Oleh: Drs. Muhammad Yamin, M.H., Ketua Dewan Syuro PP Gerakan Pemuda Islam (GPI). [Istimewa] |
Pemerintah berdalih, bahwa Perppu ini dianggap perlu mengingat
ancaman krisis ekonomi global yang arahnya memang tidak menentu. Presiden
Jokowi menganggap, risiko ketidakpastian itu yang menyebabkan pemerintah perlu
mengeluarkan Perppu Cipta Kerja untuk memberikan kepastian hukum.
Kekosongan hukum yang dalam persepsi investor, baik dalam
maupun luar, merupakan faktor penghambat kepastian berusaha. Pemerintah
berkeyakinan bahwa hal itu paling penting karena menganggap ekonomi
Indonesia di 2023 akan sangat tergantung pada investasi dan ekspor.
Haarus diakui, dunia memang tidak sedang baik-baik saja, sebagai
dampak Pandemi yang yang cukup panjang dan perang Rusia-Ukraina yang nampaknya
belum juga akan segera beakhir. Tetapi mencari jawaban instan dengan
menerbitkan Perppu Cipta Kerja merupakan sebuah upaya yang absurd. Dan hanya
terlihat sebagai bentuk pelarian dari tanggung jawab pemerintah terhadap slogan
slogan kemajuan dan ketahanan ekonomi nasional yang selama ini digembor
gemborkan.
Di sisi lain, ketika Pemerintah menetapkan Perppu ini
degan tergesa-gesa (Perppu Cipta Kerja diundangkan persis di hari yang sama
saat dikeluarkan, yaitu 30 desember 2022), Itu merupakan pembangkangan terhadap
kostitusi. Menunjukan gaya ugal-ugalan Pemerintah Jokowi yang menabrak semua
tatanan hukum dan ketata negaraan. Karena
UU Cipta Kerja telah dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat oleh Mahkamah
Konstitusi pada 25 November 2021 melalui Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020.
Dalam Putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi telah
memerintahkan pembentuk Undang-Undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka
waktu paling lama dua tahun sejak putusan ditetapkan. Apabila dalam tenggang
waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan
inkonstitusional secara permanen. Selain itu, MK juga memerintahkan Pemerintah
untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan
berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru
yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Dengan demikian, penerbitan PERPU ini merupakan
pembangkangan, pengkhianatan dan kudeta terselubung terhadap Konstitusi. ini
menunjukkan gejala akut otoritarianisme pemerintahan Joko Widodo, dan semakin
menunjukkan bahwa Presiden tidak menghendaki pembahasan kebijakan yang sangat
berdampak pada seluruh kehidupan bangsa, dilakukan secara demokratis melalui
partisipasi bermakna (meaningful participation) sebagaimana yang seharusnya
dilakukan sesuai perintah Mahkamah Konstitusi.
Sebagaimana termuat dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-undang
Dasar 1945, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa.
Dijelaskan pula dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,
Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Perppu
memiiki jangka waktunya terbatas (sementara) sebab secepat mungkin harus
dimintakan persetujuan pada DPR, yaitu pada persidangan berikutnya. Apabila
Perppu itu disetujui oleh DPR, akan dijadikan UU. Sedangkan, apabila Perppu itu
tidak disetujui oleh DPR, maka Perppu akan dicabut.
Seperti halnya, UU IKN, Minerba dan UU Omnibus Cipta
Kerja itu sendiri, penting untuk disimak apakah kemudian DPR akan mengamini
bahkan selaras dengan presiden untuk menghasilkan produk perundang-undangan
yang minim partisipasi dan kepentingan rakyat.
Antara Kegentingan yang Memaksa dan Ambisi Ibu Kota
Negara Baru
Sebagaiman halnya hampir sebagian besar negara di dunia,
ekonomi Indonesia memang sedang tidak baik-baik saja karena Pandemi dan Perang.
Tetapi kondisi ini sejatinya sudah berlangsung jauh bahkan sebelum pandemi.
Pengukuhan Indonesia sebagai salah satu dari 20 negara dengan ekonomi terkuat
(G20) hanya bersifat semu. Ihwal ini menjadi penting, mengingat kriteria dan
rumusan “Kegentingan Yang Memaksa” sebagai dasar penerbitan Perppu No. 2 Tahun
2022.
Pada pembukaan Trade Expo Indonesia ke-77 di Tangerang,
banten, 19 Nopember 2022 lalu, Presiden Jokowi menyatakan bahwa Indonesia
optimis menghadapi “ekonomi gelap” tahun 2023. Badan Pusat Statistik (BPS)
mencatat neraca perdagangan barang Indonesia pada September 2022 mengalami
surplus sebesar 4,99 miliar dolar AS. Surplus ini menjadi tren positif selama
29 bulan secara beruntun sejak Mei 2020. Dan dinyatakan sebagai modal penting
menghadapi tahun gelap 2023.
Analisdan IMF mengatakan rekening fiskal dan eksternal Indonesia jauh lebih aman dibandingkan dengan apa yang disebut "taper tantrum" 2013-14 –
istilah yang diciptakan untuk menggambarkan reaksi dari investor ketika Fed
berusaha untuk memperlambat pembelian obligasi.
kenaikan harga komoditas telah mendorong pertumbuhan yang
kuat dan juga memperlebar surplus perdagangan barang tahunan Indonesia
melampaui rekor US$50 miliar, mengubah neraca berjalan dari defisit menjadi
surplus.
Surplus perdagangan yang sehat dilengkapi dengan lonjakan
pengumpulan pajak sebesar 58,1% menjadi 1,17 kuadriliun rupiah ($75,4 miliar)
dalam delapan bulan pertama, didukung oleh penerimaan ekspor dan pertumbuhan
ekonomi yang kuat, telah mencapai kenaikan 5,4% untuk tahun 2022.
Kemudian, pada perhelatan G20 Bali Nopember lalu,
Indonesia adalah inisiator the Financial
Intermediary Fund (FIF) for Pandemic Prevention, Preparedness and Response
(PPR)-Dana pandemi untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons terkahadap
krisis ekonomi di dunia. Atau pembentukan dana pandemi (pandemic fund) yang bertujuan untuk mencegah, maupun bersiap
menghadapi, ancaman ekonomi karena pandemi di masa mendatang.
Hingga saat ini, total dana pandemi yang berhasil
dikumpulkan baru sebesar US$1,4 miliar (Rp 21,68 triliun), Indonesia
sendiri sebagai inisiator menjadi penyumbang pertama dengan sumbangan awal
sebesar sebesar US$50 juta. Bila sudah terkumpul, dana itu bisa digunakan
oleh negara anggota yang membutuhkan.
Dengan fakta-fakta diatas, sebenarnya ihwal “Kegentingan
Yang Memaksa” terkait penerbitan Perppu Cipta Kerja ini sudah terbantahkan.
Pemerintah seperti membuka aibnya sendiri dengan menyebut alasan krisis ekonomi
sebagai kegentingan, mengingat sebelumnya telah menetapkan fakta-fakta
“keberhasilan ekonomi” dan kesiapan menghadapi krisis.
Mengingat nomenklatur Perppu Cipta Kerja yang menitik
beratkan pada sektor bisnis, kemudahan berusaha dan investasi, maka ceritanya
akan menjadi lain bila dikaitkan dengan ambisi Presiden Jokowi dan kepentingan oligarki
di seputar pembangunan Ibu Kota Negara Baru.
Pembangunan di seputar IKN mengalami kemandekan karena
investor kemudian enggan untuk memenuhi janjinya. Presiden Jokowi sampai-sampai
harus mengobral tapak-tapak lahan sembari menagih komitmen pengusaha untuk berinvestasi ke megaproyek ibu kota negara (IKN). Usaha pemenuhan
ambisi Jokowi di IKN itu disampaikan dalam forum penjajakan investor yang
dilakanakan KADIN di Djakarta Theatre pada 18 Oktober 2022 lalu.
Masalahnya, untuk mempermudah langkah investor dan
pengusaha di IKN diperlukan kekuatan hukum agar investor merasa aman untuk
berinvestasi di Calon Ibu Kota Baru. Sementara UU Omnibus Law Cipta Kerja telah
dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK. Maka penerbitan Perppu Cipta
Kerja NO. 2 Tahun 2022 merupakan langkah strategis sekaligus solusi cepat untuk
menyelamatkan ambisi di IKN baru.
Patut menjadi catatan, bahwa terdapat sekelompok oligarki
di sekitar kekuasaan yang berkepentingan dengan mega proyek
Sebab setidaknya, terdapat beberapa nama yang merupakan
bagian dari oligarki tambang di wilayah IKN baru yang juga merupakan bagian
dari rezim dinasti beberapa Partai Politik peserta Pemilu 2024, bahkan Cpres/Cawapres.
Ketergesaan penerbitan Perppu Cipta Kerja menadapat
jawabannya bila dikaitkan dengan ambisi Presiden Jokowi di IKN baru dan hubunganya
dengan kepentingan politik pada Pemilu 2024.
Sama sekali tak ada hubungannya dengan “kegentingan ekonomi” atau upaya
menyelamatkan bangsa dari krisis ekonomi di tahun gelap 2023.
Sebaliknya, Perppu ini merupakan bagian tak terpisahkan
dari usaha sekelompok penguasa dan oligarki untuk melanggengkan kekuasaan,
dengan menabrak aturan ketatanegaraan, mengabaikan konstitusi, dan
mengenyampingkan kepentingan rakyat banyak.
Wallahu’alam Bisshawaab
BACA Juga: Analisa Singkat Pasal-Pasal Kontoversial dalam KUHP Terbaru