Para tenaga medis dan kesehatan yang menolak pembahasan RUU Kesehatan beraksi teatrikal di depan gedung DPR Senayan Jakarta, 5 Juni 2023. [ANTARA FOTO/Galih Pradipta/foc] |
sukabumiNews.net – Pembahasan
Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan di Dewan Perwakilan Rakyat menuai
protes dari kelompok masyarakat sipil dan Ikatan Dokter Indonesia.
Salah satu alasan
yang paling mendasar adalah ribuan pasal dalam RUU Kesehatan itu disusun secara
kilat. Pelibatan publik dalam pembahasan ini juga cenderung superfisial dan
tidak optimal. Pembahasan di parlemen terkesan tertutup dan ditargetkan selesai
hanya dalam jangka waktu beberapa bulan.
Pada 19 Juni 2023,
Panitia Kerja RUU Kesehatan Komisi IX DPR RI telah menggelar rapat kerja dengan
pemerintah. Tujuh fraksi menyetujui RUU Kesehatan dibawa ke rapat paripurna
untuk disahkan sementara dua fraksi menolak.
Namun, tingginya
resistensi dari sejumlah kelompok masyarakat sipil hingga organisasi profesi
kesehatan tampak menjadi pertimbangan bagi DPR menunda pengesahan RUU di
paripurna.
Pemerintah dan DPR
berdalih bahwa RUU Kesehatan harus selesai sebelum masa kampanye pemilihan umum
yang dimulai pada November 2023 untuk mendorong transformasi kesehatan.
Secara substansi dan
struktur, beberapa ahli mengkritik RUU ini tampak belum cukup manjur untuk
pembenahan sistem kesehatan yang dibutuhkan Indonesia.
Walau RUU ini
menawarkan sejumlah pembaharuan, tapi ada beberapa hal krusial yang perlu
menjadi perhatian kita baik dari aspek proses legislasi maupun substansi pasal
per pasal. Terlebih mengingat bahwa regulasi ini pasti akan berdampak secara
langsung dan tidak langsung ke kesehatan masyarakat.
Paket kejar
tayang
Sejak akhir tahun
2022 telah bergulir wacana akan adanya omnibus law bidang kesehatan.
Pada Februari 2023
DPR menetapkan RUU Kesehatan sebagai RUU prioritas inisiatif DPR. Hanya dalam
hitungan hari, pada 7 Maret 2023 DPR menyampaikan naskah RUU tersebut kepada
Presiden. Istana kemudian menunjuk Kementerian Kesehatan dan kementerian
terkait untuk menyusun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).
Setelah melalui
proses pembahasan dan dengar pendapat publik, pada 5 April 2023 pemerintah
menyerahkan kembali naskah yang berisi 3.020 DIM kepada DPR per 25 April 2023.
Proses kemudian berlanjut hingga kini dengan pembahasan tertutup. Bahkan,
kabarnya beleid ini akan segera disahkan oleh pemerintah dan DPR.
Hal tersebut semakin
menuai protes karena publik tidak bisa mengakses naskah terakhir secara resmi
maupun tidak resmi di kanal manapun.
RUU Kesehatan yang
menggunakan pendekatan omnibus law memungkinkan pencabutan 9 UU dan perubahan 4
UU terkait kesehatan untuk penyederhanaan pengaturan.
RUU ini terdiri atas
20 bab dan 478 pasal. Isinya mencakup komponen penting sistem kesehatan:
pembiayaan, fasilitas pelayanan, sumber daya manusia, dan sistem informasi.
Selain itu, draf ini
juga menyentuh aspek tata kelola, seperti pembagian tanggung jawab pemerintah
pusat dan daerah, pembinaan dan pengawasan, penyidikan hingga ketentuan pidana.
Pemerintah
menarasikan bahwa RUU kesehatan merupakan upaya esensial untuk mendorong target
transformasi sistem kesehatan pada 2024. Fokusnya terutama pada 6 pilar, yaitu
layanan primer, layanan rujukan, sistem ketahanan kesehatan, sistem pembiayaan
kesehatan, SDM kesehatan, dan teknologi kesehatan.
Kontroversi RUU
Kesehatan
Sebenarnya, RUU
Kesehatan dapat menjadi peluang untuk menyederhanakan dan harmonisasi regulasi
terkait kesehatan.
Perlu kita sadari,
beberapa UU terkait kesehatan membutuhkan pembaruan dengan konteks, kebutuhan,
dan regulasi terkini. Sejumlah undang-undang terkait kesehatan sudah berusia
belasan hingga puluhan tahun.
Misalnya, UU
Kesehatan yang terbit pada 2009 sudah membutuhkan tambahan dan penyesuaian
dengan regulasi lainnya. Selanjutnya, UU Penanganan Wabah yang Indonesia miliki
dikeluarkan tahun 1984, sehingga membutuhkan banyak pembaruan.
Dibandingkan merevisi
UU satu per satu, pemerintah dan DPR memilih untuk menggunakan pendekatan
Omnibus Law .
Pilihan tersebut bisa
dipahami. Meski diakui bahwa ada pasal-pasal RUU Kesehatan yang memang
memberikan kebaruan dan perubahan yang dibutuhkan untuk pembenahan sistem
kesehatan nasional. Namun, ada beberapa penyesuaian pasal yang perlu disorot
justru dapat berdampak negatif terhadap transformasi yang dibutuhkan.
Pasal yang butuh
pembahasan lanjutan
Pertama, penghapusan
kewajiban alokasi anggaran kesehatan pemerintah pusat dan daerah di level
provinsi, kabupaten dan kota minimal 10% dari APBN/APBD di luar gaji. Ini
menjadi salah satu pasal yang menuai protes oleh banyak pihak juga diskusi
panjang di antara fraksi.
Kewajiban anggaran
menjadi refleksi bagaimana pemerintah berkomitmen untuk pembangunan kesehatan
di level nasional dan daerah.
Di UU Kesehatan
sebelumnya, pemerintah pusat harus menganggarkan 5% dari APBN, dan pemerintah
daerah 10% dari APBD. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah pusat telah
berhasil memenuhi kewajiban 5% tersebut, dan meningkat signifikan sejak pandemi
pada 2020.
Secara keseluruhan
pun pemerintah kabupaten dan kota di Indonesia telah mengalokasikan anggaran
kesehatan rerata sebesar 10,15% pada 2021. Memang, menurut data Kementerian
Dalam Negeri, masih ada 58 (11,3%) dari 514 kabupaten dan kota di Indonesia
yang memiliki proporsi anggaran kesehatan di bawah 10%.
Transformasi sistem
kesehatan akan membutuhkan komitmen anggaran dan kebijakan yang adekuat dari
level pusat hingga daerah. Penghapusan minimal kewajiban anggaran tersebut akan
berisiko semakin tergesernya prioritas kesehatan dengan prioritas lainnya, baik
di level nasional maupun daerah.
Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) merekomendasikan minimal anggaran kesehatan sebesar 5% dari GDP
dapat mengurangi hambatan finansial untuk rumah tangga mengakses layanan
kesehatan. Pun, mulai muncul tekanan di global bagi para kepala negara untuk
mengalokasikan anggaran kesehatan pemerintah minimal 5% dari GDP.
Dalam konteks
Indonesia, kewajiban minimal anggaran kesehatan menjadi penting mengingat kecenderungan
terjadinya pergeseran prioritas terutama akibat desentralisasi. Desentralisasi
seringkali menimbulkan variasi serta gap kebijakan dan implementasi di daerah.
Dampaknya, rencana transformasi kesehatan hanya menjadi cita-cita yang sulit
terwujud.
Kedua, transformasi
sistem kesehatan akan sulit terjadi tanpa memastikan pelembagaan kader
kesehatan. Pelembagaan ini menjadi kunci penjangkauan layanan dan informasi
kesehatan ke berbagai kelompok di komunitas.
Di dalam RUU
Kesehatan pun, kader kesehatan masih dianggap sebagai bagian Upaya Kesehatan
Berbasis Masyarakat (UKBM). Kader kesehatan tidak dimasukkan ke dalam sumber
daya manusia kesehatan (SDMK) dan tenaga penunjang atau pendukung kesehatan.
Hal ini berimplikasi
pada absennya kewajiban pemerintah untuk memberikan insentif, pelatihan, dan
supervisi ke kader kesehatan karena RUU Kesehatan belum memuat mekanisme
pelembagaan mereka. Upaya mewujudkan pelembagaan kader kesehatan tentunya akan
membutuhkan komitmen pembiayaan yang cukup signifikan.
Ketiga, pasal-pasal
terkait pemerataan tenaga kesehatan pun masih kontroversial dan belum mencapai
kesepakatan, terutama terkait produksi tenaga kesehatan, pendidikan, standar
kompetensi, dan posisi organisasi profesi.
Padahal, pasal
tersebut akan sangat krusial menentukan ketersediaan akses ke layanan kesehatan
yang berkualitas untuk masyarakat.
Pasal yang
kembali diperdebatkan
Di sisi lain,
terdapat beberapa pasal yang kembali diperdebatkan meski sudah melalui konsultasi
dan proses kebijakan sebelumnya karena munculnya celah diskusi dalam pembahasan
RUU Kesehatan.
Contohnya, mulai
muncul narasi untuk tidak mendukung dimasukkannya tembakau sebagai zat adiktif.
Padahal Pasal 154 tersebut sudah ada dalam UU No 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan. Pasal ini menjadi basis penting regulasi pengendalian tembakau di
Indonesia. Pasal ini dicoba disasar oleh pihak-pihak yang tidak sepakat dengan
upaya pengendalian tembakau.
Meski diputuskan
tetap masuk sebagai zat adiktif, RUU Kesehatan baru masih perlu menambahkan
pelarangan iklan, promosi dan sponsor industri rokok yang seringkali menjadi
kanal industri ke generasi muda Indonesia.
Serupa, akses aborsi
aman pada Pasal 448 yang dapat dilakukan dengan indikasi medis atau perkosaan
sebelum 14 minggu mulai dinarasikan untuk mundur kembali ke 6 minggu oleh
beberapa pihak.
Padahal, rekomendasi
14 minggu tersebut telah mengikuti tata laksana dan rekomendasi Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO). Rekomendasi ini juga sudah disepakati pada revisi KUHP
terbaru dan diharmonisasikan juga dengan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU
TPKS).
Penyesuaian yang
sudah baik
Tidak semua isi RUU
Kesehatan buruk, kami mencatat beberapa pasal di RUU Kesehatan sudah
disesuaikan untuk kebutuhan masyarakat dan transformasi kesehatan.
Pertama, dalam hal
integrasi layanan kesehatan primer (seperti puskesmas dan klinik) Pasal 15.
Layanan kesehatan primer di dalam RUU Kesehatan tidak lagi hanya merujuk pada
layanan kuratif, promotif, preventif, rehabilitatif, tapi juga paliatif
(layanan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien yang peluang sembuhnya kecil
di rumah) pada layanan kesehatan perorangan maupun masyarakat.
Integrasi layanan ini
juga menyadari peran penting klinik swasta, laboratorium dan surveilans sebagai
bagian integral dari layanan kesehatan primer.
Dalam RUU ini juga,
ada penekanan peran pemerintah daerah, termasuk pemerintah desa dan masyarakat
untuk pelayanan kesehatan primer yang diharapkan lebih signifikan. Mulai dari
segi anggaran, perencanaan, juga implementasi dan kebijakan.
Kedua, ada penekanan
kewajiban pemerintah untuk menyediakan akses ke layanan kesehatan primer yang
inklusif dan non-diskriminatif (Pasal 27 dan Pasal 2). Hal tersebut
berimplikasi positif pada ditambahkannya definisi masyarakat rentan di luar ibu
hamil dan menyusui, bayi, bayi di bawah lima tahun (balita), dan lanjut usia.
Lanjutkan
pembahasan dan tunda pengesahan
RUU Kesehatan
memiliki peluang untuk menjadi daya ungkit transformasi kesehatan. Namun untuk
menuju hal tersebut, kita membutuhkan waktu dan kualitas untuk memastikan
terjadinya diskusi, partisipasi, dan kesepakatan yang optimal antar berbagai
pihak dalam pembahasan RUU Kesehatan.
Mandat demokrasi
mengharuskan pelibatan dan partisipasi publik dalam proses kebijakan untuk
memastikan dampak optimal bagi kemaslahatan masyarakat.
Proses penyusunan dan
pembahasan perlu melewati partisipasi yang inklusif dan bermakna dengan
melibatkan pihak-pihak yang terdampak secara transparan dan akuntabel.
Pemerintah dan
parlemen harus memastikan keseluruhan proses berjalan sesuai prinsip UU
Pembentukan Perundang-undangan, dan kebijakan yang bermanfaat sebaik-baiknya
untuk masyarakat.
Ahmad Nurhasim (Health Editor)