Gambar: Ilustrasi [Google search] |
sukabumiNews.net – Lahirnya Persatuan Islam (PERSIS) pada tahun 1923 di Indonesia membawa gagasan tentang Harakah Tajdid (Gerakan Pembaharuan) yang dalam manifestasinya melakukan purifikasi terhadap ritus yang melenceng dari nilai fundamental Islam.
Harakah Tajdid PERSIS
juga memiliki sisi politisnya dan ini dapat dilihat dari banyak kader PERSIS
yang ikut terlibat dalam pertarungan wacana kenegaraan.
Spirit politis PERSIS
memiliki dimensi total internalisasi nilai profetik dan syariah hadir harmoni
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka sudah menjadi konsekuensi
historis dan teologis bahwa PERSIS hari ini pun masih berdiri mengawal setiap
kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan agar tidak bertentangan dengan nilai
syariat islam.
Pada Rabu (12/10/2022),
Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Pimpinan Pusat Persatuan Islam
diundang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Komisi Hukum dan Hak Asasi
Manusia dalam acara Mudzakkarah Hukum Nasional dan Hukum Islam dengan tema
“Kajian Kritis atas 14 Isu Krusial Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(RKUHP).
Pada acara tersebut
BKBH PERSIS menyorot dan menanggapi beberapa point pasal sebagai berikut:
1. Pasal 2 dan
Pasal 597 tentang Hukum yang Hidup dalam Masyarakat
Dalam point ini BKBH
PERSIS bersepakat dengan semangat mempertahankan nilai kultural Dari hukum yang
berkembang di masyarakat dengan menggeser paradigm unifikasi hukum ke dalam
pluralism hukum. Namun terdapat catatan dalam Pasal 2 Ayat 2 yang berbunyi
sebagai berikut:
“Hukum yang
hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat
hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab”
Kami menilai bahwa
standarisasi UUD NRI Tahun 1945, HAM dan asas umum yang diakui masyarakat
beradab sudah terangkum semuanya dalam pancasila. Selain itu standarisasi HAM
dan peradaban hari ini bertumpu pada worldview sekuler barat yang justru ini
bisa merusak nilai adat yang khas akan lokalitas normanya.
Bahkan UUD NRI Tahun
1945 sekalipun menerangkan secara spesifik tentang HAM dalam Pasal 28 dan ini
dikhawatirkan menggunakan cara pandang sekuler barat yang nantinya bertentangan
dengan masyarakat adat.”
Kekhawatiran ini
berdasar pada teori abjeksi dari Julia Kristeva yang menerangkan bahwa sesuatu
yang tidak sesuai dengan modernitas (sekuler barat) itu bisa dianggap yang
liyan dan akhirnya tidak terdokumentasikan. Dengan standar UUD NRI Tahun 1945,
HAM dan asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab alih-alih menjaga
warisan hukum leluhur adat namun yang terjadi adalah pemaksaan standar sekuler
barat.
Oleh sebab itu,
pancasila sebagai volksgeit yang menyerap saripati nilai masyarakatlah yang
paling tepat untuk menjadi tumpuan dan acuan penggunaan hukum adat di wilayah
adat tersebut.
2. Pasal 67,98,99,100,101
dan 102 tentang Pidana Mati
Pidana mati merupakan
mekanisme hukum yang paling purba di dunia, manusia selalu berkreasi tentang
hukuman sepanjang nalarnya berkreasi tentang sesuatu, awalnya hukuman mati
menggunakan batu, hingga peradaban menemukan alat tajam yang dapat dijadikan
barang untuk mengeksekusi si terpidana, lantas menemukan bubuk mesiu dan
akhirnya hukuman dengan tembak mati, menemukan obat untuk menghilangkan nyawa
secara perlahan.
Namun pada pointnya,
dalam konteks peradaban hukuman, maka yang dipertontonkan adalah mencari cara
agar hukuman mati tidak menyakitkan. Dalam islam. Allah SWT menggunakan skema
pemaafan dan diyat terlebih dahulu untuk memberikan hukuman mati. Maka dalam
konteks pidana mati menjadi pidana alternative dalam pasal 98, BKBH PERSIS
menyepakatinya karena ini selaras dengan prinsip nilai syariat islam.
Namun dalam konteks
hukuman percobaan dalam Pasal 100 dan 101 kami menilai pasal ini perlu untuk
dihapus, mengingat bahwa pasal ini berpotensi menghilangkan efek jera dari
terdakwa kasus berat nantinya, selain standar 10 tahun percobaan itu ketentuan
syaratnya bersifat multi interpretasi dan ini bertentangan dengan asas hukum
lex certa.
3. Pasal 218 dan
Pasal 220 tentang Penyerangan dan Harkat Martabat Presiden dan Wakil Presiden
BKBH memandang bahwa
DPR RI perlu untuk bersikap arif dan bijaksana dengan tidak memasukkan pasal
yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) ini ke dalam RKUHP. Hal ini
dikarenakan pasal ini Mengembalikan semangat kolonialisme, karena sejatinya
iklim anti kritik dengan dalih melindungi martabat pemimpin adalah warisan
penjajahan belanda yang saat itu masih kental dengan nuansa feodal, selain itu
Penghinaan atau gospeel tidak bisa dilekatkan pada sebuah jabatan.
Itu bisa dilekatkan
pada individu dan terkait penghinaan dalam konteks ini sudah diatur pada kuhp
lain dan juga Presiden dan wakil presiden itu jabatan publik yang langsung
dipilih oleh rakyat dalam konteks negara demokrasi justru jabatan presiden dan
wakil mesti dikritik agar tidak masuk ke jurang otoritarianisme.
Namun jika pasal ini
masuk, maka rentan terjadi multitafsir yang mengakibatkan para pelaksana bisa
memasukkan kritik kepada kategori penghinaan.
4. Pasal 252
tentang Menyatakan Diri Dapat Memiliki Kekuatan Gaib
Dalam konteks pasal
ini, BKBH PERSIS sebagai lembaga PERSIS tegas memberikan persetujuannya. Hal
ini dikarenakan seni berdemokrasi adalah bertumpu pada argumen rasional yang
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara koherensi dan korespondensi.
Maka apabila praktik
mengaku-ngaku hal gaib ini menyebar, ini akan berdampak kepada kecerdasan dan
nalar publik yang baik dan benar, terlebih dapat menimbulkan efek kerugian,
tindakan ini merupakan tindakan kemusyrikan dan bertentangan dengan nilai nilai
ketuhanan yang terdapat dalam sila pertama pancasila.
Sejak awal
berdirinya, PERSIS memiliki konsentrasi terhadap isu-isu Takhayul bid’ah dan
Khurafat, sehingga dalam konteks pemidaan terhadap orang orang yang mengaku
mempunyai ilmu ghaib merupakan satu terobosan hukum yang sangat baik untuk
kecerdasan bangsa.
5. Pasal 276
tentang Dokter atau Dokter Gigi yang Melaksanakan Pekerjaannya Tanpa Izin
BKBH PERSIS menilai
bahwa pasal ini lebih bijkak dihapus, hal ini dikarenakan menjalankan profesi
dokter, dokter gigi, dan tukang gigi tanpa ijin tidak dikenakan sanksi penjara
menurut Mahkamah Konstitusi tentang Pasal 76 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktek Kedokteran yang diperkuat dengan Putusan MK 40/PUU-X/2012.
6. Pasal 281
tentang Contempt of Court
BKBH PERSIS menilai
pasal ini perlu ada perbaikan, hal ini dikarenakan contempt of court harus
memiliki ukuran yang jelas, peristiwa upaya menciderai fisik harusnya yang
menjadi konsentrasi pemidanaan.
Namun itu juga sudah
masuk dalam pidana upaya kekerasan. Maka alasan pasal ini harus diperbaiki
adalah karena pasal ini mengandung nilai subjektifitas yang sangat tinggi.
Hakim bisa dengan mudah memberikan klasifikasi bahwa seseorang contempt of
court tanpa disertai alasan yang dibenarkan secara hukum.
7. Pasal 278
tentang Unggas yang Merusak Kebun yang Ditaburi Benih
Pasal ini memiliki
nilai perlindungan kepada para petani, oleh sebab itu BKBH PERSIS menilai dalam
konteks wilayah pedesaan masih sangat relevan, mengingat kerugian yang dapat
terjadi akibat gagal panen tersebut. Hal ini masuk dalam kategori kelalaian
sang pemilik ungags yang mengakibatkan hilangnya objek garapan yakni kebun
seorang yang sedang menggarapnya.
8. Pasal 282
tentang Advokat yang Curang
BKBH PERSIS menilai
standard an kategori curang sangat tidak bisa dijelaskan secara sempurna dalam
pasal ini. Oleh sebab itu BKBH PERSIS mengusulkan agar pasal ini dihapus.
9. Pasal 304
tentang Penodaan Agama
BKBH PERSIS dalam
konteks ini sangat menyepakati terhadap pasal tersebut, hal ini dikarenakan
Pasal ini mampu menjaga ketertiban dan menghindari konflik horizontal dan
perbuatan main hakim sendiri (eigenrechting), bangsa indonesia tidak dapat
dilepaskan dari identitas keagamaan, oleh sebab itu kesucian agama dan penganut
agama harus dilindungi, selain itu juga mengacu kepada UU nomor 1/PNPS 1965
dalam hal ini semangat perlindungan terhadap entitas yang berkembang dan
kepercayaan yang menubuh dikalangan rakyat Indonesia.
10. Pasal 342
tentang Penganiayaan Hewan
Bagi BKBH PERSIS
pasal ini juga memiliki urgensitas yang sangat berarti, hal ini dikarenakan
Dengan semangat Q.S An Nur ayat 41 yang menerangkan bahwa semua makhluk hidup
bertasbih kepada Allah. Maka sebagai prinsip nilai teologis, maka penyalahgunaan
hewan dapat ditindak pidana.
Alasan yang paling
kuat adalah bahwa mereka merupakan makhluk hidup yang layak akan harmoni
kehidupannya, selain itu juga dalam prinsip green constitution ada nilai dalam
praktik bernegara yang disebut ecokrasi, maka konsekuensi nya penyalahgunaan
terhadap hewan dan lingkungan adalah bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan
juga.
Apabila hewan
tersebut berhenti lestari, maka manusia pun akan terpengaruh dalam sisi harmoni
ekosistemnya.
11. Pasal 414,
415 dan 416 tentang Alat Pencegah Kehamilan dan Pengguguran kandungan
KKBH PERSIS menganggap
terdapat urgensitas dalam pasal ini, alasannya adalah ketentuan ini untuk
memberikan pelindungan kepada anak agar terhindar dari seks bebas, sebab aborsi
lazim diketahui adalah pilihan pasangan diluar pernikahan yang merasa anak
adalah aib karena dilakukan diluar ikatan yang sah.
12. Pasal 431
tentang Penggelandangan
KKBH PERSIS
menganggap bahwa Pemidanaan ini diperlukan sebab konteks gelandangan dewasa ini
hadir sebagai profesi yang tersistematis dan tak jarang mereka yang
menggelandang itu meminta-minta secara memaksa dan mengganggu masyarakat.
Namun sebagai
catatan, pihak pelaksana nantinya perlu bisa menginverntarisir mana gelandangan
yang secara sosial dia memang tidak sejahtera dan terpaksa menggelandang dan
mana gelandangan yang dia itu hadir dengan perintah dan memiliki petinggi.
Jika terdapat
pertanyaan “apakah gelandangan ditanggung oleh Negara atau tidak?”, maka
jawabannya adalah tidak, hal ini sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 29/PUU-X/2012 yang berbunyi sebagai berikut:
Pelarangan hidup
bergelandangan merupakan soal yang tidak berkaitan dengan kewajiban negara
untuk memelihara fakir miskin
dan anak-anak terlantar.
Pelarangan hidup bergelandangan merupakan pembatasan yang menjadi kewenangan
negara, sedangkan memelihara fakir miskin dan anak- anak terlantar merupakan
kewajiban konstitusional negara yang harus dilakukan dengan memperhatikan
kemampuan negara. Manakala negara dengan kemampuan yang ada belum sepenuhnya
dapat melaksanakan kewajiban tersebut tidak dapat menjadi alasan untuk
membolehkan warga negara hidup bergelandangan. Dengan demikian hal tersebut
tidak menjadi alasan pembenar bagi siapapun untuk melanggar hukum, melakukan
penggelandangan, mengabaikan ketertiban umum, dengan alasan negara belum
melaksanakan kewajibannya memelihara fakir miskin dan anak- anak terlantar.
Sebagai negara hukum, negara harus membangun sistem hukum yang harus dipatuhi
oleh masyarakat dan ditegakkan oleh aparat hukum.
13. Pasal 469
tentang Pengguguran Kandungan
Pasal ini merupakan
bagian dari progresifitas moral di negara indoneisa, ditengah terpaan perilaku
seks bebas yang merajalela, maka hukum sebagai a tool of social enginereeng
atau mesin perekayasa sosial hadir untuk membuat pencegahan atas praktik seks
bebas. Konsekuensi dari seks bebas adalah kehamilan dan karena hamil diluar
ikatan pernikahan adalah aib, maka tak jarang perilaku menggugurkan kandungan
adalah pilihan. Maka dengan pasal ini, hukum sebagai perekayasa dapat mencegah
sedari awal penyebab penggugurannya, yakni seks bebas. Maka KKBH PERSIS
menyepakati pasal ini masuk dalam KUHP.
14. Pasal
417,418 dan 479 tentang Perzinahan, Kohabitasi dan Perkosaan
Larangan perzinaan
adalah living law atau hukum dan ekspresi moral yang hidup di masyarakat dan
melekat juga sebagai norma kesusilaan dan kesopanan. Hukum positif sebagai
hukum yang berlaku wajib untuk menyerap itu dan mentransformasikannya kepada
kaidah hukum nasional agar terciptanya rasa keadilan di masyarakat. Maka pasal
ini merupakan salah satu progresifitas aturan dalam RKUHP.
Pasal ini juga
merupakan penghormatan kepada lembaga perkawinan, sebab ikatan itu tidak dapat
dikategorikan secara bebas. Pasti melekat dengan, istri, suami, orang tua dan
anak. Maka ada aspek materiil yang dirugikan ketika seseorang berbuat zina bagi
ikatan tersebut.
Untuk kohabitasi
sendiri hari ini marak hadir dalam peradaban modern, millennial menyebutnya
sebagai living together atau hidup bersama kekasih tanpa ikatan pernikahan.
Jika hal ini dibiarkan tanpa proses rekayasa hukum untuk mencegahnya, maka
nilai sacral pernikahan yang dihormati oleh Negara.
Begitu juga dengan
perkosaan, pemerkosaan adalah bentuk upaya pemaksaan seksual yang nantinya
dapat mengakibatkan trauma mental yang berat bagi korbannya.
Oleh sebab itu maka
BKBH PERSIS dengan tegas menyetujui pasal-pasal ini masuk dalam KUHP.
Demikianlah kajian dan pendapat yang diberikan oleh BKBH PERSIS, hal ini menjadi sebuah bukti konsistensi Persatuan Islam dalam mengawal kepentingan islam sebagai harakah tajdid dalam ranah politik kenegaraan.
Mengetahui:
Direktur BKBH
PERSIS
Drs.H.Yudi Wildan
Latief,S.H.,M.H.