Oleh: Dede Farhan Aulawi (Pemerhati Pemilu, Mantan Anggota Kompolnas) |
sukabumiNews.net – PEMILU di Indonesia memiliki asas "LUBER" yang merupakan singkatan dari Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia.
Langsung, berarti
pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh
diwakilkan. Umum, berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara
yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Bebas, berarti pemilih diharuskan
memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Rahasia, berarti
suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si
pemilih itu sendiri.
Asas ini jika bisa
diimplementasikan secara utuh tentu sangat ideal, namun dalam prakteknya karena
banyak kepentingan, kendala dan lain-lain sehingga masih diperlukan adanya
perbaikan-perbaikan serta pengawasan yang lebih efektif.
Pengawasan yang
efektif ini akan sangat berpengaruh pada hasil pemilu yang berkualitas. Namun
hal ini pun sama, pengawasan yang efektif juga belum bisa diterapkan secara
ideal. Tapi semangatnya untuk terus melakukan perbaikan patut kita hormati dan
hargai. Adagiumnya, “Tidak ada yang “Terbaik”, tapi pasti akan selalu ada yang
“lebih baik”.
Kemudian jika dilihat
perkembangannya, terutama di masa reformasi berkembang pula asas
"Jurdil" yang merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil".
Asas jurdil ini memberi tekanan pada seluruh pihak yang terkait dengan
penyelenggaraan pemilu agar bisa berlaku jujur dan adil.
"Jujur"
mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan
untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih
sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama
untuk menentukan wakil rakyat/ pemimpin yang akan dipilih.
Asas "adil"
adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada
pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu.
Asas jujur dan adil
mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga
penyelenggara pemilu. Dalam hal tersebut, kualitas dan integritas penyelenggara
pemilu akan sangat menentukan.
Bukan hanya
penyelenggara di KPU dan Bawaslu saja, tetapi juga KPUD dan Bawasluda. Termasuk
kepiawaian dalam penyelesaian sengketa hasil pemilu ataupun pilkada, karena
prakteknya seringkali terjadi saling gugat terhadap hasil pemilu tersebut.
Jargon “siap kalah
dan siap menang” dalam tataran praktek tidak sesederhana itu, apalagi adanya
dugaan berbagai praktek manipulasi dan kecurangan suara, dan lain-lain.
Oleh karena itu
Bawaslu Kabupaten/Kota pun semuanya harus memahami pola dan prosedur
penyelesaian sengketa dalam pelaksanaan Pilkada. Semua harus paham mulai dari
penerimaan sengketa secara tepat dan efisien melalui Sistem Informasi
Penyelesaian Sengketa (SIPS).
Di samping itu, masih
ada lagi keperluan peningkatan kapasitas dan mutu keterampilan atau kemampuan
teknis mediasi dan sidang adjudikasi. Apalagi hal tersebut akan berkaitan
dengan kewenangan dalam melakukan sidang dan membuat putusan. Termasuk
sosialisasi dan familirisasi penggunaan Sistem Informasi Penyelesaian Sengketa
(SIPS).
SIPS diharapkan dapat
membuka informasi yang luas kepada peserta sehingga pengajuan permohonan
penyelesaian sengketa dapat mewujudkan pelaksanaan tugas-tugas penyelesaian
sengketa lebih efektif, efisien, dan transparan secara cepat dan praktis
(online).
Hal ini juga
diperkuat oleh keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) terkait dengan legalitas
kedudukan dan wewenang Bawaslu Kabupaten/Kota yang bersifat peramanen. Hal ini
tentu meligitimasi keputusan rekomendasi Bawaslu Kabupaten/Kota menjadi sah.
Oleh karena itu peran
Bawaslu, termasuk Bawaslu Daerah semakin penting dalam menjamin kejujuran dan
keadilan para penyelenggara pemilu dan seluruh pihak yang terkait. Misalnya
saja bagaimana Bawaslu/daerah mampu melakukan pengawasan terhadap ASN
(Aparatur Sipil Negara) guna menjamin netralitas sesuai aturan. Artinya tidak
ada paksaan atau tekanan dari pemilik kekuasaan yang memerintah dan menggiring
mereka untuk memilih orang atau partai tertentu.
SIPS yang sudah
dimiliki oleh Bawaslu diharapkan bisa diimplimentasikan lebih efektif lagi oleh
seluruh personil yang terkait, dan diharapkan bisa digunakan secara merata di
seluruh tanah air.
Satu Data Indonesia
(SDI) dan infrastruktur teknologi diharapkan juga sudah mampu menunjang secara
efektif untuk keperluan ini. Jika SIPS udah sudah bisa dimaksimalkan
penggunaannya maka transparansi dan akuntabilitas Bawaslu akan semakin
meningkat.
Apalagi dalam penyelesaian sengketa saat ini
tidak ada lagi mediasi, melainkan musyawarah mufakat sebagai kesepakatan
bersama. Dalam persidangan mufakat akan selalu ditawarkan, kecuali saat
pembacaan putusan. Terlebih waktu masa penyelesaian sengketa 12 hari kalender.
Dengan demikian
efektifitas pengawasan yang dilakukan oleh Bawaslu/ daerah ini akan sangat
menentukan kualitas pemilu. Namun sekali lagi tantangan pemenuhan SDM yang
berkualitas dan berintegritas yang merata di seluruh tanah air tentu menjadi
tantangan tersendiri.