Ketua KPK, Firli Bahuri. (Foto: Humas KPK) |
sukabumiNews, JAKARTA – Sebanyak 75 pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) telah dinonaktifkan. Mereka diminta menyerahkan tugas dan tanggung jawab ke atasan masing-masing sampai keputusan lebih lanjut.
Indonesia Corruption
Watch (ICW) menilai TWK yang membuat 75 pegawai KPK tak lolos merupakan bagiana
upaya balas dendam Ketua KPK, Firli Bahuri. Sebab di antara 75 pegawai KPK
tersebut, terdapat sejumlah orang yang pernah menangani pelanggaran etik Firli
ketika masih menjabat Deputi Penindakan KPK.
"ICW meyakini
tes wawasan kebangsaan yang diikuti oleh seluruh pegawai dimanfaatkan Firli
Bahuri sebagai upaya balas dendam. Betapa tidak, ada sejumlah orang di antara
75 pegawai KPK yang diberhentikan paksa sempat tergabung dalam tim investigasi
dugaan pelanggaran kode etik Firli Bahuri saat ia masih menjabat sebagai Deputi
Penindakan," ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, dalam keterangannya,
Jumat (14/5/2021).
Kurnia tak menyebut
siapa pihak yang 'ditarget' Firli melalui TWK tersebut. Tetapi dari daftar
pegawai yang tak lolos TWK, terdapat nama Deputi Bidang Koordinasi dan
Supervisi KPK, Herry Muryanto. Hal itu disampaikan Direktur Pembinaan Jaringan
Kerja antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK, Sujanarko, yang ikut dalam daftar
pegawai yang tak lolos.
Sujanarko mengungkap
Herry Muryanto pernah bersinggungan dengan Firli Bahuri. Yakni ketika Firli
Bahuri diduga melanggar etik saat masih menjabat Deputi Penindakan KPK pada
akhir 2018 lalu.
Menurut Sujanarko,
Herry Muryanto merupakan Deputi Pengawas Internal dan Pengaduan Masyarakat
(PIPM) yang menangani dugaan pelanggaran etik Firli Bahuri.
Pada akhir 2018
silam, Firli Bahuri memang sempat dilaporkan terkait pelanggaran etik saat
menjabat Deputi Penindakan KPK.
KPK menyatakan bahwa
Firli diduga melanggar kode etik berat saat masih menjabat Deputi Penindakan
KPK. Hal itu tak terkait 4 pertemuan dengan pihak yang berkaitan dengan perkara
ataupun pihak yang memiliki risiko independensi serta tidak melaporkan seluruh
pertemuan tersebut kepada pimpinan KPK. Dua pertemuan di antaranya terjadi
dengan Tuan Guru Bajang (TGB) selaku Gubernur NTB pada 2018.
Wakil Ketua KPK pada
saat itu Saut Situmorang menyebut bahwa hal ini berawal dari adanya laporan
masyarakat pada 18 September 2018. Serangkaian pemeriksaan pun telah dilakukan
terhadap Firli dan saksi-saksi yang selesai pada 30 Desember 2018.
Hasil pemeriksaan
dari PIPM yang dipimpin Herry Muryanto itu kemudian diserahkan kepada pimpinan
KPK pada akhir Januari 2019.
Pengumuman
pelanggaran kode etik ini hanya selisih sehari menjelang Firli menjalani fit
dan proper test untuk capim KPK. Firli Bahuri ketika itu menjadi kandidat kuat
jadi pimpinan KPK periode 2019-2023.
Meski diduga
melanggar etik berat, tidak ada sanksi yang dijatuhkan. Sebab kala itu, Firli
Bahuri sudah ditarik Polri untuk menjabat Kapolda Sumatera Selatan. KPK
kemudian memberhentikannya dengan hormat atas penarikan Polri itu.
Ketua KPK Firli
Bahuri saat Penyerahan Hasil Asesmen Tes TWK Pegawai KPK di Kantor Kementerian
PANRB, Selasa (27/4). Foto: Dok. KemenPAN RB
Dendam Firli
Terkait Protes Petisi dari Pegawai KPK
Kurnia menambahkan,
dendam Firli terhadap para pegawai yang tak lolos TWK juga terkait petisi yang
sempat digaungkan.
Ketika itu, pegawai
KPK membuat petisi yang mempersoalkan upaya menghambat penanganan kasus di
tingkat Kedeputian Penindakan yang dipimpin Firli Bahuri.
"Selain itu,
dendam ini juga terkait dengan isu petisi yang sempat digaungkan oleh pegawai
KPK tatkala memprotes kontroversi Deputi Penindakan, di antaranya: penanganan
perkara yang mandek, memperlakukan khusus seorang saksi, tingginya tingkat
kebocoran informasi penindakan, dan tidak disetujuinya sejumlah
penggeledahan," ujar Kurnia.
Sehingga merujuk 2
poin tersebut, kata Kurnia, menguatkan kesimpulan TWK hanya sebagai alat Firli
untuk menyingkirkan pihak tertentu di KPK.