Mantan Menteri Hukum dan HAM yang juga Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra menilai, Presiden Jokowi harus bertindak cepat merespons putusan MK. (Istimewa) |
Menurut Yusril, pemerintahan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan mengalami pekerjaan berat usai adanya
putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Adapun Dua saran yang
diajukan Yusril untuk pemerintah tersebut adalah;
"Pertama,
memperkuat Kementerian Hukum dan HAM sebagai law centre dan menjadi leader
dalam merevisi UU Cipta Kerja," ujar Yusril melaui keterangan tertulisnya,
Jumat (26/11/2021).
"Kedua,
pemerintah dapat segera membentuk Kementerian Legislasi Nasional yang bertugas
menata, mensinkronisasi, dan merapikan semua peraturan perundang-undangan dari
pusat sampai ke daerah," sambungnya.
Ia menjelaskan, UU
Cipta Kerja menggunakan metode omnibus law yang meniru Amerika Serikat dan
Kanada. Namun, metode tersebut berbenturan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP).
Dalam undang-undang
tersebut, setiap pembentukan peraturan maupun perubahannya, secara prosedur
harus tunduk pada UU PPP. Adapun dalam undang-undang tersebut, tak mengatur
metode omnibus law.
"Sebab itu,
ketika UU Cipta Kerja yang dibentuk dengan meniru gaya omnibus law diuji formil
dengan UU Nomor 12 Tahun 2011, UU tersebut bisa dirontokkan oleh MK," ujar
Yusril.
MK memutus bahwa
prosedur pembentukan UU Cipta Kerja menabrak prosedur pembentukan
undang-undang. Sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
"Tidak heran dan
tidak kaget jika MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional, masih bagus MK
hanya menyatakan inkonstitusional bersyarat. Kalau murni inkonstitusional, maka
pemerintah Presiden Jokowi benar-benar berada dalam posisi yang sulit,"
ujar Yusril.
"Presiden Joko
Widodo (harus) bertindak cepat melakukan revisi menyeluruh terhadap UU Cipta
Kerja, tanpa harus menunggu dua tahun," sambungnya.
MK melarang
pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bersifat strategis terkait Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
"Menyatakan
untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan
berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana
baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja," ujar Ketua MK Anwar Usman, saat membacakan putusan, pada Kamis
(25/11).
Fakta Angka UU Cipta Kerja - (Infografis Republika.co.id) |
Dalam putusannya Majelis Hukum MK menyatakan, UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai tenggang waktu yang telah ditentukan dalam putusan tersebut. Namun, jika dalam jangka waktu dua tahun tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja tersebut menjadi inkonstitusional secara permanen.
"Memerintahkan
kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu
paling lama dua tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang
waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen," ujar Anwar
Usman.
Mahkamah berpendapat,
proses pembentukan UU Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD
1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil. Dalam pertimbangan putusan, MK
menilai, metode penggabungan atau omnibus law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas
apakah metode tersebut merupakan pembuatan UU baru atau hasil revisi.
Kemudian, dalam
pembentukannya, UU Cipta Kerja tidak memegang asas keterbukaan kepada publik.
Naskah akademik dan rancangan UU Cipta Kerja tidak dapat diakses dengan mudah
oleh masyarakat. Padahal, berdasarkan Pasal 96 ayat 4 UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, akses terhadap UU diharuskan
untuk memudahkan masyarakat memberikan masukan secara lisan atau tertulis.