Foto: Pakubuwana X hendak berziarah ke makam Sayyid Alaydrus Luar Batang di Batavia, Februari 1937 (sumber: @potretlawas) |
Penulis: Zulfikri
sukabumiNews.net – Sri Susuhunan Pakubuwana X merupakan raja Kasunan Surakarta yang memerintah pada tahun 1893-1939.
Ia memiliki nama
lahir (asma timur) Bendara Raden Mas Gusti Sayyidin Malikul Kusna (Raden Mas
Sayyidin Malikul Kusno). Ia sendiri merupakan putra ke-31 Pakubuwana IX dan
permaisuri KRAy.
Koestijah, yang lahir
pada hari Kamis, 22 Rajab 1795 (Tahun Jawa) atau bertepatan tanggal 29 November
1866.
Pada tanggal 30 Maret
1893, ketika usianya menginjak 26 tahun, ia naik tahta menggantikan ayahnya
yang meninggal dua pekan sebelumnya dengan gelar resmi Sampeyandalem Ingkang
Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwono Senopati Ing Alogo Abdurrahman Sayyidin
Panotogo Ingkang Jumeneng Kaping X.
Walaupun di wilayah
Kasunanan Surakarta sudah terdapat pendidikan Barat sejak tahun 1852, Sayyidin
Malikul Kusno hanya memperoleh pendidikan informal seperti pendidikan budi
pekerti dari ayahnya sendiri (PB IX), pelajaran agama Islam di bawah bimbingan
KRP Tafsir Anom V (Penghulu Kasunanan pada masa PB IX), ilmu spiritual
(tasawwuf) dari Kyai Kasan Mukmin, dan keterampilan kanuragan.
Pemerintahan
Pakubuwana X bisa dibilang sebagai puncak kejayaan Kasunanan Surakarta dari
sisi pembangunan fisik, pendidikan, dan pergerakan.
Meskipun ia hidup
dengan bergelimang harta dan memiliki kedekatan personal secara langsung dengan
Ratu Wilhelmina (Ratu Belanda) hingga memperoleh gelar Sri Maharaja Grootkruis
in de Orde van de Nederlandse Leeuw, tidak membuatnya lupa terhadap persoalan
agama dan rakyat.
Dalam buku Negeriku
Menuai Bencana Ekologi (2007) yang disusun Sudarsono, dinyatakan bahwa
Pakubuwana X juga memerintahkan dibangunnya tanggul yang mengelilingi Kota
Surakarta dan pintu air raksasa sebagai antisipasi dari ancaman banjir Bengawan
Solo maupun Kali Anyar (hal. 87).
Pada bidang ekonomi,
Pakubuwana X membangun Pasar Gede Harjonagoro dan mendirikan bank Bandhalumakso
yang berperan memberi pinjaman kepada abdi dalem untuk perbaikan rumah ketika
wabah pes melanda Surakarta.
Di bidang pendidikan,
ia mendirikan sekolah Mambaul ‘Ulum, Pamardi Putri, dan Kasatriyan untuk
kepentingan kerabat keraton serta mendirikan rijksstudiefond, sebuah lembaga
yang memberi beasiswa bagi sentana dan abdi dalem.
Di bidang kesehatan,
Pakubuwana X membangun klinik kesehatan Panti Rogo (kelak berkembang menjadi
Rumah Sakit Kadipolo) dan apotik Pantihusodo yang berada di bawah pengelolaan
dinas Kridha Nirmolo.
Infrastruktur modern
kota Surakarta banyak dibangun pada masa pemerintahannya, seperti bangunan
Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo-Kota (Sangkrah), Stadion Sriwedari, Kebun
Binatang Jurug, Jembatan Jurug yang melintasi Bengawan Solo di timur kota,
gapura-gapura di batas Kota Surakarta, rumah pemotongan hewan ternak di
Jagalan, rumah singgah bagi tunawisma, dan rumah perabuan (pembakaran jenazah)
bagi warga Tionghoa.
Dalam persoalan
politik dan agama, Pakubuwana X secara diam-diam juga mendukung perjuangan para
aktivis pergerakan nasional baik dari Budi Utomo maupun Sarekat Islam (SI).
Sikapnya ini kerap
dibandingkan dengan kakeknya, Pakubuwono VI yang membantu secara diam-diam
Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830).
Saat Sarekat Islam
(SI) bergeliat di Surakarta, George D. Larson dalam Masa Menjelang Revolusi:
Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942 (1990) menyebutkan,
Pakubuwana X mendukung gerakan SI dalam membendung aktivitas misionaris Kristen
di Surakarta (hal. 5).
BACA Juga: KH Ahmad Sanusi Pemikir dan Penggerak Islam dari Sukabumi
Sejak SI (sebelumnya
bernama Sarekat Dagang Islam atau SDI) membentuk cabangnya di Solo, 4 orang
dari 11 pimpinannya adalah pegawai Kasunanan Surakarta. Mereka menjadi pengurus
atas perintah Pakubuwana X.
Susuhunan juga
memfasilitasi Kongres SI pada 23 Maret 1913 di Taman Sriwedari dan acara ini
berjalan lancar tanpa halangan dari aparat kolonial (hal. 66).
Petunjuk bahwa
Pakubuwana X mempunyai kecenderungan terlibat dalam aktivitas politik
dilaporkan oleh Residen Sollewijn Gelpke (1914-1918) kepada atasannya.
Secara teratur ia
mendapati Pakubuwana X memerlukan terjemahan berita-berita penting dari De
Locomotief, surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Semarang. Khususnya
berita mengenai Perang Dunia I, Gelpke mendapati Pakubuwana X bersimpati pada
Jerman sebagaimana banyak orang Indonesia saat itu, termasuk orang-orang
Sarekat Islam.
Peranan Pakubuwana X
sebagai imam bagi masyarakat Muslim di Surakarta, juga sangat diperhitungkan
Belanda. Khusus dalam bidang pendidikan, Pakubuwana X merintis pola pendidikan
ke dalam 3 kelompok , yaitu:
1. Pendidikan dan
Pengajaran Model Barat;
2. Pendidikan dan
Pengajaran Berdasarkan Islam;
3. Pendidikan dan
Pengajaran Pola Tradisional;
Pendidikan dan
pengajaran berdasarkan Islam dirintis Pakubuwana X dengan mendirikan Mambaul
‘Ulum pada Ahad, 20 Juli 1905 dan memperkuat eksistensi Pondok Pesantren
Jamsaren.
Pembangunan gedung
madrasah Mambaul ‘Ulum selesai pada 20 Februari 1915. Jumlah murid yang
diterima mencapai 448 orang siswa.
Pendirian Mambaul
‘Ulum ini merupakan hasil dari pemikiran Sunan (Pakubuwana X) sebagai salah
satu usaha untuk mengantisipasi perkembangan agama Kristen di wilayah Kasunan
Surakarta.
Sunan Pakubuwana X
tidak senang dengan pendirian sekolah-sekolah yang dikelola oleh para zending
di wilayah Surakarta, meskipun ia masih bisa menerima masuknya pengaruh
kebudayaan Barat ke Kasunanan. Pakubuwana X resah kerena kedudukannya sebagai
Panatagama (pemimpin tertinggi Agama Islam).
Keberatan Pakubuwana
X terhadap hadirnya zending (misionaris Kristen) diungkapkan lewat suratnya
yang ditujukkan kepada Residen Surakarta W. de Vogel (Residen Surakarta tahun
1897 – 1905).
Residen memahami
alasan keberatan Pakubuwana X dan menyetujui nasehat C. Snouck Hurgronje bahwa
kehadiran zending Kristen di daerah Islam merugikan secara politik, karena itu
Snouck Hurgonje mengusulkan agar Gubernur Jenderal menolak permohonan pihak
zending.
Hal ini disetujui
oleh Gubernur Jenderal yang kemudian mengeluarkan keputusan berisi penolakan
permohonan dari pihak zending. Pihak zending terus berusaha melalui para
penyewa tanah. Dengan kedudukan Pakubuwana X sebagai Panatagama, ia merasa
keberatan apabila rakyatnya memeluk agama selain Islam.
Pendirian sekolah
Mambaul’ulum selain karena alasan yang telah dijelaskan diatas juga karena
untuk pemenuhan kebutuhan akan pejabat keagamaan, yang merupakan kebutuhan
jangka pendek dan ulama sebagai kebutuhan jangka panjang.
Diharapkan sekolah
ini dapat mencetak calon-calon pejabat keagamaan yang betul-betul ahli dalam
bidangnya.
Sebelumya pejabat
keagamaan dipilih bukan berdasarkan kemampuan tetapi didasarkan pada kebutuhan,
yang terjadi disebabkan belum adanya pendidikan khusus yang memperdalam agama
Islam.
BACA Juga: Begini Cerita Buya Hamka Saat PKI Berkuasa
Sebelum berdirinya
Mambaul ‘Ulum, pendidikan masyarakat Surakarta diselenggarakan oleh kyai,
guru-guru agama, dan ulama. Bagi masyarakat Kauman yang merupakan tempat
tumbuhnya Islam dan ulama di Surakarta.
Masyarakat Kauman
menyekolahkan putra-putrinya di pondok pesantren. Misalnya: pondok pesantren
Jamsaren, Tremas, Pacitan. Pendidikan di pondok-pondok pesantren ternyata
menghasilkan ulama-ulama sebagai penerus abdi dalem Pamethakan.
Munculnya modernisasi
Islam di dalam keraton Kasunanan, ditandai adanya pendirian-pendirian sekolah
dan Mambaul ‘Ulum di lingkungan Kasunanan.
Dalam pemikiran
Pakubuwana X untuk meraih kemajuan dalam pendidikan tidak harus meninggalkan
tradisi dan budaya sendiri. Karena itu dalam pendidikan di madrasah Mambaul
‘Ulum diajarkan pelajaran kebudayaan Jawa dan agama Islam. Hal ini merupakan
usaha mendalam untuk mempertahankan keberlangsungan tradisi dan kebudayaan
Jawa, meskipun tidak menutup kemungkinan memanfaatkan kebudayaan barat secara
selektif untuk mengembangkan tradisi dan kebudayaan Jawa.
Pendirian Mambaul
‘Ulum sampai dengan 1945 berperan sangat penting dalam mencetak kader-kader
ulama tak hanya di Surakarta, tetapi di tanah Jawa.
Sistem pendidikan
yang diterapkan Sistem pendidikan yang diterapkan di Mambaul ‘Ulum adalah
sistem pendidikan yang berdasarkan Islam dengan mengakomodasi sistem pendidikan
Belanda, karena segala sesuatu harus disesuaikan dengan kemauan pemerintah
Belanda apalagi yang berhubungan dengan pendidikan.
Mambaul ’Ulum
merupakan pelopor dalam pembaharuan pendidikan karena memasukkan unsur
pendidikan Barat ke dalam kurikulum pendidikan Islam di Indonesia.
Sumber dana di
Mambaul ’Ulum semula sama seperti sekolah lain yang dikelola oleh Kasunanan,
yaitu semua anggaran untuk segala kebutuhan pelajaran ditanggung sepenuhnya
oleh pihak Kasunanan. Mulai dari sarana, pendirian gedung, serta
pemeliharaannya berasal dari kas Susuhunan pribadi.
Pada awal tahun 1905
sampai tahun 1920, Mambaul ‘ulum, dikelola sepenuhnya oleh pihak keraton
Kasunanan sendiri. Hal tersebut dikarenakan Pakubuwana X menaruh perhatian yang
besar dalam bidang pendidikan dan perkembangan Islam di Kasunanan, tidak heran
bila madrasah Mambaul ‘Ulum mengalami perkembangan yang pesat.
Belanja
penyelenggaraan Mambaul ’ulum ditanggung oleh pemerintah Kasunanan, sekalipun
uang sekolah harus disetorkan kepada pemerintah Kasunanan. Uang sekolah yang
dikenakan kepada setiap murid, 25 sen per bulan untuk murid Mambaul ‘Ulum pagi.
Uang sekolah ini
disetor ke kas pemerintahan Kasunanan.
Pakaian semua siswa
diharuskan mengenakan seragam sarung, batik dan jas. Sedangkan ustadz memakai
udeng (ikat kepala gaya Surakarta). Sekolah tersebut libur mingguan pada hari
Jumat.
Pendidikan Mambaul
’Ulum disesuaikan dengan sistem pendidikan Barat. Karenanya, jenjang
pendidikannya diatur ke dalam sebelas tingkatan kelas yang dibagi menjadi tiga
jenjang yaitu:
1) Bagian 1 kelas
I-IV, termasuk bagian Ibtidaiyah;
2) Bagian 2 kelas
V-VIII, termasuk bagian Wustha;
3) Bagian 3 kelas
IX-XI, termasuk bagian Ngulya;
Masing-masing jenjang
tersebut merupakan terminal tingkat pendidikan yang dipandang memiliki
kelengkapan dalam tingkat keahlian tertentu. Untuk itu pada tiap jenjang diberi
Syahadah (ijazah) tersendiri.
Pada tahun 1937, di
sejumlah kabupaten juga didirikan Mambaul ’Ulum, sampai kelas IV. Setelah tamat
dapat melanjutkan ke Mambaul ’Ulum Surakarta. Jumlah Mambaul ’ulum di kabupaten
ada 7 buah yaitu: di Klaten, Sragen, Boyolali, Wonogiri, Surakarta, Kartasura
dan Sukoharjo.
Mereka yang tamat
dari Madrasah Mambaul ‘Ulum ini umumnya bisa membaca kitab-kitab besar seperti:
Fathul Mu’in, Fathul Qarib, Taqrib Abu Sujak, Hadist Bukhari Muslim, Tafsir
Jalalain, Alfiyah Ibn Malik.
Tulisan dan sastra
Jawa harus dikuasai aktif, sedangkan bahasa Arab dengan membiasakan membaca
kitab-kitab beraneka ragam (komunikasi lisan bahasa Arab tidak diprioritaskan).
Lulusan Mambaul ‘Ulum
juga pada umumnya dapat membuat hitungan perbintangan (hisab) dalam menentukan
awal bulan Ramadhan dengan ilmu falaknya, mahir membagi warisan menurut Islam
yang memerlukan perhitungan rumit melalui ilmu Aljabar dan mahir
berpidato/ceramah di muka umum.
Dalam surat syahadah
(ijazah) dilampirkan kelulusan 16 kitab-kitabnya, antara lain: Kitab Muhadzdzab
(Fiqih), Alfiah Suyuthi (Hadis), Safinatun Nukhat, ‘Imriti, Mutammimah, Alfiah
Ibn Malik (Nahwu).
BACA Juga: Akrab dengan Al-Quran, Pria Tertua Usia 120 Tahun Ini Masih Sehat dan Kuat Ingatan
Selain itu, di
Mambaul ‘Ulum juga diajarkan bidang-bidang lain seperti Ilmu Falak, Manthiq
(Logika Aristotelian versi Arab), dan Ilmu Pendidikan versi Arab. Sedangkan dalam
bidang Pengetahuan Umum, diajarkan bahasa Jawa dan Indonesia, Berhitung, Ilmu
Bumi, Ilmu Alam, Menggambar, dan Tembang Jawa.
Dalam hal pekerjaan
kedinasan baik di lingkungan pemerintah Kasunanan maupun Gubernemen, tamatan
Mambaul ’ulum mendapat tempat yang terhormat. Ijazah Mambaul ’Ulum mempunyai
civil effect yang diakui pemerintah Hindia Belanda sederajat dengan Perguruan
(Universitas) yang mencetak ulama tenar di zamannya.
Dari Mambaul ‘Ulum
yang didirikan Pakubuwana X ini telah melahirkan banyak ulama dan pejabat
pemerintah diantaranya seperti: KHR. Moh Adnan (pendiri dan Rektor IAIN
Yogyakarta pertama), KH. Jauhar, KH. Prof A. Kahar Mudzakir (Anggota BPUPKI dan
Rektor UII Yogyakarta pertama), Brigjen Moh. Bahrun (mantan Pangdam VII
Diponegoro), Prof. KH.Saifudin Zuhri (Komandan Laskar Hizbullah Jawa Tengah,
Sekjen PBNU, dan Menteri Agama RI) Kyai Suyuthi (pendiri Yayasan Perguruan
Islam Raudlatul Ulum), Prof. Dr. Munawir Sjadzali (Menteri Agama RI), KH. Ali
Darokah (Ketua MUI Surakarta pertama, pemimpin Pondok Pesantren Jamsaren, dan
pengurus Al Islam Surakarta), Dr. Mohammad Ardhani (dosen pasca sarjana IAIN
Syahid Jakarta), KH. Muslim Imampuro (mbah Lim dari Klaten), Kyai Mansyur
(pendiri Ponpes Al-Mansyur Klaten), Kyai Dimyati (Ponpes Termas, Pacitan),
Syekh Ahmad al-Hadi (tokoh Islam dari Bali), Kiai Arwani Amin (Kudus), Kiai
Abdul Hadi Zahid (pengasuh Ponpes Langitan), KH Zarkasyi (pendiri Ponpes
Gontor), dan KH. Miftah Farid (Ketua MUI Jabar).
Lahirnya banyak tokoh
dakwah, tokoh pejuang, ulama, kyai, dan pemuka agama dari Mambaul ‘Ulum yang
didirikan oleh Sri Susuhunan Pakubuana X ini tentunya merupakan bagian dari
sumbangsih nyata kiprah perjuangan Pakubuwana X dalam sejarah peradaban Islam
di Indonesia dan Surakarta khususnya.
Dari madrasah Mambaul
‘Ulum yang didirikan Pakubuwana X ini, kota Surakarta yang sejak tahun 1905
dijadikan sebagai target wilayah kerja zending masih bisa mempertahankan diri
sebagai kota berpenduduk mayoritas Islam melalui aktivitas dakwah para ulama,
kyai, dan dai pelanjut tongkat estafet risalah Islam di Surakarta.
BACA Juga: Pahlawan dan Perjuangan dalam Islam
Artikel ini juga
telah tayang di Assahmah.com dengan judul “Peran Pakubuwana X dalam Dakwah
Islam”.