Menko Polhukam Mahfud MD menyebut, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) berlebihan. [Foto: Dok RRI/Denisa] |
sukabumiNews.net,
JAKARTA – Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Partai Prima
kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan memerintahkan agar Pemilu 2024 ditunda.
Menaggapi hal
tersebut, Menko Polhukam Mahfud MD pada Kamis, 2 Maret 2023 malam dalam
keterangan terulis menyatakan, PN Jakarta Pusat membuat sensasi berlebihan
dengan landasan 4 (empat) poin hukum.
"Masak, KPU
divonis kalah atas gugatan sebuah partai dalam perkara perdata oleh PN. Bahwa
vonis itu salah, logikanya sederhana, mudah dipatahkan," kata Mahfud
seperti dikutip sukabumiNews dari KBRN, Senin (6/3/2023).
"Tapi, vonis ini
bisa memancing kontroversi yang bisa mengganggu konsentrasi. Bisa saja nanti
ada yang mempolitisir seakan-akan putusan itu benar," tutunya.
Dia juga memberikan
saran untuk KPU sebagai pihak tergugat. "Saya mengajak KPU naik banding
dan melawan habis-habisan secara hukum," ajak Mahfud.
Bahkan, dia meyakini,
apabila secara logika hukum, KPU pasti menang. "Mengapa? Karena PN tidak
punya wewenang untuk membuat vonis tersebut," ucapnya.
"Alasan hukumnya
begini,” tutur dia.
1. Sengketa terkait
proses, administrasi, dan hasil pemilu itu diatur tersendiri dalam hukum.
Kompetensi atas sengketa pemilu bukan di Pengadilan Negeri.
Sengketa sebelum
pencoblosan jika terkait proses admintrasi yang memutus harus Bawaslu. Tapi,
jika soal keputusan kepesertaan paling jauh hanya bisa digugat ke Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN).
BACA Juga: Yusril Khawatir Konflik Politik Meluas jika Pemilu 2024 Ditunda
Nah, Partai Prima
sudah kalah sengketa di Bawaslu dan sudah kalah di PTUN. Itulah penyelesaian
sengketa administrasi jika terjadi sebelum pemungutan suara.
Adapun jika terjadi
sengketa setelah pemungutan suara atau sengketa hasil pemilu, maka menjadi
kompetensi Mahkamah Konstitusi (MK). Itu pakemnya.
Tak ada kompetensinya Pengadilan Umum. Perbuatan melawan hukum secara perdata tak bisa dijadikan obyek terhadap KPU dalam pelaksanaan pemilu.
2. Hukuman penundaan
pemilu atau semua prosesnya tidak bisa dijatuhkan oleh PN sebagai kasus
perdata. Tidak ada hukuman penundaan pemilu yang bisa ditetapkan oleh PN.
Menurut
Undang-Undang, penundaan pemungutan suara dalam pemilu, hanya bisa diberlakukan
oleh KPU. Untuk daerah daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik,
bukan untuk seluruh Indonesia.
Misalnya, di daerah
sedang ditimpa bencana alam, menyebabkan pemungutan suara tak bisa dilakukan.
Itu pun bukan berdasar vonis pengadilan, tetapi menjadi wewenang KPU untuk
menentukannya sampai waktu tertentu.
3. Menurut saya,
vonis PN tersebut tak bisa dimintakan eksekusi. Harus dilawan secara hukum dan
rakyat bisa menolak secara masif, jika akan dieksekuasi.
Mengapa? Karena hak
melakukan pemilu itu bukan hak perdata KPU.
4.Penundaan pemilu
hanya karena gugatan perdata parpol, bukan hanya bertententang dengan
Undang-Undang. Tetapi, juga bertentangan dengan konstitusi yang telah
menetapkan pemilu dilaksanakan lima tahun sekali.
Kita harus melawan
secara hukum vonis ini. Ini soal mudah, tetapi kita harus mengimbangi
kontroversi atau kegaduhan yang mungkin timbul," beber Mahfud MD.
Mahfud MD adalah Guru
Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Dia
juga pernah menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi, periode 2008-2013.
BACA Juga: Berulang Kali Tolak Gugatan PT 0%, Yusril: Putusan MK Bakal Jadi Tragedi Demokrasi
COPYRIGHT © SUKABUMINBEWS 2023