Menteri Keuangan Sri Mulyani Saat Acara Penandatanganan Perjanjian oleh Indonesia Investment Authority (INA) Tahun 2022, 14 April 2022. (Foto: Lukas - Biro Pers Sekretariat Presiden) |
sukabumiNews.net, JAKARTA – Defisit anggaran negara terus diupayakan agar lekas berada di bawah level 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2023. Salah satu caranya, dengan mengurangi penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) atau penerbitan utang baru sebesar Rp 100 triliun.
Pengurangan
penerbitan SBN mampu menekan defisit karena itu berarti pemerintah memanfaatkan
pos anggaran lain untuk menutup defisit anggaran. Menteri Keuangan Sri Mulyani
berkata, salah satu cara untuk menutup defisit selain menerbitkan SBN adalah
memanfaatkan sisa anggaran tahun sebelumnya (Saldo Anggaran Lebih/SAL).
Kedua, pemerintah
akan memanfaatkan tingginya penerimaan negara. Dalam dua bulan pertama 2022,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mampu membukukan surplus karena
peningkatan pendapatan negara yang signifikan akibat lonjakan harga komoditas.
Per akhir Februari
2022, penerimaan negara mencapai Rp 302,42 triliun atau naik 37,73%
dibandingkan Januari-Februari 2021. Pada saat yang sama, belanja negara ada di
Rp 282,71 triliun. Tumbuh, tetapi tidak secepat penerimaan yakni 10,42%
dibandingkan dua bulan pertama 2021.
"Dengan SAL
tahun lalu kita mampu melakukan optimalisasi dengan potensi mengurangi
defisit," kata Sri Mulyani dalam jumpa pers Komite Stabilitas Sektor
Keuangan (KSSK), Rabu (13/4/2022).
Menurut perhitungan
Sri Mulyani, total pengurangan SBN yang sudah dilakukan per Maret 2022 mencapai
Rp 100 triliun. Pengurangan penerbitan SBN bisa menghindarkan pemerintah selaku
penerbit (issuer) dari risiko pasar.
Hingga akhir
Februari, realisasi pembiayaan utang baru 9,5% dari target APBN atau Rp 92,91 triliun.
Dalam beberapa kali
lelang Surat Utang Negara (SUN), pemerintah pun tidak memenangkan terlalu
banyak. Jumlah yang diserap lebih rendah dari target indikatif menjadi
pemandangan yang biasa.
Saat ini pasar
keuangan dunia sedang sangat tidak pasti karena perang Rusia-Ukraina dan
normalisasi kebijakan moneter berbagai bank sentral.