Pemimpin Mali. (Foto: BBC)
sukabumiNews.net, MALI
– Presiden Prancis Emmanuel Macron mengancam akan menarik pasukannya keluar
dari Mali jika negara tersebut bergerak menuju “Islamisme radikal” setelah kudeta
kedua dalam sembilan bulan.
Hal itu disampaikannya
Emmanuel Macron dalam pernyataan yang dipublikasikan pada Ahad (30/5/2021).
Prancis memiliki
sekitar 5.100 tentara di wilayah yang disebut operasi Barkhane yang mencakup
lima negara di Sahel – Burkina Faso, Chad, Mali, Mauritania dan Niger.
Misi tersebut, yang
berpusat di Chad, diluncurkan setelah Prancis melakukan intervensi untuk
menangkis serangan jihadis di Mali pada 2013.
Pada awal pekan ini,
Prancis dan Uni Eropa mengecam kudeta yang tidak dapat diterima setelah
presiden sementara Mali Bah Ndaw dan perdana menteri Moctar Ouane ditahan serta
dilucuti dari kekuasaan mereka.
Macron mengatakan dia
telah memberi tahu Ndaw bahwa Prancis akan menarik pasukannya jika Mali beralih
ke “Islamisme radikal”.
“‘Islamisme radikal’
di Mali dengan tentara kita di sana? Tidak pernah,” katanya kepada surat kabar
mingguan The Journal du Dimanche, dilansir BBC, Ahad (30/5).
“Ada bujukan ini hari
ini di Mali. Tapi jika negara itu mengarah ke sana, saya akan menarik
(pasukan),” katanya memperingatkan dalam pernyataan yang dibuat selama
perjalanan ke Rwanda dan Afrika Selatan.
Macron menambahkan
bahwa dia telah memberikan pesan kepada para pemimpin Afrika Barat bahwa mereka
tidak dapat mendukung sebuah negara di mana tidak ada lagi legitimasi atau
transisi demokratis.
Economic Community of
West African States (ECOWAS) telah mengundang pemimpin junta Mali Kolonel
Assimi Goita ke ibukota Ghana, Accra, untuk berkonsultasi menjelang KTT luar
biasa pada Ahad yang dikhususkan untuk Mali.
Goita terbang ke
Accra pada Sabtu, kata sumber militer dan pihak bandara.
Dia menjabat sebagai
wakil presiden sejak memimpin kudeta Agustus lalu yang menggulingkan presiden
yang terpilih secara demokratis, dengan peran presiden dan perdana menteri
dipegang oleh warga sipil setelah tekanan dari ECOWAS, yang menjabat sebagai
mediator.
Namun, para pemimpin
transisi ditahan pada Senin sebelum dibebaskan pada Kamis, dengan militer
mengatakan mereka telah mengundurkan diri.
Penangkapan itu memicu
kegaduhan diplomatik dan menandai kudeta kedua dalam setahun di negara Sahel.