"Pertanyaan yang dilayangkan JPU bermula dari laporan yang diterima Tubagus dari anggotanya saat kejadian penembakan di dalam mobil terhadap anggota Laskar FPI yang hendak dibawa ke Mapolda Metro Jaya dari rest area KM 50 Cikampek, Jawa Barat".
Suasana sidang unlawful killing laskar FPI di PN Jakarta Selatan, Selasa (9/11/2021). [Suara.com/Bagaskara] |
sukabumiNews.net, JAKARTA – Jaksa Penuntut Umum, dalam persidangan perkara Unlawful Killing Laskar FPI bertanya pada Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Kombes Tubagus Ade Hidayat soal Standar Operasi Prosedur atau SOP penggunaan sejata api oleh anggota polisi. Tubagus hadir dalam persidangan sebagai saksi.
Pertanyaan yang dilayangkan JPU bermula dari laporan yang diterima Tubagus dari anggotanya saat kejadian penembakan di dalam mobil terhadap anggota Laskar FPI yang hendak dibawa ke Mapolda Metro Jaya dari rest area KM 50 Cikampek, Jawa Barat.
"Siapa yang
membawa empat orang Laskar ke Polda Metro Jaya?" tanya JPU dalam
persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (9/11/2021), dikutip sukabumiNews.net,
dari Suara.com.
Dari hasil laporan
yang diterima, Tubagus menyebut jika yang membawa para anggota Laskar FPI
adalah terdakwa Briptu Fikri, terdakwa Ipda M. Yusmin Ohorella, dan almarhum
Ipda Elwira. Laporan itu, kata Tubagus, menyebutkan bahwa empat orang Laskar
FPI menyerang dengan cara mencekik dan merebut senjata.
"Saat mobil
berjalan tidak terlalu lama dari lokasi rest area KM 50, mereka (Fikri,
Ohorella, dan Almarhum Elwira) diserang oleh keempat anggota laskar tersebut
diserang dan juga untuk merebut senjata, ini hasil laporan," jawab
Tubagus.
Atas tindakan itu,
maka Fikri, Ohorella, dan almarhum Elwira mengambil langkah secara spontan.
Kata Tubagus, anggotanya melakukan penembakan yang mengakibatkan empat orang
anggota Laskar FPI tewas.
"Kemudian secara
spontan, mereka mengambil langkah untuk mengamankan daripada senjata tersebut.
Kemudian mereka melakukan tembakan ke arah anggota Laskar dan akibatnya
meninggal dunia, itu yang dilaporkan anggota," ujarnya.
Lantas, JPU bertanya
mengenai SOP penggunaan senjata api oleh anggota kepolisian. Tubagus
mengatakan, penggunaan senjata api merujuk pada sejumlah indikator.
"Yang mau saya
tanyakan, apakah di kepolisian Bareskrim apakah ada SOP penggunaan senjata
api?" tanya JPU..
"Digunakan
ketika sudah membayakan diri dan masyarakat, maka senjata wajar dan patut
digunakan ketika serangan yang dilakukan itu membahayakan jiwa baik terhadap
dirinya maupun orang lain," tutur Tubagus.
Tidak sampai di situ,
dengan kembali merujuk pada SOP, JPU bertanya soal bagian tubuh mana yang harus
disasar oleh anggota polisi dalam kondisi terdesak. Dalam jawabannya, Tubagus
menyebut jika dalam kondisi normal, anggota polisi peluru yang dilepaskan harus
ditujukan untuk melumpuhkan.
"Digunakan
senjata api jika sesuai SOP bagian tubuh seperti apa?" kata JPU.
"Kalau dalam
kondisi normal itu ditujukan untuk melumpuhkan," lanjut Tubagus.
Namun, dalam konteks
ini, lanjut Tubagus, kondisi yang dialami anggotanya sedang dalam ruang yang
sempit, yakni di dalam mobil. Otomatis, bagian tubuh yang ditujukan untuk
melumpuhkan, seperti kaki tidak terlihat.
"Kondisi yang
dilaporkan oleh anggota itu kondisinya spontan, kejadian itu secara spontan
dalam ruangan yang sempit dalam mobil posisi yang terlihat adalah bagian
(tubuh) atas karena di dalam mobil," ujar Tubagus.
"Kalau kondisi
tidak normal itu ditembakkan ke mana?" tanya JPU.
"Anggota badan
yang terlihat. Yang terlihat kalau di dalam mobil gambaran saya otomatis bagian
kaki ke bawah tertutup, tentu yang terlihat adalah bagian atas. Dan mohon
jangan dibayangkan dalam posisi yang ideal, tolong dibedakan posisi yang ideal
dengan posisi spontan. SOP itu mengatur hanya dalam kondisi yang normal,"
kata Tubagus.
Surat Perintah
Penyelidikan
Merujuk pada dakwaan
JPU, kasus tewasnya enam Laskar FPI ini bermula dari eks pentolan FPI, Habib
Rizieq Shihab yang berkali-kali menghindar dari panggilan Polda Metro Jaya
terkait kasus pelanggaran prokes. Kemudian polisi juga memperoleh informasi
jika akan ada pengerahan massa pendukung Rizieq ke Mapolda Metro Jaya pada 7
Desember 2020.
Atas hal itu, Polda
Metro Jaya memerintahkan para anggotanya, yakni Fikri Ramadhan, Ipda M. Yusmin
Ohorella -- yang juga terdakwa, dan Ipda Elwira Priadi Z -- almarhum untuk
melakukan langkah-langkah secara tertutup. Selain itu, Polda Metro Jaya juga
memerintahkan anggota lainnya.
Penugasan itu merujuk
pada Surat Perintah Tugas Nomor: SP.Gas 9769/12/2020/SubditIII/Resmob
tertanggal 5 Desember 2020. Langkah-langkah tertutup itu juga merujuk pada
Surat Perintah Penyelidikan Nomor: SP.Lidik/5626/XII/Ditreskrimum tertanggal 5
Desember 2020.
Dalam sidang, Tubagus
mengatakan jika kepolisian telah memanggil Rizieq ke Polda Metro Jaya pada
tanggal 1 Desember 2020. Hanya saja, dia urung hadir memenuhi panggilan
tersebut.
Tubagus melanjutkan,
dengan tidak hadirnya Rizieq pada panggilan pertama, maka pihaknya melayangkan
panggilan kedua. Namun, Tubagus menyebut bahwa, "Baik panggilan pertama
dan kedua, tidak semudah yang dibayangkan".
Merujuk informasi
yang diterima kepolisian, lanjut Tubagus, Rizieq akan datang pada ke Polda
Metro Jaya pada tanggal 7 Desember 2020. Informasi yang diterima juga
menyebutkan jika Rizieq akan "memutihkan" gedung Polda Metro Jaya
dengan jumlah massa yang banyak.
Dari informasi itu,
Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya menerbitkan surat perintah
penyelidikan. Hal itu dilakukan guna mengetahui rencana pergerakan massa yang
akan datang ke Polda Metro Jaya.
"Surat perintah
penyelidikan untuk mengetahui kantong-kantong, mengetahui rencana pergerakan
massa," papar Tubagus.
Lantas, JPU bertanya
terkait tugas Tubagus selaku Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.
Tubagus menjawab jika tugas seorang Dirkrimum adalah menjalankan fungsi
penyelidikan, pengawasan penyelidikan, hingga melakukan analisa pelaksanaan
penyelidikan dan penyidikan.
"Itu kapasitas
Dirkrimum," ucap dia.
Dakwaan
Jaksa
Dalam surat dakwaan
yang dibacakan, terdakwa Briptu Fikri dan Ipda Yusmin didakwa melakukan
tindakan penganiayaan yang mengakibatkan kematian secara bersama-sama. Dalam
kasus ini, total enam eks Laskar FPI tewas tertembus timah panas.