Jama'ah Masjid Al Hikmah Dukuh Sanggrahan, RT 03 RW III, Anggramanis, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Selasa (15/6/2021). |
sukabumiNews.net, KARANGANYAR (JATENG) – Puluhan pemeluk Hindu di kawasan lereng Gunung Lawu sekitar Candi Cetho menyatakan masuk Islam sejak pandemi covid-19. Saat ini tengah dibina di Masjid Al Hikmah Dukuh Sanggrahan, RT 03 RW III, Anggramanis, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah (Jateng).
Masjid Al Hikmah
merupakan sebuah masjid kecil di Desa tersebut. Sejak kedatangan pendakwah dari
sebuah pondok pesantren yang ditugaskan ke Desa ini pada tahun 2006 silam,
masyarakat muslim mulai belajar Islam dan berusaha mengamalkan ajaran Islam
termasuk meninggalkan tradisi yang dinilai bertentangan dengan aqidah Islam.
Jama'ah masjid yang
berjumlah 11 orang yang berusaha meninggalkan tradisi kesyirikan, sempat diisolir
dari penduduk setempat.
Mereka yang
meninggalkan tradisi dikeluarkan dari perkumpulan warga, dan ketika memiliki
hajatan tidak dibantu masyarakat lain bahkan pernah dipersulit.
Saat jama'ah masjid
tersebut memiliki hajatan, masyarakat yang menentangnya menutup jalan dengan
batu, sehingga para tamu tidak dapat menghadiri, bahkan saluran air dimatikan.
Kisah itu disampaikan Gimin, salah satu aktifis masjid yang pernah diisolir.
“Waktu itu kan 11
orang, ditarik kurang lebih 50 ribu per orang untuk bersih desa 1 Syuro,” kata
Gimin, dilansir Panjimas.com, Selasa (15/6/2021) lalu.
Gimin mengatakan
bahwa uang iuran tersebut dibelanjakan untuk membuat peralatan atau makan-makan
(sesaji). Biasanya iuran dibelikan seekor kambing untuk sesembahan kemudian
dibagikan ke masyarakat per bungkus tiap KK.
“Terus kami menentang
ndak mau ikut setelah itu. Dari Islam kan melarang kesyirikan, persembahan
selain Allah itu kan dilarang gitu. Terus masyarakat menentang-menentang terus,
akhirnya kita itu sama mereka diolok-olok. Katanya kamu Islam Arab ya sana
pergi ke Arab, ngenggoni wong Jowo kudu ngenggoni Jowone (tradisi.red),”
katanya.
Setelah dikeluarkan
dari berbagai perkumpulan warga tersebut, 11 orang muslim tersebut kembali
menghidupkan masjid. Dari kejadian tersebut, jamaah masjid semakin bertambah.
“Yang tadinya ikut
kelompok RT banyak yang ikut ke Masjid, jadinya kita lebih kuat,” katanya.
Meskipun diisolir
dari masyarakat, para jamaah masjid tersebut justru membalasnya dengan muamalah
yang baik kepada masyarakat yang menentangnya.
Gimin beserta jamaah
yang lain membuat program santunan kepada masyarakat yang kurang mampu, anak
yatim dan para janda tua. Santunan tersebut murni sosial, diberikan secara umum
tanpa melihat latar belakang agamanya.
“Awalnya kami
mu'amalah, sana (masyarakat) punya hajatan kita bantu bersama, meskipun mereka
mengolok-olok, tapi kita diam, muamalah kan tidak dilarang oleh agama,”
katanya.
Dikucilkan dari
masyarakat tak membuat Gimin beserta jamaah yang lain surut semangatnya untuk
berbuah baik dan terus mendakwahkan Islam. Dari kota infak masjid yang
dikelolanya bersama takmir, ia membelanjakan
berupa peralatan dapur atau bolo pecah, keranda jenazah dan peralatan
lainnya.
Dari peralatan itu,
masjid berlaku mandiri atau tidak bergantung kepada pihak lain, justru masjid
meminjamkan peralatan tersebut bagi siapapun yang membutuhkan, bahkan umat
agama lain termasuk pemeluk Hindu yang menjadi mayoritas di wilayah tersebut.
Gimin. |
“Hindu juga kami tasarufi, jadi nggak harus umat Islam. Umat Hindu juga kami tasarufi, alhamdulillah baik, biasanya mereka ‘matursuwun le wong aku nyang anu kae wae ra tau diwehi neng pemerintah kok aku Masjid bola bali diwehi wae’ (terimakasih nak, aku saja tidak dikasih oleh pemerintah, kok sekarang dikasih terus dari Masjid)” Kata Bapak tiga anak tersebut.
Dengan muamalah
tersebut, masyarakat yang menentang pemahaman dan amalan para jamaah masjid
berangsur-angsur pudar.
Jamaah Masjid Al
Hikmah tetap memberikan santunan, membantu program-program kemasyarakatan
seperti kerja bakti dan sebagainya, namun tetap meninggalkan tradisi yang
bertentangan dengan aqidah Islam.
Masyarakat pemeluk
Hindu dan yang lainnya saat ini saling menghormati dan bertoleransi. Sehingga
kegiatan Masjid Al Hikmah diterima masyarakat dan didukung oleh perangkat desa
sekitarnya.
Fenomena puluhah umat
Hindu masuk Islam, terjadi sejak Pandemi Covid-19. Pada Ramadhan 1441 H tahun
2020 lalu, datang seorang dai dari Solo yang ditugaskan selama bulan suci
Ramadhan.
Dengan metode
dakwahnya yang lembut, dai tersebut mampu merangkul seluruh komponen masyarakat
dari kalangan muda hingga yang tua. Berkat dakwahnya ke masyarakat dan
berkerjasama dengan jamaah Masjid Al Hikmah, menimbulkan ketertarikan
tersendiri dari pemeluk Hindu untuk mengucapkan kalimat syahadat.
Terhitung sejak tahun
2020 lalu, saat ini mualaf Hindu berjumlah sekitar 34 orang. Namun dalam
membina para mualaf di desa tersebut, Masjid Al Hikmah merasa masih membutuhkan
bantuan. Hal itu disampaikan oleh Abu Yahya, salah satu aktifis masjid yang
membina para mualaf tersebut saat ini.
“Orang-orang sini itu
masih butuh moril, materil untuk mensupport mereka, kalau mengandalkan
kita-kita sendiri itu masih kurang. Kita dari remaja masjid tempat saya
khususnya itu hanya sekedarnya saja, mungkin ya membina untuk sholat, untuk
melatih bagaiamana cara membaca Al-Qur’an itu saja, yang lainnya untuk
menguatkan mereka supaya bisa bertahan dan istiqomah di Islam itu butuh sesuatu
yang menguatkan mereka,” terang Abu Yahya.
Abu Yahya mengatakan
saat ini membutuhkan figur seorang tokoh, dai yang mampu bermuamalah dengan
baik, berakhlaqul karimah, sehingga dapat membina para mualaf yang mayoritas
bekerja sebagai petani sayur dan ekonomi menengah kebawah, serta mengembangkan
dakwah Islam di lereng Gunung Lawu. Sebuah desa yang mayoritas penduduknya
beragama Hindu.