Pemerhati Teknologi Pertahanan Dede Farhan Aulawi. |
sukabumiNews.net, BANDUNG – Kadangkala kita suka under estimate atau meremehkan dengan kemampuan industri pertahanan dalam negeri. Kita punya PINDAD, PT DI, PT PAL, PT DAHANA dan lainnya yang dulu dikenal dengan Badan Usaha Milik Negara Industri Strategis (BUMNIS), tetapi kurang dioptimalkan.
Padahal kemampuannya
terus meningkat dan tidak kalah kualitasnya dengan produk-produk luar negeri.
Kini, meskipun sedikit terlambat, kita harus benar-benar mengoptimalkan kemampuan
mereka dalam merekayasa teknologi di bidangnya masing-masing, agar mampu
menghasilkan produk kebanggaan bangsa dan Negara.
Demikian diungkap
Pemerhati Teknologi Pertahanan Dede Farhan Aulawi dalam bincang-bincangnya dengan sukabumiNews.net di Bandung belum lama ini.
“Komitmen dan
keberpihakan kita dalam mendukung, menggunakan dan terus mengembangan kemampuan
industri pertahanan dalam negeri, hakikatnya merupakan langkah tepat dalam
membangun klaster industri pertahanan yang terintegrasi sebagai syarat
terwujudnya "indigenous defense productions" atau produksi alutsista
mandiri karya anak bangsa di dalam negeri,” papar Kang Dede.
Kondisi ini, kata
Dede, akan memungkinkan Indonesia memanfaatkan dinamika geopolitik di Indo
Pasifik dengan bermain cantik di antara aliansi-aliansi regional seperti Five Power
Defence Arrangements (FPDA), AUKUS, dan OBOR/BRI China.
“Coba kita perhatikan
latar belakang terbentuknya aliansi Australia, United Kingdom dan United States
of America (AUKUS) pada petengahan
September 2021 yang diumumkan langsung oleh Presiden Amerika Serikat Joe Biden,
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, dan Perdana Menteri Australia Scott
Morrison,” lanjut Dede.
Menurutnya, kerja
sama sebuah pakta pertahanan yang mencakup wilayah Asia Pasifik sebagai upaya
untuk mengimbangi pengaruh China dengan kekuatan militernya. Melalui pakta
AUKUS ini, sebut Dede, Australia akan memperoleh kesempatan untuk membangun
armada kapal selam bertenaga nuklir dengan teknologi canggih dari Amerika
Serikat. “Hal ini tentu memicu ketegangan di kawasan,” terangnya.
Begitu juga, kata
dia, dengan hadirnya kekuatan beberapa anggota NATO di kawasan, semakin
menegaskan bahwa konstelasi geopolitik kekuatan negara-negara di dunia bergeser
ke Asia Pasifik.
Dede menyebut, kehadiran
mereka pada hakikatnya harus meningkatkan kesiagaan kita dalam menghadapi
segala kemungkinan, termasuk kemungkinan terjadinya perang terbuka. “Mungkin
kita masih ingat, ada suatu adagium klasik yang berbunyi ‘Si Vis Pacem, Para
Bellum’ yang berarti ‘jika ingin perdamaian, bersiaplah untuk perang’.
Disinilah letak strategis dalam memetakan segala kemungkinan dengan variabel
resiko terkecil.“ ujar Dede.
Lebih lanjut Dede
menegaskan, sebenarnya jika mengikuti pernyataan resmi AS, Inggris dan
Australia yang telah mengumumkan bahwa dibentuknya AUKUS dimaksudkan untuk
mendorong stabilitas keamanan di kawasan Indo Pasifik dan tidak untuk melanggar
Traktan Non-Proliferasi Nuklir di kawasan.
Namun persoalannya,
jelas Dede, adalah tidak ada jaminan bahwa kapal selam nuklir tidak akan hilir
mudik di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dan Laut Teritorial Indonesia.
Dengan demikian, lanjut
Dede, sudah selayaknya kita berperan aktif dalam memperkuat diplomasi
pertahanan di kawasan yang bertujuan untuk meningkatkan rasa saling percaya
(confidence building measures) dan pengembangan kapasitas (capacity building).
Di sinilah kata Dede,
Indonesia bisa memainkan peran ‘cantik’ untuk memastikan semua pihak tidak
memicu adanya konflik terbuka dan perlombaan senjata di kawasan, khususnya
dalam mematuhi kewajiban untuk menjaga kawasan yang bebas nuklir, menjaga
stabilitas keamanan dan menghormati hukum internasional, termasuk Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Internasional (UNCLOS).