Hikmah di Balik Musibah. [net] |
Musibah pada dasarnya merupakan sesuatu yang begitu akrab dengan kehidupan kita. Adakah orang yang tidak pernah mendapatkan musibah? Tentu tak ada.
Namun ia juga menimpa orang-orang mukmin dan orang-orang
yang bertakwa. Bahkan, semakin tinggi kedudukan seorang hamba di sisi Allah,
maka semakin berat ujian dan cobaan yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala
kepadanya. Karena Dia akan menguji keimanan dan ketabahan hamba yang
dicintai-Nya.
Sebagai contoh, bangsa kita tercinta sekarang ini sedang
dirundung dan didera dengan berbagai musibah, mulai dari gelombang
tsunami, lumpur lapindo, flu burung, busung lapar, gizi buruk, harga melonjak
ditambah seabreg permasalahan nasional yang tak kunjung teratasi, akan tetapi
sayangnya sedikit yang bisa mengambil hikmah dari musibah yang sedang kita
derita.
Ujian yang semestinya mendongkrak kualitas keimanan dan
mengantar pada keberkahan temyata sering membawa kepada murka Allah. Tak lain
karena orang yang terkena musibah tak mampu bersikap benar saat menghadapinya.
Sesungguhnya di balik musibah itu terdapat hikmah dan
pelajaran yang banyak bagi mereka yang bersabar dan menyerahkan semuanya kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah mentakdirkan itu semua untuk
hamba-Nya, diantara hikmah yang bisa kita petik antara lain adalah:
1. Musibah akan mendidik jiwa dan menyucikannya dari dosa
dan kemaksiatan.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَآأَصَابَكُم
مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا عَن كَثِيرٍ
“Apa saja musibah yang menimpa kamu maka disebabkan oleh
perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu).” [asy Syura/42: 30]
Dalam ayat ini terdapat kabar gembira sekaligus ancaman
jika kita mengetahui bahwa musibah yang kita alami adalah merupakan hukuman
atas dosa-dosa kita. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu
bahwa Nabi Shallallaahu alaihi wa sallam bersabda:
مَا
يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا
أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا
مِنْ خَطَايَاهُ
”Tidak ada penyakit, kesedihan dan bahaya yang menimpa
seorang mukmin hinggga duri yang menusuknya melainkan Allah akan mengampuni
kesalahan-kesalahannya dengan semua itu.” [HR. Bukhari]
Dalam hadits lain beliau bersabda:
مَا
يَزَالُ الْبَلَاءُ بِالْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ فِيْ نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ
وَمَالِهِ حَتَّى يَلْقَى اللهَ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيْئَةٌ
“Cobaan senantiasa akan menimpa seorang mukmin, keluarga,
harta dan anaknya hingga dia bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak mempunyai
dosa.”
Sebagian ulama salaf berkata, “Kalau bukan karena
musibah-musibah yang kita alami di dunia, niscaya kita akan datang di hari
kiamat dalam keadaan pailit.”
2. Mendapatkan kebahagiaan (pahala) tak terhingga di
akhirat.
Itu merupakan balasan dari musibah yang diderita oleh
seorang hamba sewaktu di dunia, sebab kegetiran hidup yang dirasakan seorang
hamba ketika di dunia akan berubah menjadi kenikmatan di akhirat dan
sebaliknya. Nabi Shallallaahu alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ
وَجَنَّةُ الْكَافِرِ
”Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi
orang kafir.”
Dan dalam hadits lain disebutkan, ”Kematian adalah
hiburan bagi orang beriman.” [HR .Ibnu Abi ad Dunya dengan sanad hasan].
3. Sebagai parameter kesabaran seorang hamba.
Sebagaimana dituturkan, bahwa seandainya tidak ada ujian
maka tidak akan tampak keutamaan sabar. Apabila ada kesabaran maka akan muncul
segala macam kebaikan yang menyertainya, namun jika tidak ada kesabaran maka
akan lenyap pula kebaikan itu.
Anas Radhiallaahu anhu meriwayatkan sebuah hadits secara
marfu’,
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّهُ قَالَ عِظَمُ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا
أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ
السُّخْطُ
“Sesungguhnya besarnya pahala tergantung pada besarnya
cobaan. Jika Allah mencintai suatu kaum maka Dia akan mengujinya dengan cobaan.
Barang siapa yang ridha atas cobaan tersebut maka dia mendapat keridhaan Allah
dan barang siapa yang berkeluh kesah (marah) maka ia akan mendapat murka
Allah.”
Apabila seorang hamba bersabar dan imannya tetap tegar
maka akan ditulis namanya dalam daftar orang-orang yang sabar. Apabila
kesabaran itu memunculkan sikap ridha maka ia akan ditulis dalam daftar
orang-orang yang ridha. Dan jikalau memunculkan pujian dan syukur kepada Allah
maka dia akan ditulis namanya bersama-sama orang yang bersyukur. Jika Allah
mengaruniai sikap sabar dan syukur kepada seorang hamba maka setiap ketetapan
Allah yang berlaku padanya akan menjadi baik semuanya.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam bersabda,
عَجَبًا
لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ عجب. مَا يَقْضِي اللهُ لَهُ مِنْ
قَضَاءٍ إِلاَ كَانَ خَيْرًا لَهُ, إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ
خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan kondisi seorang mukmin, sesungguhnya
semua urusannya adalah baik baginya. Jika memperoleh kelapangan lalu ia
bersyukur maka itu adalah baik baginya. Dan jika ditimpa kesempitan lalu ia
bersabar maka itupun baik baginya (juga).”
4. Dapat memurnikan tauhid dan menautkan hati kepada
Allah.
Wahab bin Munabbih berkata, “Allah menurunkan cobaan
supaya hamba memanjatkan do’a dengan sebab bala’ itu.” Dalam surat Fushilat
ayat 51 Allah berfirman,
وَإِذَآ
أَنْعَمْنَا عَلَى اْلإِنسَانِ أَعْرَضَ وَنَئَا بِجَانِبِهِ وَإِذَا مَسَّهُ
الشَّرُّ فَذُو دُعَآءٍ عَرِيضٍ
“Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia
berpaling dan menjauhkan diri; tetapi apabila ia ditimpa malapetaka maka ia
banyak berdo’a.”
Musibah dapat menyebabkan seorang hamba berdoa dengan
sungguh-sungguh, tawakkal dan ikhlas dalam memohon. Dengan kembali kepada Allah
(inabah) seorang hamba akan merasakan manisnya iman, yang lebih nikmat dari
lenyapnya penyakit yang diderita. Apabila seseorang ditimpa musibah baik berupa
kefakiran, penyakit dan lainnya maka hendaknya hanya berdo’a dan memohon
pertolongan kepada Allah saja sebagiamana dilakukan oleh Nabi Ayyub ‘Alaihis
Salam yang berdoa,
وَاَيُّوْبَ
اِذْ نَادٰى رَبَّهٗٓ اَنِّيْ مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَاَنْتَ اَرْحَمُ
الرَّاحِمِيْنَ
“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Rabbnya,
”(Ya Rabbku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Yang
Maha Penyayang di antara semua penyayang”. [Al-Anbiyaa/21:83]
5. Memunculkan berbagai macam ibadah yang menyertainya.
Di antara ibadah yang muncul adalah ibadah hati berupa
khasyyah (rasa takut) kepada Allah. Berapa banyak musibah yang menyebabkan
seorang hamba menjadi istiqamah dalam agamanya, berlari mendekat kepada Allah
menjauhkan diri dari kesesatan.
6. Dapat mengikis sikap sombong, ujub dan besar kepala.
Jika seorang hamba kondisinya serba baik dan tak pernah
ditimpa musibah maka biasanya ia akan bertindak melampaui batas, lupa awal
kejadiannya dan lupa tujuan akhir dari kehidupannya. Akan tetapi ketika ia
ditimpa sakit, mengeluarkan berbagai kotoran, bau tak sedap,dahak dan terpaksa
harus lapar, kesakitan bahkan mati, maka ia tak mampu memberi manfaat dan
menolak bahaya dari dirinya. Dia tak akan mampu menguasai kematian, terkadang
ia ingin mengetahui sesuatu tetapi tak kuasa, ingin mengingat sesuatu namun
tetap saja lupa. Tak ada yang dapat ia lakukan untuk dirinya, demikian pula orang
lain tak mampu berbuat apa-apa untuk menolongnya. Maka apakah pantas baginya
menyombongkan diri di hadapan Allah dan sesama manusia?
7. Memperkuat harapan (raja’) kepada Allah.
Harapan atau raja’ merupakan ibadah yang sangat utama,
karena menyebabkan seorang hamba hatinya tertambat kepada Allah dengan kuat.
Apalagi orang yang terkena musibah besar, maka dalam kondisi seperti ini
satu-satunya yang jadi tumpuan harapan hanyalah Allah semata, sehingga ia
mengadu: “Ya Allah tak ada lagi harapan untuk keluar dari bencana ini kecuali
hanya kepada-Mu.” Dan banyak terbukti ketika seseorang dalam keadaan kritis,
ketika para dokter sudah angkat tangan namun dengan permohonan yang
sungguh-sungguh kepada Allah ia dapat sembuh dan sehat kembali. Dan ibadah
raja’ ini tak akan bisa terwujud dengan utuh dan sempurna jika seseorang tidak
dalam keadaan kritis.
8. Merupakan indikasi bahwa Allah menghendaki kebaikan.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah secara marfu’ bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْراً يُصِبْ مِنْهُ
”Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah kebaikan maka
Allah akan menimpakan musibah kepadanya.” [HR al Bukhari].
Seorang mukmin meskipun hidupnya sarat dengan ujian dan
musibah namun hati dan jiwanya tetap sehat.
9. Allah tetap menulis pahala kebaikan yang biasa
dilakukan oleh orang yang sakit.
Meskipun ia tidak lagi dapat melakukannya atau dapat
melakukan namun tidak dengan sem-purna. Hal ini dikarenakan seandainya ia tidak
terhalang sakit tentu ia akan tetap melakukan kebajikan tersebut, maka sakinya
tidaklah menghalangi pahala meskipun menghalanginya untuk melakukan amalan. Hal
ini akan terus berlanjut selagi dia (orang yang sakit) masih dalam niat atau
janji untuk terus melakukan kebaikan tersebut. Dari Abdullah bin Amr dari
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam, ”Tidak seorangpun yang ditimpa bala
pada jasadnya melainkan Allah memerintahkan kepada para malaikat untuk
menjaganya, Allah berfirman kepada malaikat itu, “Tulislah untuk hamba-Ku siang
dan malam amal shaleh yang (biasa) ia kerjakan selama ia masih dalam perjanjian
denganKu.” (HR. Imam Ahmad dalam Musnadnya)
10. Dengan adanya musibah seseorang akan mengetahui
betapa besarnya nikmat keselamatan dan ‘afiyah
Jika seseorang selalu dalam keadaan senang dan sehat maka
ia tidak akan mengetahui derita orang yang tertimpa cobaan dan kesusahan, dan
ia tidak akan tahu pula besarnya nikmat yang ia peroleh. Maka ketika seorang
hamba terkena musibah, diharapkan agar ia bisa betapa mahalnya nikmat yang
selama ini ia terima dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hendaknya seorang hamba bersabar dan memuji Allah ketika
tertimpa musibah, sebab walaupun ia sedang terkena musibah sesungguhnya masih
ada orang yang lebih susah darinya, dan jika tertimpa kefakiran maka pasti ada
yang lebih fakir lagi. Hendaknya ia melihat musibah yang sedang
diterimanya dengan keridhaan dan kesabaran serta berserah diri kepada
Allah Dzat yang telah mentakdirkan musibah itu untuknya sebagai ujian
atas keimanan dan kesabarannya.
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menukil ucapan ‘Ali bin
Abu Thalib radhiallahu ‘anhu: “Tidaklah turun musibah kecuali dengan sebab dosa
dan tidaklah musibah diangkat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali dengan
bertobat.” [Al-Jawabul Kafi hal. 118]
Oleh karena itulah marilah kita kembali kepada Allah
dengan bertaubat dari segala dosa dan khilaf serta menginstropeksi diri kita
masing-masing, apakah kita termasuk orang yang terkena musibah sebagai cobaan
dan ujian keimanan kita ataukah termasuk mereka- wal’iyadzubillah– yang sedang
disiksa dan dimurkai oleh Allah karena kita tidak mau beribadah dan banyak
melanggar larangan-larangan-Nya.
Refrensi : Min fawaidil maradh – Darul Wathan
[Disalin dari فوائد المصيبة
Penulis Fariq bin Qaasim Anuz, Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab
Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2009 – 1430]