Ilustrasi: Sikap Seorang Pemimpin Ketika Dikritik Rakyatnya. (Istimewa/ net) |
Pidato Sayyidina Umar Diprotes Seorang Perempuan
SUKABUMINEWS – Suatu hari Sayyidina Umar naik ke atas mimbar lalu berpidato di depan khalayak.
"Wahai orang-orang, jangan kalian banyak-banyak dalam memberikan mas kawin kepada istri. Karena mahar Rasulullah shallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya sebesar 400 dirham atau di bawah itu. Seandainya memperbanyak mahar berniliai takwa di sisi Allah dan mulia, jangan melampaui mereka. Aku tak pernah melihat ada lelaki yang menyerahkan mahar melebihi 400 dirham."
Dalam riwayat lain, Sayyidina Umar mengancam akan memangkas setiap kelebihan dari mahar itu dan memasukkannya ke baitul mal. Seorang perempuan Quraisy berdiri lalu melontarkan protes ketika Sayyidina Umar turun dari podium.
"Hai Amirul Mu'minin, kau melarang orang-orang memberikan mahar kepada istri-istri mereka lebih dari 400 dirham?" "Ya."
“Apakah kau tak pernah dengar Allah menurunkan ayat:
وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا
"... kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak (sebagai mahar)..." (QS an-Nisa': 20).
Protes tersebut disambut hangat oleh Sayyidina Umar. Ia membaca istighfar dan berujar, "Tiap orang lebih paham ketimbang Umar."
Ini adalah kalimat retorik Sayydina Umar dari kepribadiannya yang rendah hati dan karakter kepemimpinannya yang tidak antikritik. Dalam riwayat lain ia mengatakan,
"(Kali ini) perempuan benar, lelaki salah."
Selanjutnya khalifah kedua ini kembali ke atas mimbar dan berkata, "Wahai khalayak, tadi aku larang kalian memberikan mahar kepada istri melebihi 400 dirham. Sekarang silakan siapa pun memberikan harta (sebagai mahar) menurut kehendaknya."
Ada hal yang lebih menarik dari soal perdebatan tentang jumlah mas kawin, yakni cara Sayyidina Umar sebagai khalifah kala itu dalam menyikapi kritik dari warganya. Ia menunjukkan kelasnya sebagai pemimpin teladan dengan tanpa sungkan mengakui kekurangannya.
Sayyidina Umar juga tanpa ragu merevisi isi pidatonya meski koreksi datang dari seorang perempuan, bagian dari kelompok manusia yang pernah ia rendahkan pada zaman jahiliyah.
Khalifah Abu Bakar pun Minta Dikritik
Khalifah Abu Bakar
selaku pemimpin pertama negara Islam pasca wafatnya Rasulullah menerima amanah
Khalifah dengan berat dan penuh ketakutan pada Allah.
Dalam pidato
pertamanya pasca menerima bai’at, beliau berujar;
“Saudara-saudara, aku telah diangkat menjadi pemimpin bukanlah karena aku yang terbaik di antara kalian semuanya, untuk itu, jika aku berbuat baik, bantulah aku, dan jika aku berbuat salah, luruskanlah aku. Sifat jujur itu adalah amanah, sedangkan kebohongan itu adalah pengkhianatan. ‘Orang lemah’ di antara kalian aku pandang kuat posisinya di sisiku dan aku akan melindungi hak-haknya. ‘Orang kuat’ di antara kalian aku pandang lemah posisinya di sisiku dan aku akan mengambil hak-hak mereka yang mereka peroleh dengan jalan yang jahat untuk aku kembalikan kepada yang berhak menerimanya. Janganlah di antara kalian meninggalkan jihad, sebab kaum yang meninggalkan jihad akan ditimpakan kehinaan oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Patuhlah kalian kepadaku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Jika aku durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk mematuhiku. Kini marilah kita menunaikan Shalat semoga Allah Subhanahu Wata’ala melimpahkan Rahmat-Nya kepada kita semua.”
Begitu Juga dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz
Suatu hari, usai mengurus pemakaman jenazah Sulaiman bin Abdul Malik, sang khalifah Umar bin Abdul Aziz pulang ke rumah untuk istirahat sejenak. Tiba-tiba Abdul Malik bin Umar, putra sang khalifah, menghampirinya.
Ia bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, apakah gerangan yang mendorong Anda membaringkan diri di siang hari seperti ini?” Umar bin Abdul Aziz tersentak campur kaget tatkala sang putra memanggilnya dengan sebutan Amirul Mukminin, bukan ayah, sebagaimana biasanya.
Ini isyarat, putranya tengah meminta pertanggungjawaban ayahnya sebagai pemimpin negara, bukan sebagai kepala keluarga. Umar menjawab pertanyaan putranya, “Aku letih dan butuh istirahat sejenak.”
“Pantaskah engkau beristirahat, padahal masih banyak rakyat yang teraniaya?” kata sang anak dengan bijak. “Wahai anakku, semalam suntuk aku menjaga pamanmu. Nanti usai Zhuhur aku akan mengembalikan hak-hak orang yang teraniaya,” jawab Umar.
“Wahai Amirul Mukminin, siapakah yang dapat menjamin Anda hidup sampai Zhuhur jika Allah menakdirkanmu mati sekarang?” kata Abdul Malik. Mendengar ucapan anaknya itu, Umar bin Abdul Aziz semakin terperangah.
Lalu, ia memerintahkan anaknya untuk mendekat, diciumlah anak itu sembari berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah mengaruniakan kepadaku anak yang telah membuatku menegakkan agama.”
Selanjutnya, ia perintahkan juru bicaranya untuk mengumumkan kepada seluruh rakyat, “Barang siapa yang merasa terzalimi, hendaknya mengadukan nasibnya kepada khalifah.”
Kisah di atas memberikan pelajaran (ibrah) berharga kepada kita dan para pemimpin di negeri ini bahwa setiap pemimpin di level manapun akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya di hadapan manusia (di dunia) dan di hadapan Allah kelak (di akhirat).BACA Juga: Aparat Desa Memaki-maki Guru SMP Lantaran Postingannya di Facebook