Anwar Abbas Merespon Jokowi, Periode Kepemimpinannya dan Air Mata Rakyat

Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Anwar Abbas. (Istimewa) 


sukabumiNews.net,
JAKARTA
– Dunia ini tidak akan pernah selesai oleh kita sendiri. Bahkan kalau
seandainya kita sudah tidak ada pun, dunia ini akan tetap ada dan akan terus
berjalan dan berputar.

Jadi tidak ada yang
harus dicemaskan dan dirisaukan, bukankah kita sudah diingatkan oleh para
pendahulu kita lewat sebuah peribahasa yang sangat terkenal di negeri ini yang
berbunyi mati satu tumbuh seribu.

Demikian yang
disampaikan Dr. H. Anwar Abbas, M.M., M.Ag selaku pengamat sosial ekonomi dan
keagamaan yang juga sebagai Wakil Ketua Umum MUI merespon wacana diperpanjangnya
kepemimpinan Presiden Jokowi, seperti dikutip Panjimas.com.

“Tapi ini pulalah
yang sering kita lupakan, padahal guru-guru kita telah menjejali kita dengan
pribahasa tersebut sejak dari Sekolah dasar. Sebagai contoh, di masa orde lama
orang melihat bagaimana hebatnya Sukarno sebagai presiden, sehingga ada orang
yang berpandangan, bagaimanalah jadinya Indonesia tanpa dia, tentu negeri ini akan
kacau balau.

Bacaan Lainnya

Tapi kemudian apa
yang terjadi, PKI melakukan tindak tidak terpuji dengan membunuh para jenderal
sehingga tampillah Suharto menjadi pemimpin. Padahal Suharto di kalangan elit
waktu itu boleh dikatakan anak bawang alias belum ada apa-apanya. Tapi apa yang
terjadi ? beliau berhasil dan sukses menurunkan inflasi yang waktu itu sudah
sangat tinggi, sehingga beliau bisa membuat ekonomi masyarakat semakin baik dan
membaik,” papar Buya Anwar.

BACA Juga: Ideologi Pancasila di Tengah Ideologi Komunisme Internasional yang Semakin Seksi

Bahkan kata Buya
Anwar (sapaan akrab Anwar Abbas), beliau pernah diberi penghargaan oleh dunia
internasional karena berhasil membuat negerinya berswasembada dalam bidang
pangan.

Melihat begitu
berhasilnya pak Harto membangun ekonomi lewat kebijakan trickle down effect dan
menciptakan stabilitas politik lewat kebijakan security approachnya, sehingga
ketika itu muncul lagi orang yang cemas, dimana mereka khawatir akan nasib
bangsa ini kalau bangsa ini tidak dipimpin oleh Suharto, sehingga sekumpulan
para politisi dan petinggi di negeri ini waktu itu datang membujuk dan merayu
pak Harto agar beliau tetap mau maju dalam sidang umum MPR berikutnya dengan
mengatakan bahwa rakyat masih sangat membutuhkan bapak, padahal pak Harto waktu
itu sudah benar-benar ingin mundur dan sudah ingin beristirahat.

Tapi, kata Buya, karena
rayuan maut serta mulut manis dari mereka-mereka tersebut akhirnya pak Harto
menyatakan diri bersedia untuk maju lagi sehingga beliau kembali terpilih
menjadi presiden untuk kesekian kalinya.

“Tapi kemudian apa
yang terjadi ? Kelompok masyarakat yang sudah bosan dan kecewa serta
menginginkan adanya perubahan turun ke jalan, mula-mula jumlahnya sedikit,
tetapi akhirnya berubah menjadi seperti bola salju yaitu semakin membesar dan
membesar,” tuturnya.

Menurut Buya Anwar, awal-awalnya mereka
turun berdemonstrasi mengkritik pemerintah karena melihat tingginya praktek
korupsi kolusi dan nepotisme atau yang lebih dikenal dengan KKN yang dilakukan
oleh para aparat pemerintah dan kroni-kroninya.

“Tapi akhirnya karena
gerakan dan kelompok yang mendesakkan perubahan tersebut semakin membesar dan
menguat sehingga kita lihat di monas dan di depan istana penuh dengan orang
bagaikan lautan manusia, kemudian mereka bergerak ke gedung MPR – DPR, dimana
akhirnya para mahasiswa dan rakyat secara bersama-sama berhasil merebut dan
menduduki Gedung tersebut, sehingga mereka tidak lagi hanya meminta bagaimana
pemerintah supaya bisa memberantas praktek KKN, tapi menuntut dengan keras
supaya presiden turun dan mundur dari jabatan dan kekuasaannya,” urainya lagi.

Setelah melihat
situasi seperti itu para tokoh yang tadinya membujuk dan memuji-muji pak Harto
tersebut, secara bersama-sama pada balik kanan dan meminta pak Harto untuk
turun dan mundur.

BACA Juga: Beda Cerita, Wiranto Hadapi Demo Mahasiswa 1998 dan 2019

Pos terkait