Polisi Rusia menahan seorang aktivis LGBT dan menyita bendera pelangi dalam pembubaran parade gay di Moskow, 27 Mei 2012. [Foto Ilustrasi: AP] |
Oleh: Ummu Alifah (Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK)
Setelah Afghanistan, Aljazair, Bangladesh, Brunei Darussalam, Mesir (de facto), Iran, Irak (de facto), Kuwait, Libanon, Libya, Malaysia, Maroko, Myanmar, Nigeria, Pakistan, Papua Nugini, Qatar, Arab Saudi, Somalia, Srilanka, Sudan, Suriah hingga 65 negara di dunia, kini Rusia tercatat sebagai negara yang juga resmi menolak aktivitas kaum pelangi.
Sebagaimana
diwartakan oleh kompas.com (25/11/2022), bahwa RUU yang memperluas larangan
propaganda dan tampilan LGBT telah sah disetujui oleh Parlemen Rusia pada
Kamis, 24 November 2022. Maka ke depan ekspresi dari para pelaku maupun pegiat
HAM LGBT akan mati kutu di negeri beruang merah tersebut. Sanksi berat pun
telah disiapkan dalam regulasinya, yakni denda hingga 400 ribu rubel (Rp103
juta) bagi individu yang melanggar, sementara bagi badan hukum bahkan hingga 5
juta rubel (Rp1,2 miliar).
Pihak pembuat UU
mengungkapkan bahwa tujuan dari pengesahan regulasi itu dalam rangka membela
nilai-nilai tradisional Rusia, serta hendak memberangus budaya liberal
Barat. “LGBT hari ini adalah elemen
perang hibrida dan dalam perang hibrida ini kita harus melindungi nilai-nilai
kita, masyarakat kita, dan anak-anak kita,” papar Alexander Khinstein, satu di
antara pencetus lahirnya UU yang dimaksud.
Apa yang diungkapkan tersebut sungguh sangat beralasan. Bagi siapapun yang menggunakan nalar sehat dan jernih, tentu akan sepakat betapa semua perilaku seksual sesama jenis itu adalah menyimpang dari naluri alami nan suci. Lesbian, gay, biseksual, transgender semua ini telah keluar dari fitrah sebagai manusia.
Allah Subhanahu
Wata’ala telah menciptakan bahwa setiap manusia itu berpasangan (laki-laki dan
perempuan). Sekaligus juga diberi naluri untuk saling cenderung dengan lawan
jenisnya. Di mana naluri ini akan menuntun manusia untuk memperkembangbiakkan
keturunan, sehingga didapatlah keberlangsungan hidup yang damai dan alamiah.
BACA Juga: Persis Ingatkan Agar Indonesia TidakTurut Legalkan Pernikahan Sesama Jenis
Apa yang terjadi
ketika potensi mulia tersebut dibelokkan arahnya menuju pelampiasan naluri di
luar fitrahnya? Dampaknya luar biasa mengerikan, jenis ras manusia akan terus
berkurang dan lambat laun bisa mengarah
pada kepunahan jika perilaku menyimpang tersebut terus dibiarkan eksis.
Di samping itu,
betapa perilaku LGBT menghasilkan dampak beragam penyakit berat bahkan hingga
mematikan. Situs alodokter.com (10/5/2021) menyebut bahwa ketika pelaku
transgender mengambil langkah terapi hormon, suntik silicon, sampai operasi
plastik, hal ini berpotensi menghasilkan infertilitas, tekanan darah tinggi,
pengeroposan tulang, perubahan metabolism tubuh, hingga pembekuan darah.
Bahkan kita tentu
ingat betapa penyakit menular yang sangat mematikan, dan belum didapati obatnya
hingga kini yakni AIDS dan tersebarnya virus HIV, hal itu salah satunya massif
menjangkiti para pelaku seksual menyimpang dari kaum pelangi. Begitu juga
dengan tersebarnya virus cacar monyet yang banyak menjangkiti komunitas gay.
Bisa dibayangkan ketika dampak-dampak mengerikan itu justru dibiarkan, terlebih diberi panggung dengan dilegalisasikannya kebolehan LGBT oleh negara. Yang terjadi adalah semakin masifnya kerusakan tata sosial maupun kualitas hidup manusia. Tentu jalan terbaik dan paling efektif dalam menangkal hal itu adalah dengan membuat regulasi yang melarang secara tegas semua bentuk perilaku menyimpang kaum Nabi Luth itu.
Langkah yang diambil
Rusia dalam menghadapi massifnya penyebaran ide dan perilaku LGBT tentu wajib
menjadi renungan bagi Indonesia. Meski jika ditelaah dari sisi bahwa masa lalu
Rusia itu adalah pecahan dari kekuatan Blok Timur, tentu masuk akal jika akan
terus berusaha menolak apapun yang berasal dari Barat, termasuk budaya
liberalnya. Namun bagi Indonesia, sebagai negara dengan penduduk muslim
terbesar di dunia, seperti apakah pandangan negeri ini? Dimana ajaran Islam
telah mengharamkan secara tegas LGBT. Beranikah para penguasa negeri ini
mengambil langkah untuk melarang semua aktivitas menyimpang itu dalam
regulasinya?
BACA Juga: PP Muhammadiyah Sesalkan Pihak Kedubes Inggris yang Kibarkan Bendera LGBT
Jika melihat dari
sikap abstain-nya negeri ini, rasa-rasanya sangsi keputusan tegas bisa diambil.
Dari 65 negara yang menolak LGBT dalam regulasinya, tak ada Indonesia di situ.
Sementara di antara 31 negara yang melegalkan bahkan mempersilakan pernikahan
sesama jenis, Indonesia pun tidak ada. Lantas bagaimana sikap Indonesia?
Sungguh sikap yang ambigu.
Hanya, apabila
dilihat dari track record dan sinyalemen yang muncul di negara yang konon
mengedepankan budaya ketimuran ini, sungguh bisa ditarik dugaan kuat. Betapa
atas nama HAM, Indonesia seolah “mempersilakan” pernyataan-pernyataan maupun
ekspresi yang mengarah pada dukungan terhadap kebebasan berperilaku seksual
sesama jenis.
Viralnya podcast
pesohor yang mengangkat tema Tutorial menjadi Gay adalah salah satu contohnya.
Atau ketika putri mantan presiden RI keempat, Yenni Wahid berujar bahwa negara
wajib melindungi pelaku LGBT sebagai warga minoritas karena di masa Nabi pun
ada (KNews.id, 2/12/2022). Terbaru Menko Luhut Binsar Pandjaitan mengeluarkan
statemen serupa bahwa LGBT berhak dilindungi negara (Liputanbekasi.cm,
10/12/2022).
Terlebih beberapa waktu lalu Indonesia menjadi satu di antara tiga negara di Asia Tenggara yang menjadi tujuan kedatangan utusan AS untuk HAM LGBT. Meski belakangan, karena bermunculannya beragam protes keras dari wakil masyarakat, khususnya MUI, agenda tersebut dibatalkan. Hal ini menampakkan betapa Indonesia masih ada di bawah bayang arahan sang tuan pembawa bendera kebebasan dunia.
Polemik sikap negeri
ini untuk bertindak tegas akan menolak atau menerima LGBT sungguh sangat
dipengaruhi sistem demokrasi sekuler yang dianut. Demokrasi memiliki
pilar-pilar kebebasan yang wajib dilindungi. Maka dengan alasan HAM, kaum
minoritas menyimpang pun harus diberikan ruang. Tak peduli karenanya, justru
kesehatan, keselamatan, kemuliaan dari keseluruhan warga negara dipertaruhkan.
Betapa tak masuk akalnya.
BACA Juga: Mahathir: Malaysia Tidak Dapat Menerima Perkawinan Sejenis
Asas sekuler
menjadikan negeri ini terseok pada menjalani sistem pemerintahan yang
menjauhkan aturan agama dari kehidupan. Termasuk dalam tataran bernegara,
ajaran agama tidak boleh ikut serta. Maka tidaklah mengherankan ketika agama
mengatakan haramnya perilaku kaum Nabi Luth, negeri ini tetap bergeming. Semua
dilakukan dengan alasan sekulerisme.
Padahal, jika saja
Indonesia mengambil tata aturan kehidupan yang dianut oleh mayoritas
penduduknya, maka tak perlu ambigu dalam mengambil sikap. Islam sebagai agama
sempurna memiliki seperangkat aturan yang komprehensif. Ajarannya menyentuh
semua aspek kehidupan, spiritual maupun politik. Butuh pula untuk diingat,
betapa Islam itu diturunkan oleh Sang Penguasa Jagat Raya, yang Maha Mengetahui
hakikat baik buruk, benar salah, lurus bengkok, mulai tercela, dan seterusnya.
Islam memandang bahwa
perilaku kaum Nabi Luth adalah hina, haram, dan terkategori maksiat. Sesuatu
yang haram dan maksiat itu berkonsekuensi dosa dan kemurkaan Allah apabila
dilanggar. Lebih jauh bahwa larangan Allah ketika tetap dijalankan atau sekadar
dibiarkan maka akan menimbulkan berbagai kerusakan. Oleh karenanya semua
indiviu tentu wajib menghindarinya.
“Dan (Kami juga telah
mengutus Nabi) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlan) tatkala dia berkata kepada
mereka, ‘Mengapa kalian mengerjakan perbuatan yang sangat hina itu, yang belum
pernah dilakukan seorang pun (di dunia ini) sebelum kalian?’.” (QS. Al-A’raf
ayat 80)
Maka jika saat ini perilaku tersebut telah bermetamorfosa sedemikian rupa menjadi demikian beragam jenisnya, baik lesbian, gay, biseksual, transgender, ataupun queer, interseks, atau jenis lainnya, maka hukumnya tetaplah haram. Sesuatu yang haram tentu wajib dilarang secara tegas.
Negara sebagai pilar
penerap aturan berkewajiban mengudang-undangkannya. Dengannya akan menjadikan
warga negara seluruhnya terlindungi dari terperosoknya pada perilaku dosa.
Kehidupan pun akan berjalan sesuai fitrahnya yang lurus, dijauhkan dari bala
dan musibah berupa penyakit sosial, fisik dan psikis.
Mekanisme penjagaan
negara dalam sistem Islam terhadap segenap rakyatnya dari perilaku LGBT
dilakukan secara komprehensif, mulai dari preventif, promotif, kuratif, dan
rehabilitatif. Preventif dengan menerapkan sistem pergaulan dan tata sosial
berdasarkan Islam.
BACA Juga: Bupati Cianjur Terima Data Siapa Saja ASN yang Suka dengan Sesama Jenis, Dinas Mana Saja?
Sistem pendidikan
yang berbasis syariat dan akidah Islam diselenggarakan sebagai upaya promotif
untuk mendukung teredukasinya semua rakyat terkait ketundukan pada syariat,
termasuk sadar, paham dan yakinnya bahwa LGBT adalah perilaku keji dan maksiat
yang wajib dihindari.
Dengan nuansa ruhiyah
yang kuat maka rakyat akan menghindar dan terhindar dari semua perilaku
maksiat, termasuk LGBT. Jika pun secara kasuistik muncul perilaku LGBT, negara
akan menerapkan mekanisme kuratif berupa penerapan sistem sanksi Islam dengan
pemerincian yang detil. Bagi perilaku gay, Al-Qur’an telah menegaskan,
“Barangsiapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Nabi Luth, maka
bunuhlah pelaku dan pasangannya.” (HR. Tirmidzi)
Sementara untuk
perilaku lesbi maka, berlaku hukum takzir, dimana kadar sanksinya diserahkan
kepada pengadilan (qadhi). Hal ini merujuk pada sabda Rasulullah saw. dan
penjelaan dari Ibn Qudamah dalam Al-Mughni.
Adapun untuk
biseksual, transgender dan queer, maka diperinci dari sisi mereka melakukan
perilaku homo atau lesbi, atau hubungan zina. Untuk homo dan lesbi maka berlaku
seperti di atas, jika zina maka wajib diberlakukan had berupa rajam bagi yang
sudah pernah menikah (HR Bukhari dan Muslim melalui jalur Abu Hurairah dan Zaid
Ibnu Khalid Al-Juhani), atau cambuk 100 kali untuk gadis/perjaka (Al-Qur’an
surat An-Nur ayat 2).
Mekanisme
rehabilitatif hanya akan diberlakukan bagi korban baik dari perilaku zina, homo
dan gay. Semisal anak-anak yang diperdaya untuk disodomi ataupun diperkosa.
Hal demikian akan
sempurna terlaksana jika negeri ini mengambil perspektif Islam secara kaffah.
Ke-kaffah-annya menyentuh semua lini kehidupan, ideologi, politik, ekonomi,
sosial, budaya, pendidikan, pertahanan dan kemanan. Seluruhnya wajib mengacu
pada tata aturan Islam. Karena jika setengah-setengah maka kerahmatan Islam
tidaklah dapat dirasakan secara paripurna. Negara pun akan terus dibayangi oleh
dua kekuatan besar Blok Barat dengan bendera kebebasan dan Kapitalismenya, atau
Blok Timur dengan prinsip sosialisnya.
“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhannya (kaffah), dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh ia musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah ayat 108)
BACA Juga: LPAI: LGBT Menyerang Hak Anak