Presiden Joko Widodo mengunjungi negara-negara yang bertikai sebagai bagian dari upaya untuk memperbaiki rantai pasokan yang terganggu.
sukabumiNews.net, JAKARTA
– Ketika Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan rencana untuk
mengunjungi Rusia dan Ukraina pekan lalu, ia mengangkat harapan akan solusi
untuk hambatan ekspor yang telah membuat harga pangan melonjak secara global.
“Perang harus
dihentikan dan rantai pasokan pangan global perlu diaktifkan kembali,” kata
Widodo pada Ahad lalu sebelum berangkat ke Ukraina, perjalanan pertama seorang
pemimpin Asia Tenggara ke wilayah tersebut sejak perang meletus pada Februari
2022.
Menekankan catatan
serupa, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi menekankan perlunya “untuk
mengamankan koridor gandum” dari Ukraina, yang sering digambarkan sebagai
“keranjang roti dunia”, dan melepaskan ekspor makanan dan pupuk dari Rusia.
Perang di Ukraina
telah menyebabkan gangguan serius pada produksi dan distribusi pangan, terutama
untuk sereal dan biji-bijian, memperburuk lonjakan harga pangan global yang
dipicu oleh berbagai faktor, termasuk pandemi COVID-19, cuaca buruk, dan panen
yang buruk.
Namun bagi sebagian
pengamat, harapan besar seputar perjalanan tersebut gagal terwujud, dengan
komunikasi yang tidak jelas menambah rasa kebingungan tentang apa yang
sebenarnya dicapai.
Setelah kunjungannya
ke Moskow pada 30 Juni, Jokowi di media sosial menyampaikan apresiasinya kepada
Presiden Rusia Vladimir Putin karena telah menyampaikan “jaminan keamanan untuk
pasokan makanan dan pupuk dari Ukraina dan Rusia” dan mengatakan bahwa
satu-satunya kepentingan Indonesia adalah untuk melihat “akhir dari perang.”
perang segera dan rantai pasokan makanan, pupuk dan energi segera diperbaiki”.
Presiden Indonesia Widodo menyampaikan apresiasi kepada pemimpin Rusia Putin atas jaminan keamanan pasokan makanan dan pupuk dari Ukraina dan Rusia [File: Alexander Zemlanichenko/Pool via Reuters] |
Tetapi Radityo Dharmaputra, seorang dosen hubungan internasional di Universitas Airlangga di Surabaya, mengatakan bahwa postingan media sosial Widodo telah menciptakan kebingungan tentang apa yang sebenarnya dikatakan atau disetujui oleh Putin.
“Sepertinya ada pesan
yang campur aduk. Putin tidak menjanjikan apa-apa soal ekspor pupuk, jadi
sepertinya perjalanan itu tidak berhasil,” kata Dharmaputra dikutip
sukabumiNews dari Al Jazeera, Selasa (5/7/2022).
"Kami tidak tahu
apakah Putin akan melakukan sesuatu di belakang layar, tetapi ini tidak
didasarkan pada pernyataan publik dan tampaknya tidak ada komitmen tegas yang
dibuat tentang makanan dan pupuk."
Dharmaputra
mengatakan optik tur itu efektif, dengan rencana perjalanan Widodo diputar
secara real time ketika foto-foto perjalanan, termasuk kunjungan istrinya ke
rumah sakit Ukraina, diunggah ke media sosial.
“Dari sisi
komunikasi, itu bagus untuk citra Jokowi, apalagi kalau kita lihat pemberitaan
media dalam negeri, tapi jangan hanya itu saja,” katanya.
Dharmaputra
mengatakan unggahan media sosial di mana Jokowi mengatakan bahwa dia telah diminta
untuk menyampaikan pesan dari Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy kepada Putin
- klaim yang ditolak oleh pemerintah Ukraina - juga mempertanyakan tujuan “misi
perdamaian” secara keseluruhan.
“Keabsahan Zelenskyy
tergantung dia tidak berbicara sama sekali dengan Putin setelah tragedi di
Ukraina, sehingga akan sulit bagi rakyat Ukraina untuk mendengar pesan dari
Jokowi,” kata Dharmaputra.
“Mungkin saja
Zelenskyy memang mengirim pesan ke Putin melalui Jokowi, tapi mungkin dia tidak
seharusnya memberi tahu publik tentang itu. Ini akan menjadi masalah besar bagi
Zelenskyy karena orang-orang akan bertanya-tanya apakah maksudnya dia ingin
bertemu dengan Putin atau mungkin menyerahkan wilayah kepada Rusia.”
KTT G20
Ada kemungkinan efek
penuh dari perjalanan Widodo tidak akan terlihat sampai KTT G20 pada bulan
November.
Indonesia, yang saat
ini memegang kepresidenan tahunan G20, telah menyampaikan undangan kepada Putin
dan Zelenskyy, dengan yang terakhir dilaporkan berencana untuk hadir melalui
tautan video.
“Keberhasilan Jokowi
terkait kunjungan tersebut akan sangat bergantung pada tindak lanjutnya,” kata
Dandy Rafitrandi, peneliti ekonomi di Pusat Kajian Strategis dan Internasional
di Jakarta, kepada Al Jazeera.
“Perang telah
memberikan dampak negatif yang nyata terhadap perekonomian dunia, termasuk
perekonomian domestik Indonesia, terutama melalui inflasi impor. Indonesia
sebagai tuan rumah G20 tahun ini perlu memahami bahwa krisis akibat perang ini
akan berdampak paling besar bagi negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah
dan negara-negara yang bergantung pada impor pangan dan energi. Negara-negara
ini masih belum sepenuhnya pulih dari krisis ekonomi yang disebabkan oleh
pandemi COVID-19 dan harus kembali menghadapi harga pangan dan energi yang
semakin tinggi.”
Rafitrandi mengatakan
Indonesia dapat menggunakan G20 sebagai platform untuk menjembatani kesenjangan
antara Rusia dan Ukraina.
“Dalam jangka pendek,
Indonesia melalui G20 dapat memobilisasi komitmen dan sumber daya dari anggota
G20 untuk Program Pangan Dunia dan Aliansi Global untuk Ketahanan Pangan yang
diusung oleh kelompok G7. Selain itu, dapat meminta anggota G20 untuk tidak
menggunakan pembatasan ekspor dalam kondisi pasokan global terbatas, terutama
untuk produk makanan, pupuk, dan energi.”
Maria Monica
Wihardja, peneliti tamu di ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura,
mengatakan, perjalanan pemimpin Indonesia tidak lepas dari KTT G20 dan masalah
ekonomi yang akan menjadi agendanya.
“Agenda utama G20
adalah ketahanan pangan global,” kata Wihardja kepada Al Jazeera, mencatat
bahwa KTT tersebut menampilkan mekanisme untuk memantau kemajuan dalam
meningkatkan ketahanan pangan, termasuk Sistem Informasi Pasar Pertanian.
“Rumah tangga miskin, negara-negara berpenghasilan rendah dan negara-negara yang sudah mengalami krisis kemanusiaan, seperti Yaman, Suriah dan Libya, paling terpukul oleh gangguan perdagangan dan kenaikan harga pangan karena perang di Ukraina.”
Indonesia awal tahun ini menerapkan larangan sementara ekspor minyak sawit [File: Supri/Reuters] |
Indonesia sendiri telah sangat terpengaruh oleh masalah ketahanan pangan, dengan Widodo awal tahun ini menerapkan larangan sementara ekspor minyak sawit sebagai tanggapan atas melonjaknya harga domestik dan kendala pasokan.
Petani kelapa sawit
lokal juga telah melaporkan masalah dalam mendapatkan pupuk kimia yang
dibutuhkan untuk menanam tanaman mereka, yang sebagian besar bahannya diimpor
dari Rusia, pemasok pupuk kimia terbesar di dunia bersama dengan negara
tetangga Belarusia.
Zamroni Salim, Kepala
Pusat Penelitian Makroekonomi dan Keuangan (BRIN) di Jakarta, mengatakan
perjalanan Jokowi harus dilihat dari kacamata yang realistis.
“Kunjungan Presiden
Indonesia tidak serta merta menghentikan perang, tetapi setidaknya dapat
mencegah perang yang lebih agresif,” kata Salim kepada Al Jazeera.
“Ketika konflik tidak meningkat dan jumlah pihak yang bertikai tidak bertambah, maka dampak terhadap perekonomian, khususnya dari guncangan harga dan pasokan pangan dan energi di pasar dunia, juga dapat ditekan. Sehingga 'misi perdamaian' yang dilakukan Jokowi secara tidak langsung dapat memberikan manfaat bagi perekonomian global.”
Sumber: AL JAZEERA