Menurut anda seberapa penting Pemilukada dilaksanakan di tengah Pandemi Covid-19?, Lalu Bagaimanakah upaya Negara dalam penyelenggaraan pemilu dimasa pandemi ini?.
Oleh: Muhammad Yuga
Fadillah
sukabumiNews.net –
MASA PANDEMI COVID-19 masih berlangsung dengan pemberitaan up-to-date setiap
harinya yang diterima masyarakat melalui media masa atau media cetak, sebagian
masyarakat sudah merasa bosan dengan pemberitaan Pandemi ini sehingga muncul rasa
tidak peduli bahkan tidak percaya akan hal ini.
Namun tak sedikit
juga masyarakat yang tetap memperhatikan informasi Pandemi Covid-19 ini
sehingga tetap waspada dan melaksanakan protokol kesehatan dan mematuhi segala
anjuran atau kebijakan yang disampaikan oleh pemerintah, hal ini menunjukkan
tingkat kesadaran setiap masyarakat yang berbeda-beda terhadap pandemi ini,
demikian hal itu bahwa terdapat masyarakat yang memiliki kesadaran aktif dan
masih ada juga yang memiliki kesadaran pasif.
Kasus positif virus
Covid-19 di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda penurunan, setelah
sebelumnya penambahan sempat turun dikisaran 2000-an. Kini kasus harian mulai
bertambah angka 3000-4000-an perharinya. Per Jumat (13/11) Kemenkes melaporkan
tambahan 5.444 kasus Corona baru di Indonesia. Dengan penambahan ini, maka kini
total kasus positif Covid-19 sebanyak 457.735.
Ini merupakan rekor
terbaru penambahan tertinggi setelah 8 bulan lebih pandemi Covid-19. Sementara
pasien yang meninggal bertambah sebanyak 104 jiwa, sehingga totalnya mencapai
15.037 orang. Untuk jumlah jumlah pasien Covid-19 yang sembuh juga kian
bertambah dilaporkan sebanyak 3.010 pasien sembuh dari Corona, sehingga
totalnya jadi 385.094 orang. (Kumparan.com)
Sementara dalam
penyelenggaraan Pemilukada 2020 di Indonesia, Komisi II DPR RI bersama Pemerintah
akhirnya sepakat menyetujui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak akan
dilaksanakan pada 9 Desember 2020 dengan menyesuaikan kondisi pandemi Covid-19.
Keputusan itu diambil dalam Rapat Kerja Komisi II DPR RI dengan Menteri Dalam
Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Dalam rapat yang
digelar secara virtual pada Rabu (27/5/2020), Kemudian Ahmad Dolly Kurnia
menyampaikan tiga indikator sukses pelaksanaan Pilkada serentak di tengah
pandemi, yakni seluruh tahapan berjalan sesuai dengan peraturan yang ada,
partisipasi masyarakat tinggi dan masyarakat aman dari Covid-19. Tak hanya itu,
tambahan informasi mengenai Sirekap dan tata cara pencoblosan juga disampaikan
agar berjalan dengan baik dan sesuai protokol kesehatan. (dpr.go.id)
Namun tentunya setiap
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan selalu mendapatkan reaksi
posistif atau negatif dari masyarakat, baik berupa dukungan atau tuntutan.
Dalam hal ini terdapat penolakan pelaksanaan hari pemungutan suara sesuai
dengan jadwal yang ditentukan Perppu No.2 Tahun 2020, yakni pada 9 Desember
2020, yaitu berasal dari elemen masyarakat sipil yang terdiri dari Netgrit,
Netfid, Perludem, PUSaKO FH Unand, Puskapol UI, Rumah Kebangsaan, Kopel, JPPR,
KIPP Indonesia, dan PPUA Disabilitas bahkan telah menggelar petisi daring untuk
mendorong penyelenggaraan Pilkada pada tahun 2021.
Dasar dari dorongan
penundaan ini adalah situasi pandemi Covid-19 yang hingga saat ini masih juga
belum menurun. (M Dani Pratama/hukumonline.com)
Di Amerika Serikat
menjadi negara pertama di dunia yang telah melampaui 10 juta infeksi Virus
Corona, menurut penghitungan Reuters pada Minggu, 8 November, melansir laman
Channel News Asia, Senin (9/11/2020), Amerika Serikat telah melaporkan sekitar
satu juta kasus dalam 10 hari terakhir, tingkat infeksi tertinggi sejak negara
itu melaporkan kasus virus corona pertamanya di negara bagian Washington 293
hari lalu.
Negara itu melaporkan
rekor 131.420 kasus COVID-19 pada hari Sabtu dan telah melaporkan lebih dari
100.000 infeksi empat kali dalam tujuh hari terakhir, menurut penghitungan
Reuters. Laporan terbaru AS rata-rata selama tujuh hari dari 105.600 kasus
harian, meningkat setidaknya 29 persen. Kemudian Di tengah pertarungan Joe
Biden versus Donald Trump, kasus Covid-19 Amerika Serikat tercatat bertambah
pada Rabu (4/11), dengan sedikitnya 102.591 kasus. (Tri Verdiana/Liputan6.com).
Sistem pemilihan umum
yang dilakukan di Amerika Serikat berbeda dari Indonesia. Jika di Indonesia
pemenang pemilu adalah peraih suara terbanyak, di Amerika Serikat tidak
demikian. Amerika serikat memiliki sistem pemilihan yang menarik yaitu dengan
sistem Electoral Vote dan Electoral College. Calon presiden yang mendapatkan
suara terbanyak dari rakyat tidak otomatis menjadi pemenang. Dalam sistem
pemilu Amerika Serikat, ada sebuah tahap yang lebih menentukan dari pada suara
warga.
Warga AS memiliki
peran hanya sebagai penentu jumlah pemilih untuk maju lagi ke tahap akhir yaitu
Electoral College atau lembaga pemilih yang akan menentukan Presiden Amerika
Serikat. Pada hari minggu (08/11) pasangan dari Partai Demokrat yaitu Joe Biden
dan Kamala Harris mendapatkan kemenangan atas Electoral Vote sebesar 290
sedangkan pasangan Partai Republik Donald Trump dan Mike Pence dengan perolehan
Electoral Vote 217.
Namun babak penentuan
melalui Electoral College akan dilaksanakan pada 14 Desember mendatang, lalu
jika kita kalkulasikan suara yang didapatkan oleh dua calon ini, apakah ada
potensi kemenangan untuk Donal Trump?
Pemilu merupakan
bagian dari salah satu contoh bentuk nyata perwujudan demokrasi.
Negara Indonesia
dengan Demokrasi Pancasila dan Amerika Serikat dengan Demokrasi Liberal sama
sama menyelenggarakan pemilu dengan suasana terbuka, bebas berpendapat, dan kebebasan
berserikat. Kemudian berarti mengedepankan nilai-nilai dasar dalam demokrasi
yaitu salah satunya kedaulatan rakyat, dimana suara rakyatlah yang menentukan
siapa pemimpinnya.
Sementara itu dalam
mengukur pemilu yang demokratis dengan memahami pemilu sebagai mekanisme
demokratis untuk memilih wakil-wakil rakyatnya, pemilu seharusnya menjadi ajang
persaingan kompetitif bagi calon-calon wakil dan atau partai politik untuk
memperoleh sebanyak mungkin dukungan pemilih.
Melihat pendapat
Maurice Duverger tentang sistem kepartaian, bahwa Indonesia dalam sistem
kepartaiannya termasuk pada sistem multi partai yaitu sistem banyak partai.
Dimana seharusnya melaksanakan fungsi Partai polititk dalam sistem demokrasi
salah satunya melakukan seleksi calon-calonya untuk dijadikan kandidat
pemilihan umum, namun di Indonesia tidak di indahkan hal itu karena masih
banyak partai yang tidak menggunakan fungsinya dengan baik dan masih minim
perannya dalam melahirkan pemimpin.
Selanjutnya Badan
Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mencatat, hingga pendaftaran bakal pasangan
calon (bapaslon) Pilkada 2020 ditutup pada Ahad (6/9) pukul 24.00, terdapat 28
kabupaten/kota dengan satu bapaslon yang mendaftar. Dengan demikian, 28 daerah
itu berpotensi menggelar pilkada dengan satu paslon atau calon tunggal.
Bapaslon tunggal itu tersebar di 14 provinsi. Dari 14 provinsi, Jawa Tengah
menjadi provinsi dengan jumlah calon tunggal terbanyak dengan enam bapaslon
yang tersebar di enam kabupaten/kota.
Kemudian dengan sikap
pragmatisnya partai berkoalisi yang berlebihan, sudah tidak mencalonkan
kadernya lalu kemudian menjadi partai pengusung untuk satu calon karena Paslon
memiliki investasi ekonomi-politik, dalam pandangan Marx kelas yang berkuasa
secara ekonomi, yaitu memiliki dan mengontrol faktor-faktor produksi juga
berkuasa secara politik. Kemudian partai juga mencari aman untung sebuah
kemenangan. Sehingga lahir bahasa “borong partai”. Seolah-seolah Indonesia
memiliki sistem partainya adalah Dwi Partai, padahal jumlah Partai di Indonesia
mencapai 14 partai politik. Hal itu tidak membina stabilitas politik.
Sungguh ironis hal
ini karena secara langsung derajat demokrasi di Indonesia ini turun. Padahal
derajat demokrasi akan lebih baik apabila diikuti lebih dari satu pasangan dan
sebaiknya satu partai mempersiapkan kadernya untuk mencalonkan.
Pemilu Amerika
Serikat dengan Sistem Electoral College juga memiliki kelemahan bahwa sistem
ini hanya menguntungkan dua partai besar yakni Republik dan Demokrat serta
menciutkan nyali partai-partai lain atau kandidat independen. Itu artinya stok
kandidat yang ada pun amat minim.
Bagi para penentang
Electoral College, sistem ini jelas telah kuno, anti-demokrasi, tidak adil,
tidak akurat, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Mereka menuntut pemilihan
langsung lebih rasional untuk dilakukan. Selama 200 tahun terakhir, tercatat 700
proposal telah diajukan kepada Kongres untuk memperbaiki atau bahkan menghapus
Electoral College. Tidak satu pun proposal itu diloloskan oleh Kongres.
Terlaksananya
penyelenggaraan pemilu di dua Negara ini sejalan dengan pemahaman Josep
Schumpeter bahwa pada dasarnya kehendak umum adalah keputusan politik yang
dikeluarkan oleh pejabat publik yang mengikat, bukan kehendak umum yang
mendekte keputusan politik pejabat publik.
Selanjutnya
Schumpeter menekankan bahwa demokrasi harus dipahami sebagai proses atau
prosedur bagaimana seseorang mengikuti kontestasi pemilihan umum untuk
menduduki jabatan politik, serta dengan jabatan tersebut dia memiliki kekuatan
untuk membuat keputusan yang mengikat. Definisi yang diberikan Schumpeter ini
kemudian akrab dipahami sebagai “Demokrasi Prosedural”.
Untuk memperkuat
pemikirannya tersebut, Schumpeter mendefinisikan demokrasi sebagai prosedur
mendapatkan kekuasaan melalui pemilihan umum, Selaras dengan penyelenggaraan
pemilu oleh Negara Indonesia dan Amerika Serikat yang tetap melaksanakan pemilu, baik
Indonesia dengan Pemilihan kepala daerahnya pada 09 Desember mendatang maupun
Amerika dengan Pemilihan Presidennya dengan agenda selanjutnya yaitu Electoral
College pada 14 Desember 2020 mendatang.
Hemat penulis bahwa
kedua negara tersebut menerapkan Demokrasi Prosedural, lalu kedua negara ini
menyadari pentingnya re-generasi atau transformasi kepemimpinan secara sah
karena hanya dengan cara itulah negara demokrasi mendapatkan legitimasi
kepemimpinannya dan demi menjalankan sistem pemerintahan yang demokratis.
Kemudian penulis
melihat apabila ditundanya pemilu karena keadaan pandemi ini dikhawatirkan
menjadi mainan politik elit, karena pandemi ini bukan bencana biasa yang bisa
tepat diperkirakan kapan berakhirnya. Kemudian tensi demokrasi akan terganggu
yang pada akhirnya akan bermuara pada masalah sosial konflik antara elitis dan
sesama anak bangsa.
Dalam hal ini
harusnya masyarakat melihat secara obyektif kemaslahatan bersama bukan hanya
sekedar muatan politik.
Maka dalam hal ini
penyelenggaraan pemilu pada masa pandemi harus tetap berjalan demi terciptanya
stabilitas politik dan demi kebaikan bersama tentu melalui kebijakan-kebijakan
pemerintah untuk kesejahteraan rakyat. Tentu dengan catatan besar tetap melaksanakan
protokol kesehatan.
*Penulis adalah
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia
Editor: Red