Oleh: Drs. Muhammad Yamin, M.H. (Ketua Majelis Syuro Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Islam-PP GPI) - [Foto: Istimewa] |
sukabumiNews.net – Selama setidaknya dua dekade terakhir, episode berulang Islamofobia
mengalami peningkatan yang sulit di bantah telah terjadi di Eropa dan berimbas
ke berbagai belahan lain di dunia.
Itulah yang terjadi
pada 21/1/2023 lalu di depan Keduataan Besar Turki di Stocklholm, ketika
politikus sayap kanan Denmark-Swedia, Rasmus Paludan, melakukan tindakan keji
dengan membakar Al-Quran, kitab suci bagi umat Islam yang meyakininya sebagai
firman Tuhan.
Hanya berselang satu
hari, pada 23/1/2023 politisi sayap kanan Eropa lainnya mengambil bagian dalam
adegan serupa. Politisi Belanda Edwin Wagensveld, Ketua gerakan sayap kanan,
PEGIDA, merobek beberapa bagian halaman Al-Qur’an suci sebelum kemudian
membakarnya.
Begitulah fenomena
umum yang terjadi di Eropa, beberapa tokoh politik sayap kanan yang ingin
menarik perhatian publik dan konstituen mereka, dengan menimbulkan kontroversi
melakukan tontonan (yaitu membakar Al-Quran) yang bertujuan untuk menimbulkan
kebencian dan memusuhi miliaran Muslim di seluruh dunia.
Ketika umat Islam
menuntut perhatian dan tindakan tegas
atas tindakan kontroversial tersebut, yang dengan tepat menggambarkannya
sebagai ujaran kebencian, segera mereka berdalih dengan dukungan dari pihak
berwenang setempat, menyatakan dan berargumen bahwa itu hanya sebuah tindakan
kebebasan berekspresi.
Bukan sebuah
kebetulan bagi Paludan, yang sebelumnya dinyatakan bersalah atas rasisme,
seperti juga tokoh sayap kanan Eropa lainnya memilih Al-Quran sebagai sasaran
kebencian mereka. Mereka sangat menyadari bobot kitab suci dalam kehidupan dan
identitas miliaran umat Islam, sehingga keputusan untuk membakar Al-Qur’an
adalah keputusan yang diperhitungkan dan disengaja.
Paludan memiliki
sejarah retorika rasis dan Islamofobia yang terdokumentasi, serta terlibat
dalam percakapan seksual eksplisit dengan anak di bawah umur. Secara berulang
dia telah menyerukan pelarangan dan pengusiran Muslim dan menggambarkan Islam
sebagai "agama yang jahat dan primitif". Sejak tahun 2019 hingga 2023
ini, setidaknya lima kali Paludan melakukan tindakan rasial terhadap Islam
dengan membakar halaman-halaman Al-Qur’an secara terbuka.
Jaringan Analisis
Pemantauan Ekstremis (eman-network) melaporkan, bahwa politisi sayap kanan itu
sebelumnya menyebut Al-Qur’an sebagai "buku besar pelacur" dan
"mendesak para pengikutnya untuk buang air kecil di atas lembaran halaman
Al-Qur’an".
Mengingat pandangan
anti-Muslim yang sangat jelas ini, keputusan Paludan (berkali-kali) juga Edwin
Wagensveld untuk membakar Alquran didorong oleh kebencian terhadap Islam.
Tindakan ini dilakukan oleh tokoh sayap kanan bukan untuk mengekspresikan
haknya untuk kebebasan berekspresi dan berbicara, tetapi dia memprakarsai
pembakaran Alquran karena berusaha menyerang umat Islam.
Tujuannya akhirnya
jelas, yaitu untuk menimbulkan rasa sakit dan luka bagi seluruh umat Islam di dunia,
dan menjadi pemicu bagi tindakan serupa – atau yang lebih dari itu – di seluruh
dunia.
BACA Juga: Indonesia Mengutuk Keras Politisi Swedia yang Bakar Al-Quran
Tindakan
Paludan dan Edwin Wagensveld Sebagai Sebuah Simbolisasi
Masyarakat Barat mengalami kegagalan untuk memahami bahwa hak atas kebebasan berekspresi tidak mutlak. Ada perlindungan yang diperlukan untuk memastikan seluruh masyarakat merasa aman dan adil di balik hak kebebasan berekspresi. Dan tentu ada tanggung jawab untuk menjaga hak orang/kelompok lain dibalik kebebasan siapapun.
Begitupun, hak atas
kebebasan berekspresi - dan apapun yang dilindungi atas namanya - bersifat
subyektif. Mereka yang berada dalam posisi berkuasa sering kali memutuskan apa
yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Tinjauan singkat atas kasus-kasus yang
melibatkan jurnalis, akademisi, dan aktivis hak asasi yang telah dibungkam atau
menghadapi tuntutan hukum karena pekerjaan mereka “hanya” karena mereka memberi
perhatian kritis pada pembersihan etnis Palestina di Israel, telah dengan jelas
menggambarkan subyektifitas (standar ganda) tersebut.
Contoh lain dari
subjektivitas itu bisa dilihat pada 25 Januari 2023 lalu, ketika Twitter dan YouTube tunduk pada
tekanan dari pemerintah India untuk menghapus referensi dan dokumentasi apa pun
ke situs BBC yang menaruh perhatian pada peran PM Narendra Modi dalam program
anti-Muslim Gujarat yang mematikan dan mengakibatkan meninggalnya ribuan nyawa
Muslim Gujarat pada tahun 2002.
Kejahatan rasial,
terutama yang menargetkan Muslim yang terlihat, terus terjadi, begitu pula
pembatasan dan larangan jilbab yang semakin meningkat. Tindakan vandalisme dan
pembakaran masjid tidak ada habisnya, dan di banyak negara pihak berwenang
telah mengambil tindakan yang cukup besar untuk mengkriminalisasi masyarakat
sipil Muslim, menutup organisasi dan masjid dan memenjarakan tokoh muslim.
Sama seperti
kebebasan berekspresi yang digunakan untuk membenarkan Islamofobia, hal itu
juga jarang diangkat ketika hak-hak umat Islam dibatasi. Muslim yang aktif
secara politik dan mempertanyakan kebijakan yang bersifat Islamofobia dianggap
sebagai "ekstremis" dan "simpatisan teroris", membuat
mereka rentan terhadap tuntutan pidana.
Bahkan akademisi
Muslim yang mempelajari Islamofobia pun tidak aman dari tuduhan ini, seperti
yang digambarkan dengan penargetan profesor Farid Hafez oleh otoritas Austria.
Dalam
insiden-insiden ini, hanya ada sedikit diskusi seputar hak umat Islam atas
kebebasan berekspresi. Contoh-contoh tersebut menunjukkan bagaimana hak-hak
yang tidak dapat dicabut diterapkan secara subyektif, seringkali merugikan
kelompok-kelompok yang terpinggirkan dan rentan.
Media arus utama
memperkuat kiasan anti-Muslim dengan membingkai suara-suara seruan keadilan
masyarakat muslim sebagai permusuhan dan "ekstremis", mengkonstruksi
mereka sebagai individu-individu yang berpikiran tertutup dan keras yang ingin
membungkam kritik dan debat.
Sementara itu, Pembakaran Al-Quran adalah seruan simbolis untuk kekerasan terhadap umat Islam. Ini dimotivasi oleh fanatisme anti-Muslim dan dilakukan oleh individu maupun pemerintah berwenang yang memiliki sejarah mengambil bagian dalam tindakan provokatif yang ditujukan untuk memusuhi dan melecehkan umat Islam seperti di Prancis dan Denmark, sebagai contoh.
Referensi untuk
"kebebasan berekspresi" dalam konteks seperti itu tidak lebih dari
kedok pandangan anti-Muslim, terutama karena hak Muslim untuk bebas berekspresi
semakin dibatasi di seluruh dunia. Bahkan di negara yang mayoritas muslim
seperti Indonesia dan Arab Saudi.
Kegagalan untuk
mengatasi insiden kebencian dan subyektifitas kebebasan seperti itu menciptakan
lingkungan di mana Islamofobia menjadi lebih normal terjadi di manapun di
dunia. Pada akhirnya semua itu menghasilkan lingkungan yang memusuhi dan
berbahaya bagi umat Islam.
BACA Juga: Tak Terima Al Quran Dibakar, Demonstran Turki Bakar Bendera Swedia
Apa yang
bisa dilakukan Umat Islam dan Pemerintah indonesia?
Menteri luar negeri
Swedia, Tobias Billstrom, menggambarkan tindakan Paludan sebagai
"mengerikan" tetapi merujuk pada "perlindungan kuat" negara
untuk kebebasan berekspresi dalam konstitusi Swedia sebagai alasan pihak
berwenang tidak menghentikan acara tersebut.
Amerika Serikat
menanggapi dengan cara yang sama, menggambarkan tindakan itu sebagai
"sangat tidak sopan" tetapi berhenti mengutuknya. Sangat menarik
bahwa pihak berwenang gagal (atau mungkin hanya tidak ingin) melihat insiden
seperti itu sebagai bermotivasi kebencian dan berbahaya, mengingat
kriminalisasi mereka atas perilaku serupa yang menargetkan kelompok islam yang
terpinggirkan.
Media Eropa, yang
umumnya memandang pembakaran Al-Qur’an baru-baru ini di Stockholm sebagai
provokasi, membatasi diri untuk menyampaikan reaksi dari dunia Muslim. Pers
terutama berfokus pada bagaimana insiden tersebut telah membahayakan tawaran
keanggotaan NATO Swedia yang dijegal Turki. Organisasi gereja Eropa tidak
mengeluarkan kecaman, sementara kelompok masyarakat sipil di Eropa diam saja.
Namun, tidak dapat
diterima bahwa organisasi-organisasi Muslim di Eropa dan belahan dunia lain,
bahkan tidak berusaha membuat siaran pers untuk mengutuk tindakan Paludan juga
Wagensveld. Reaksi yang diredam dapat dilihat sebagai indikator betapa nilai-nilai
agama secara bertahap terkikis.
Kurangnya sistem
hukum pidana standar di antara negara-negara Eropa menambah kesulitan untuk
mencegah lebih banyak tindakan semacam itu. Di beberapa negara, termasuk
Swedia, Denmark, juga Jerman, orang bebas menghina dan tidak menghormati agama
apa pun.
Karena tindakan
seperti membakar Alquran tidak termasuk dalam lingkup hukum pidana
internasional, nampaknya sudah waktunya negara-negara mayoritas muslim
menginisiasi Konvensi Internasional untuk melindungi situs suci, simbol
keagamaan atau praktek ibadah keagamaan. Agar dimasa depan tidak ada lagi
penodaan dan pelecehan terhadap kitab suci dan praktek keagamaan islam dengan
berkedok kebebasan berkespresi atau dlih-dalih politik internasional apapun.
Berkaca dari kasus
Nupur Sharma pada Juni 2022 lalu yang dipecat dari jabatannya sebagai Juru
Bicara Partai Bharatiya Janata (BJP) di India, setelah sebelumnya Sharma
menghina Nabi Muhammad dalam sebuah wawancara di televisi. Hal itu bisa terjadi
berkat kesatuan dan persatuan pemimpin dan penguasa muslim dunia dalam
melakukan tekanan terhadap pemerintah PM Narendra Modi.
Dalam menyikapi
kasus pembakaran Al-Qur’an dan pelecehan terhadap praktek keagamaan Islam,
bersatunya para penguasa muslim dan berbagai organisasi Islam Internasional,
akan memberi dampak nyata. Seperti yang pernah dilakukan dengan baik dalam
kasus Nupur sharma.
Hal itu bisa diawali
dengan diupayakannya sebuah Konvensi Internasional untuk melindungi Kitab suci
dan simbol serta situs suci umat islam. Dan Indonesia sebagai negara dengan
penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia bisa memulai langkah ini dengan
menginisiasi, kemudian melakukan soft diplomacy sekaligus mengajak
negara-negara mayoritas muslim untuk memulainya.
Masyarakat muslim
indonesia pun, memiliki kewajiban untuk mendukung, bahkan mendesak pemerintah
untuk memulai inisiatif tersebut.
Sudah waktunya,
muslim Indonesia dan pemerintah Indonesia melakukan aksi nyata yang bisa
memberi dampak dalam melindungi dan menjaga kehidupan keagamaan. Dan tidak
hanya berhenti pada narasi-narasi kosong dengan mengutuk, membuat pernyataan
kecaman, atau bahkan hanya sekedar memposting dan men tweet di sosial media.
Mengingat migrasi
umat Islam ke Eropa, agama harus dimasukkan dalam lingkup perlindungan yang
lebih luas, termasuk dalam dimensi hukum sekuler. Umat Islam adalah bagian dari
kehidupan publik dan praktik normatif hukum harus diterapkan sesuai dengan itu.
BACA Juga: Al Azhar Mengutuk Keras Pembakaran Mushaf Qur’an oleh Ekstrimis Swedia
Wallahu’alam