawih, bisa shalat sendirian di dalam
kamarnya. Kalau ia merasa kurang semangat, kurang khusyuk, atau lalai dari
shalat, ia boleh shalat berjamaah bersama keluarga di rumah.
Seorang imam boleh
shalat tarawih sambil memegang mushaf, bisa pula dengan gawainya (gadget-nya)
selama gerakannya tidak terlalu banyak dan demi kemaslahatan shalat.
Shalat malam ditutup
dengan shalat witir, bisa memilih tiga rakaat. Shalat witir tiga rakaat dapat
dilakukan dengan dua rakaat salam, lalu satu rakaat salam, atau bisa pula tiga
rakaat sekaligus salam.
Jika sudah shalat
tarawih pada awal malam, bisa juga mengerjakan shalat tahajud setelah bangun
tidur, asalkan tidak menjadikan dua witir dalam satu malam.
Ada syariat qunut
witir pada rakaat terakhir bakda rukuk. Dalam madzhab Syafii, qunut witir
dibaca pada separuh kedua dari bulan Ramadhan. Bacaan qunut witir adalah:
ALLAHUMMAHDIINI FIIMAN HADAIT, WA’AAFINI FIIMAN ‘AFAIT, WATAWALLANII FIIMAN
TAWALLAIT, WABAARIK LII FIIMA A’THAIT, WAQINII SYARRAMA QADLAIT, FAINNAKA
TAQDHI WALAA YUQDHO ‘ALAIK, WAINNAHU LAA YADZILLU MAN WAALAIT, TABAARAKTA
RABBANA WATA’AALAIT. Kalau shalatnya berjamaah, bisa diubah dengan kata ganti
jamak, contohnya:
ALLAHUMMAHDINAA, dst.
Tidak ada bacaan
khusus antara duduk shalat tarawih, juga ketika beralih dari shalat tarawih ke
shalat witir. Yang ada tuntunan adalah bacaan setelah shalat witir, yakni:
SUBHAANAL MALIKIL QUDDUUS, SUBHAANAL MALIKIL QUDDUUS, SUBHAANAL MALIKIL
QUDDUUS, ROBBIL MALAA-IKATI WAR RUUH, lalu dilanjutkan bacaan: ALLOOHUMMA INNII
A’UUDZU BI RIDHOOKA MIN SAKHOTIK WA BI MU’AAFAATIKA MIN ‘UQUUBATIK, WA A’UUDZU
BIKA MINKA LAA UH-SHII TSANAA-AN ‘ALAIK, ANTA KAMAA ATSNAITA ‘ALAA NAFSIK.
Yang mau berpuasa
esok hari harus berniat pada malam hari sebelum Shubuh. Niat puasa dalam hati
sudah teranggap berdasarkan kesepakatan para ulama. Arti niat adalah keinginan
puasa. Niat ini harus ada tiap malam dan diniatkan berpuasa wajib Ramadhan.
Semoga bermanfaat.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
Referensi:
Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab
li Asy-Syairazi. Cetakan kedua, Tahun 1427 H. Abu Zakariya Yahya bin Syarf
An-Nawawi. Penerbit Dar ‘Alam Al-Kutub.
Hasyiyah Al-Qaul
Al-Mukhtar fi Syarh Ghayah Al-Ikhtishar (Ibnu Qasim Al-Ghazi). Sa’aduddin bin
Muhammad Al-Kubi. Penerbit Maktabah Al-Ma’arif.
Lathaif Al-Ma’arif
fiimaa li Mawasim Al-‘Aami min Al-Wazhaif. Cetakan pertama, Tahun 1428 H. Ibnu
Rajab Al-Hambali. Penerbit Al-Maktab Al-Islami.
Masail Shalah
Al-Lail. Cetakan tahun 1432 H. Dr. Muhammad bin Fahd bin ‘Abdul ‘Aziz Al
Furaih. Taqdim: Syaikh Sholeh Al Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
https://islamqa.info/ar/answers/222751/كيف-تصلي-المراة-صلاة-التراويح-في-بيتها
https://islamqa.info/ar/answers/38922/هل-يجوز-ان-يصلي-التراويح-في-البيت
Beberapa tulisan
Rumaysho.Com, Arrahmah.com