Gambar Screenshot. (Dok. FNN) |
Oleh: Asyari Usman
sukabumiNews, MEDAN – Banyak yang harus dikritik keras terkait cara Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memimpin Partai Demokrat (PD). Begitu juga cara pendinastian Partai Mercy itu kepada anak-anak beliau.
SBY jelas-jelas menzalimi Anas Urbaningrum ketika dia terpilih sebagai ketua umum PD di Kongres II 20-23 Mei 2010 di Bandung. Pada 2013, SBY melakukan “kudeta” terhadap Anas untuk merebut posisi ketua umum.
Selain itu, SBY juga ikut bertanggung jawab atas pengukuhan kepresidenan Joko Widodo (Jokowi) yang kemudian mengelola negara ini dengan cara yang sewenang-wenang. Yang telah menimbulkan kekacauan ekonomi, kegaduhan sosial, dan kebobrokan politik.
Banyak tindak-tanduk SBY yang tidak elegan ketika dia menguasai PD. Ketika dia memanfaatkan partai ini untuk menopang kekuasaannya. Dan ketika dia menjadikan Demokrat sebagai “properti keluarga”.
Singkat kata, SBY memang pantas dicela dalam cara dia menguasai dan menjalankan PD.
Akan tetapi, cara Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko mengambil alih PD sekarang ini, jauh lebih parah lagi. Jauh lebih tak beradab. Bahkan sangat brutal. Pengecut. Dan menunjukkan keteladanan yang jorok dalam kehidupan politik Indonesia yang belakangan ini memang sudah rusak berat.
Moeldoko mengambil alih PD dengan cara “jalanan”. Mirip-mirip dengan aksi para begal yang merampas sepeda motor di tengah malam. Di tikungan-tikungan sepi.
SBY mengambil Demokrat dari tangan Anas lewat cara yang sah dan sesuai AD-ART. Ini saja pun terlihat sangat keji. Konon pula dengan cara-cara yang dilakonkan oleh Moeldoko.
Moeldoko bukan kader Demokrat. Kudeta mungkin masih bisa “dimaklumi” kalau dia adalah bagian dari partai. Kalau dia sudah lama bergelut di partai itu semisal Marzuki Ali.
Moeldoko melancarkan kudeta karena mentang-mentang. Mentang-mentang dia berkuasa. Mentang-mentang bisa mengendalikan aparat keamanan supaya tidak membubarkan Kongres Luar Biasa (KLB) di Sibolangit yang sangat bertentangan dengan protokol kesehatan.
KLB di Sibolangit (5-7 Maret 2021) yang dipimpin oleh Jhoni Allen Marbun adalah bentuk kepengecutan. Sengaja menjauh dari kekuatan solid PD di Jawa dan wilayah-wilayah lain yang mendukung kepemimpinan sah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Tidak ada satu pun ketua DPD atau DPC yang hadir di Sibolangit, kata AHY.
KLB ini adalah perhelatan ala “kangaroo court” (pengadilan kangguru). Yaitu, cara-cara yang tidak sah. Simaklah cara Jhoni Allen ketika membacakan hasil Kongres berikut ini.
“Kongres Luar Biasa Partai Demokrat menimbang dan seterusnya, mengingat dan seterusnya, memperhatikan, memutuskan, menetapkan pertama, dari calon kedua tersebut atas voting berdiri, maka Pak Moeldoko ditetapkan menjadi Ketua Umum Partai Demokrat periode 2021-2025.”
Beginilah prosesi “kangaroo court” yang diketuai Jhoni Allen. Begitu kongres dibuka, saat itu juga Moeldoko langsung terpilih sebagai ketua umum. Menabrak semua ketentuan internal partai.
Kudeta Moeldoko ini tidak boleh dibiarkan. AHY sudah benar dalam menyatakan sikapnya untuk melawan. Menkum HAM tidak etis, tidak konstitusional, dan tidak aspirasional kalau mensahkan kepengurusan hasil kudeta terkutuk ini.
Moeldoko memberikan contoh yang sangat buruk kepada generasi penerus tentang cara menjadi pimpinan partai. Karena itu, jangan sampai orang seperti ini menjadi pemimpin bangsa dan negara. Jangan sampai dia menjadi presiden lewat PD yang dia rampas.
Publik perlu diingatkan karena sangat santer ambisi Moeldoko untuk ikut dalam Pilpres 2024. Kalau saja kendaraan politik Meoldoko adalah hasil rampasan, bagaimana lagi nanti dia mengelola negara ini jika diberi mandat sebagai presiden?
Penulis Wartawan Senior FNN.co.id.