Oleh : Drs. Muhammad Yamin, M.H. [Istimewa] |
sukabumiNews.net – Dibutuhkan lebih dari dua dasawarsa untuk memperbarui KUHP sebelumnya yang merupakan produk hukum kolonial Belanda. Pada 15 September 2019, sebuah panitia kerja di DPR RI menyelesaikan 628 pasal dalam RUU tersebut. Kemudian dalam tahap rancangan berkembang menjadi 632 Pasal. Akhirnya RKUHP disahkan DPR-RI pada 6 Desember lalu dengan terdiri ari 627 Pasal.
Sejak masih dalam tahap pembahasan materi RUU KUHP
telah menuai banyak kritikan. Setelah kemudian di sahkan, gelombang penolakan
pun datang dari berbagai kalangan. Protes keras dan penolakan dari dalam
negeri, misalnya dari koalisi masyarakat sipil dan YLBHI mungkin bisa di
maklumi, karena mereka merupakan elemen bangsa yang memiliki hak untuk itu.
Tetapi sangat mengherankan, ketika UU yang baru di
sahkan ini juga menuai banyak protes hingga ancaman dari lembaga dan negara
asing. Australia dan AS menyampaikan kekhawatiran dan menyoroti, terutama,
Pasal 412 tentang kohabitasi (kumpul kebo). PBB menyampaikan kekhawatiran dan
telah menyerukan kepada pemerintah Indonesia agar KUHP selaras dengan hak asasi
manusia.
Human Right Watch (HRW), sebuah lembaga NGO
internasional menyoroti setidaknya pasal-pasal yang dianggap melanggar hak-hak
perempuan, minoritas agama, dan orang-orang lesbian, gay, biseksual, dan
transgender (LGBT). HRW bahkan menyerukan agar pemimpin negara-negara di dunia
harus menyuarakan penentangan mereka terhadap KUHP yang baru ini, saat Jokowi
mengunjungi Eropa pekan ini untuk menghadiri pertemuan puncak antara kepala
pemerintahan Uni Eropa (UE) dan Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara
(ASEAN).
KUHP yang baru disahkan ini, adalah satu alat
kelengkapan bangsa dalam penegakan upaya penegakan hukum memang tidak sempurna,
setidaknya terdapat 14 poin kontoversial, yaitu:
1. Pasal 2 dan Pasal 597 tentang Hukum yang Hidup
dalam Masyarakat
Dimasukannya rumusan living law dalam KUHP merupakan
salah satu terobosan hukum yang patut dihargai. Living law esensinya adalah
hukum yang senyata-nyatanya dianut atau berlaku dalam masyarakat.
Dalam studi pluralisme hukum dipahami bahwa hukum
negara bukan satu-satunya hukum yang memonopoli perilaku warga masyarakat.
Dalam realitas keseharian terdapat hukum adat, hukum agama, kebiasaan, atau
hibridasi di antaranya, yang sama efektif keberlakuannya dalam relasi antar
warga. Hukum negara dengan supremasinya memang paling kuat daya ikatnya.
Kritik mengenai living law ini diarahkan pada Pasal 2
Ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut:
“Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak
diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak
asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab”.
Rumusan standarisasi yang dikandung pada ayat 2
diatas, seharusnya cukup sampai Pancasila dan UU NRI tahun 1945. Pancasila dan
UU NRI’45 sudah mencakup dan menyerap norma dan hukum yang ada dalam masyarakat
Indonesia, selain sudah secara rinci memuat hak-hak mendasar warga negara dan
kemanusiaan. Akan menjadi kurang tepat bila dicampur adukan dengan Konsep Hak
asasi manusia dan peradaban yang didominasi konsep barat. Yang dikhawatirkan
malah akan menegasikan hukum adat yang mestinya dijaga dan dilestarikan.
2. Pasal 218 dan Pasal 220 tentang Penyerangan dan
Harkat Martabat Presiden dan Wakil Presiden
Perlindungan terhadap Penyerangan harkat martabat
lembaga tinggi negara, diantaranya Presiden dan wakil Presiden, merupakan hal
yang umum ada di semua negara di dunia. Ide dasarnya adalah, bahwa lembaga
tinggi negara memang patut dilindungi dari upaya yang berpotensi merendahkan
aspek kelembagaan negara. Jadi, tafsirnya bukan penyerangan pejabat tinggi nya
sebagai individu.
Meski demikian, mengingat pasal tetang penghinaan
terhadap presiden dan wakil presiden telah dibatalkan MK Dalam putusannya bernomor
013-022/PUU/IV/2006, maka semua fihak perlu bijak dalam merespon Pasal 218 dan
220 ini. Mengingat di era penjajahan Belanda, rumusan tentang pasal ini sering
digunakan Penjajah belanda untuk membungkam kritik dan bahkan melakukan
penangkapan tanpa alasan.
Sehingga perlu di buat undang-undang atau peraturan
turunan terhadap kedua pasalini, yang rumusannya lebih jelas,komprehenship,
tetapi tidak mengandung unsur anti kritik.
3. Pasal 67,98,99,100,101 dan 102 tentang Pidana Mati
Hukuman pidana mati telah menjadi polemik
internasional sejak lama. Komisi Hak Asasi Manusia PBB bahkan menganggap pidana
mati melanggar HAM dan menilai Pidana mati merupakan mekanisme hukum yang
paling purba di dunia, dan harus dipertimbangkan untuk dihapuskan.
Tetapi dalam konteks KUHP, pidana mati menjadi opsi
terakhir yang dijatuhkan. Pidana mati menjadi ancaman alternatif dengan pidana
penjara waktu tertentu, yaitu paling lama 20 tahun dan pidana penjara seumur
hidup.
Pidana mati juga dapat dijatuhkan dengan masa
percobaan selama 10 tahun apabila memenuhi persyaratan. Jika terpidana selama
masa percobaan menunjukkan perbuatan terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi
hukuman penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden.
Pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya
terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dan mengayomi masyarakat.
Dalam kaitan ini, KUHP sebagai upaya kodofikasi sistim penegakan hukum memang
harus dimasukan, karena kan berfungsi sebagai peberi efek jera terhadap
kejahatan atau pelanggaran hukum berat.
4. Pasal 252 tentang Menyatakan Diri Dapat Memiliki
Kekuatan Gaib
Praktek yang berhubungan dengan issue-issue hal gaib
dan sejenisnya telah berdampak luas dan merugikan banyak orang, sehingga wajar
kalau pengaturan dan pemidanaannya diatur sedemikian rupa, sehingga mencegah
penyebaran lebih luas yang berpotensi merugikan rakyat dan bangsa. Sebelumnya
pelaku yang mencoba mengambil keuntungan dari merugikan orang lain dengan
mengaku-ngaku memiliki kekuatan gaib, sulit disentuh hukum.
Pengakuan tindak pidana ini sebagai tindak pidana baru
khas Indonesia yang perlu dikriminalisasi karena sifatnya yang sangat
kriminogen, atau dapat menyebabkan tindak pidana lain. Dimasukkannya pemidaan
hal-hal Takhayul bid’ah dan Khurafat, dala KUHP menjadi salah satu terobosan
positif dari KUHP.
5. Pasal 276 tentang Dokter atau Dokter Gigi yang
Melaksanakan Pekerjaannya Tanpa Izin
Pemerintah telah menghapus pasal 276 RKUHP yang
mengatur tentang pidana dokter atau dokter gigi yang melaksanakan pekerjaan
tanpa izin. Penghapusan pasal tersebut karena telah diatur dalam Undang-Undang
Praktik Kedokteran.
6. Tentang Contempt of Court
Pemerintah mengubah formulasi Pasal 280 yang mengatur
tetang pidana terhadap pengadilan. Terutama pada pasal yang menyatakan setiap
orang yang tanpa izin merekam, mempublikasikan secara langsung atau
memperbolehkan untuk mempublikasikan proses persidangan yang sedang berlangsung.
Maka alasan pasal ini harus diperbaiki adalah karena
pasal ini mengandung nilai subjektifitas yang sangat tinggi. Hakim bisa dengan
mudah memberikan klasifikasi bahwa seseorang contempt of court tanpa disertai
alasan yang dibenarkan secara hukum. Utuk ituperlu ada rumusan yang lebih jelas
dan konkrit megenai Contempt Court, atau paling tidak, diatur dalam KUHAP yang
akan dirumuskan kemuian.
7. Pasal 278 tentang Unggas yang Merusak Kebun yang
Ditaburi Benih
Pemerintah dan DPR menambahkan frasa “yang menimbulkan
kerugian” pada Pasal 278 yang mengatur, bahwa setiap orang yang membiarkan
unggas atau ternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih
atau tanaman milik orang lain.
Perubahan ini membuatnya menjadi delik materiil. Pasal
ini dibuat untuk melindungi para petani dan penyempurnaan dari KUHP sebelumnya.
“Setiap Orang yang membiarkan ternaknya berjalan di kebun,
tanah perumputan, tanah yang ditaburi benih atau penanaman, atau tanah yang
disiapkan untuk ditaburi benih atau ditanami dipidana dengan pidana denda
paling banyak kategori II”.
8. Pasal 282 tentang Advokat yang Curang
Standard dan kategori curang sangat tidak bisa
dijelaskan secara sempurna dalam pasal ini. Sehingga memungkinkan multi tafsir
yang berpotensi menghambat profesi dan/atau penyalahgunaan terhadap profesi
advokat. Sebaiknya pasal ini di hapus atau dibuatkan turunannya berupa
peraturan pemerintah tentang profesi advokat yang lebih rinci. Mengingat dalam
negara hukum, profesi advokat memiliki peran besar dalam upaya penegakan hukum.
9. Pasal 304 tentang Penodaan Agama
Penodaan agama harus mempunyai pengaturan yang khusus
karena diharapkan akan mampu mampu menjaga ketertiban dan menghindari konflik
horizontal dan perbuatan main hakim sendiri (eigenrechting). Meski demikian
dimasukannya pemidanaan ke dalam KUHP juga penting untuk lebeih mempertegas
pemidanaan dalam penodaan agama.
Maraknya usur-unsur penodaan agama dewasa ini perlu
direspon dengan adanya pengaturn yang lebih komprehenship dan relevan.
Mengingat, identitas keagamaan tak bisa lepas dari
masyarakat Indonesia. Sehingga perlu diatur sedemikian rupa kesucian agama
terlindungi dan potensi konflik juga bisa dianisipasi dengan adanya efek jera
pemidanaan.
10.Pasal 342 tentang Penganiayaan Hewan
Penganiayaan tehadap hewan selama ini dianggap perkara
sederhana, an kurang diperhatikan dalam aspek hukum.
Pemidanaan terhadap Penganiayaan Hewan Mengandung
aspek teologis dan ekologis, sehingga pemidanaan terhadap pelakunya sangat
penting untuk memberi efek jera.
Adanya pasal Penganiayaan Hewan merupakan implementasi
prinsip Ecocracy atau eco-democracy. Dimana Ecocracy sebagai sebuah terminologi
baru lebih dimaknai sebagai pengakuan atas alam dan lingkungan serta hal-hal
yang terkandung di dalamnya. Yang berarti adanya konsekuensi hukum terhadap
penylah gunaan dan/atau penganiayaan terhadap hewan.
11. Pasal 414, 415 dan 416 tentang Alat Pencegah Kehamilan
dan Pengguguran kandungan
Pengenaan pasal ini dalam KUHP sangat urgen bila
menyimak fenomena liberalisme yang begitu massif di Indonesia, terutama yang
berkaitan dengan pengendalian dan pencegahan sex bebas. Adanya pasal ini bisa
menjadi alat control sosial, sehingga masyarakat tidak terjerumus dalam problem
sosial akut yang disebabkan faktor-faktor pasangan di luar nikah, aib keluarga,
hingga penelantaran bayi yang disebabkan kelahiran diluar pernikahan.
12. Pasal 431 tentang Penggelandangan
Berkaitan dengan pasal penggelandangan tersebut, maka
jelas tidak diperbolehkan adalah hidup bergelandangan karena dapat melanggar
ketertiban umum.
Tujuannya agar dapat menjaga ketertiban umum. Sanksi
yang diberikan bukan pidana pemenjaraan, tapi sebatas pidana denda.
Dimungkinkan pidana alternatif berupa pengawasan atau pidana kerja sosial.
Alasan lainnya, akibat adanya putusan MK No.29/PUU-X/2012 yang menguatkan
pengaturan penggelandangan dalam draf RKUHP. Dalam putusan MK tersebut
disebutkan bahwa gelandangan bukan merupakan tanggungan negara, sehingga akan
membawa konsekuensi lanjutan berupa keresahan sosial dan terganggunya
ketertiban umum. Adanya pengaturan penggelandangan dalam KUHP menjadi jawaban
dari konsekuensi putusan MK tersebut.
13. Pasal 469 tentang Pengguguran Kandungan
Pasal ini merupakan bagian dari progresifitas moral di
negara indonesia, di tengah terpaan perilaku seks bebas yang merajalela, maka
hukum sebagai a tool of social enginereeng atau mesin perekayasa sosial hadir
untuk membuat pencegahan atas praktik seks bebas. Konsekuensi dari seks bebas
adalah kehamilan dan karena hamil diluar ikatan pernikahan adalah aib, maka tak
jarang perilaku menggugurkan kandungan adalah pilihan. Maka dengan pasal ini,
hukum sebagai perekayasa dapat mencegah sedari awal penyebab penggugurannya,
yakni seks bebas.
Maka KKBH Persis menyepakati pasal ini masuk dalam
KUHP.
14. Pasal 417,418 dan 479 tentang Perzinahan,
Kohabitasi dan Perkosaan
Pasal-pasal yang berkaitan dengan perzinahan,
kohabitasi dan perkosaan merupakan satu terobosan lain dri LUHP yang ecara
moral dan etika hukum berasal asli dari nilai bangsa Indonseia.
Sehingga bisa dikatakan pasal-pasal ini merupakan
perwujudan lain dari konsep living law masyarakat Indonesia. Di sisi lain, ini
juga bisa menjadi pintu untuk kembalinya penghormatan masyarakat terhadap
lembaga perkawinan yang akhir-akhir ini mulai terdegradasi akibat globalisasi
dan lberalisasi.
Pasal-Pasal ini juga sangat penting sebagai alat
rekayasa sosial, agar tatanan sosial masyarakat bangsa Indonesia tetap terjaga
sesuai norma-norma dan nilai yang berlaku di masyarakat.
Ditengah gencarnya terpaan budaya dan nilai-nilai
barat melanda Indonesia melalui berbagai media, pasal ini diharapkan bisa
mengeliminir dampak globalisasi dan liberalisasi tersebut.
Secara keseluruhan, harus di fahami dari awal, bahwa
fungsi hukum di Indonesia ini ada dua, yaitu social defence yakni melindungi
masyarakat dari kejahatan, serta sebagai penjaga keseimbangan dan keselarasan
hidup di masyarakat. Hal yang terlihat dari rumusan KUHP ini adalah adanya
upaya maksimal pembaharuan hukum yang berasal asli dari norm-norma khas bangsa
Indonesia, yang di dalamnya terdapat ide besar untuk menjaga ideologi bangsa
serta nilai dan norma ideal bangsa Indonesia.
Meski demikian, selain pasal-pasal kontroversial
diatas, juga ada catatan terhadap beberapa pasal yang cukup penting diliht dari
spek penegakan dan keadilan hukum. Pasal 603 mengatur pemberantasan tindak
pidana korupsi. Namun, hukuman pidananya mengalami penurunan. Pada Pasal
tersebut dijelaskan koruptor paling sedikit dipenjara selama dua tahun dan
maksimal 20 tahun. Selain itu, koruptor juga dapat dikenakan denda paling
sedikit kategori II atau Rp10 juta dan paling banyak Rp2 miliar.
“Setiap Orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau Korporasi yang merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II dan paling banyak
kategori VI.”
Pidana pada KUHP baru ini lebih rendah dari ketentuan
pidana penjara dalam Undang-undang Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Hukuman denda juga mengalami penurunan. Sebelumnya, dalam UU No
20/2001 koruptor didenda paling sedikit Rp200 juta.
Kemudian Pasal Berita Bohong Pasal 263, Pasal 264.
Pasal ini merupakan pasal berbahaya karena bisa membungkam kebebasan pers.
Aturan tentang pemberitaan telah diatur melalui
mekanisme Undang-Undang Pers yang kewenangannya ada di bawah Dewan Pers.
Meski demikian, KUHP terbaru ini bisa dikatakan
prestasi yang sudah lama di tunggu-tunggu masyarakat, untuk tegaknya kepastian
hukum. Adanya penolakan dan protes dari berbagai pihak, baik dalam maupun luar
negeri bisa di maklumi. Mengingat materi pasal-pasal dalam KUHP ini memproteksi
bangsa dari penetrasi budaya luar dan nilai-nilai liberalisme.
Sudah seharusnya kita mendukung RUU KUHP karena
merupakan hasil karya anak bangsa dan apabila terdapat kesalahan, maka dapat
dilakukan langkah hukum yaitu judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
BACA Juga Artikel Muhammad Yamin tetang Alasan Kampanye LGBTQ+ Jessica Stern Harus Ditolak
Wallahu’alam bishawaab.