Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Fattah Santoso dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (05/01/2022). | Dok. Muhammadiyah |
sukabumiNews.net, YOGYAKARTA – Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Fattah Santoso menyebut, pendidikan seksualitas solusi dari masalah kekerasan seksual pada anak.
Menurut data dari
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) angka
kekerasan pada anak disebut-sebut meningkat dalam rentang waktu 2019-2021. Pada
2019 sebanyak 11.057 kasus.
Kemudian pada 2020,
jumlah kekerasan terhadap anak meningkat menjadi 11.279 kasus. Terbaru pada
2021 data Januari-September, jumlah kekerasan pada anak sebanyak 12.566 kasus.
“Coba lihat, dari
jumlah itu, ragam kekerasannya apa? Yang tertinggi ialah kekerasan seksual pada
anak yang angkanya sekitar 45% dari seluruh kasus. Kasus ini tidak hanya di
satuan pendidikan umum tapi juga pendidikan yang di bawah Kemenag,” ujar Fattah
Santoso dalam Pengajian Tarjih pada Rabu, 5 Januari 2022, dilansir dari website
muhammadiyah.or.id, Kamis (6/1/2022).
Dikatakan dia, meski
Muhammadiyah telah menunjukkan perhatian kepada persoalan anak melalui jejaring
amal usaha seperti sekolah, panti asuhan, boarding school, dan rumah sakit. Namun
dalam mengurai masalah anak ditinjau dari aspek filosofis dan praktisnya,
Muhammadiyah juga telah menyajikan solusinya dalam bentuk tuntunan yang
dibangun di atas al-Qur’an dan Sunnah Maqbulah yaitu Fikih Perlindungan Anak.
Sebagaimana dalam
fikih Muhammadiyah pada umumnya, Fikih Perlindungan Anak juga disusun mengikuti
paradigma norma berjenjang.
“Jenjang tersebut
meliputi tiga tahapan, yaitu 1) nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah) yaitu
tauhid, keadilan, dan maslahat; 2) prinsip-prinsip universal (al-ushul
al-kulliyah) meliputi kemuliaan manusia, hubungan kesetaraan, kasih sayang, dan
pemenuhan kebutuhan hidup; dan 3) ketentuan hukum praktis (al-ahkam
al-far’iyyah),” terangnya.
Fattah Santoso menyebutkan,
dalam Fikih Perlindungan Anak diterangkan tentang pengertian kekerasan seksual
pada anak, yaitu keterlibatan seorang anak dalam segala bentuk aktivitas
seksual yang terjadi sebelum anak mencapai umur 18 tahun yang dilakukan oleh
orang dewasa atau anak lain yang usia lebih tua atau orang yang dianggap
memiliki pengetahuan lebih dari anak memanfaatkannya untuk kesenangan seksual
atau aktivitas seksual.
“Cakupan kekerasan
seksual pada anak bisa lewat fisik seperti menyentuh area intim atau kemaluan
anak untuk memenuhi gairah pelaku, membuat anak ikut bermain dalam permainan
seksualnya, memasukkan sesuatu ke dalam kemaluan atau anus anak. Bisa juga
secara non fisik seperti menyuruh anak berfose tidak wajar, menyuruh anak untuk
menonton berbagai hal yang berhubungan dengan seks, dan lain-lain,” ujar
Fattah.
Menurut Fattah, Islam
menawarkan solusi yang mewajibkan orang tua menghindarkan keluarga mereka dari
hal-hal yang bisa membawa keburukan, salah satunya adalah tindak kekerasan
seksual (QS. An Nur: 33). Penguatan peran orangtua begitu ditekankan bila
melihat sinyal yang tidak biasa dari anaknya dengan memberikan rasa aman dan
nyaman kepada anak untuk bercerita.
“Anak harus merasa
disayangi, dicintai, didukung, dihargai, dipercaya, dan menjadi bagian dari
keluarga. Penting pula meningkatkan komunikasi dalam keluarga dengan berbagai
perasaan, jujur, dan terbuka satu sama lain,” tutur dosen Universitas
Muhammadiyah Surakarta ini.
Selain peran orang
tua melalui institusi keluarga, masyarakat juga harus bersama-sama terlibat
dalam pencegahan kekerasan seksual pada anak. Misalnya, membantu memulihkan
kondisi kejiwaan korban, tidak memberi penilaian buruk kepada korban, dan tidak
mengucilkan korban sehingga dia tidak merasa tertekan dan takut. Masyarakat
harus menciptakan ruang yang nyaman bagi anak korban kekerasan seksual.
Fattah juga mendorong
agar mengubah cara berfikir bahwa berbicara seksualitas dalam ranah pendidikan
bukanlah perkara yang tabu. Artinya, pendidikan seksualitas harus disalurkan
tidak hanya kepada orang tua tetapi juga kepada anak.