sukabumiNews, JAKARTA – Rapat Paripurna DPR RI Senin 5 Oktober 2020 mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Omnibus Law Ciptaker) menjadi Undang-undang resmi.
Sebelumnya, Pemerintah
bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR RI memang telah menyepakati substansi
Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Omnibus Law Ciptaker) dalam Raker
Panja, Sabtu (3/10/2020) di Jakarta.
"Telah kita
dengar pandangan dan pendapat akhir dari Badan Legislatif," ujar Pimpinan
Rapat Paripurna DPR Azis Syamsudin yang juga sebagai Wakil Ketua DPR di
Jakarta, Senin (5/10/2020).
Dalam proses
Paripurna DPR memang sempat menimbulkan perdebatan. Salah satunya dari
pandangan Fraksi-fraksi.
Benny K Harman, dari
Fraksi Demokrat meminta agar para Fraksi menyampaikan pandangannya terlebih
dahulu. "Agar masyarakat mengetahui kenapa Fraksi Demokrat menolak RUU ini
menjadi UU," kata Benny.
Akhirnya Pimpinan DPR
menyetujui usul tersebut agar setiap Fraksi menyampaikan pandangannya. Dalam
pandangannya, sebagian besar fraksi setuju dan tercatat hanya 2 fraksi yang
tidak menyetujui RUU ini menjadi UU. Adalah Fraksi Demokrat dan Fraksi PKS.
Fraksi Demokrat
melalui Juru Bicaranya Marwan Cik Asan menilai ada pasal yang bisa mencederai
lingkungan dalam proses investasi. Demokrat juga menilai RUU ini disusun
seperti terburu-buru.
"RUU Cipta Kerja
harus dapat berikan road map arah Indonesia ke depan seperti apa. RUU Cipta
Kerja ini ada sejumlah persoalan mendasar," kata Marwan.
Persoalan mendasar di
antaranya, Demokrat berpendapat Pandemi Covid-19 haruslah diutamakan untuk
penanganannya. Serta tercederainya hak-hak para pekerja dalam adanya RUU ini.
"RUU Cipta Kerja
pembahasannya cacat prosedur. Pembahasan tidak transparan dan akuntabel dan
tidak melibatkan pekerja dan civil society," katanya.
"Demokrat
menyatakan menolak untuk menjadikan UU. Harus dilakukan pembahasan lebih
utuh," kata Marwan.
Juru Bicara Fraksi
PKS, Amin AK mengatakan adanya banyak catatan dari Fraksi PKS. "Secara
substansi Fraksi PKS menilai RUU ini bertentangan dengan politik hukum dan
kebangsaan," terangnya.
"Adanya
liberalisasi sumber daya alam. Melalui pemberian kemudahan kepada pihak swasta
dalam investasi," imbuh Amin.
Ia juga mengatakan,
pengusaha sangat diuntungkan dan buruh dirugikan terkait hubungan kerja dan
pesangon. "Fraksi PKS menolak RUU Cipta Kerja ini untuk dijadikan UU dalam
pembahasan tingkat II," tutur Amin.
BACA Juga: Ini 9 Alasan Serikat Pekerja Tolak RUU Onmibus Law Ciptaker
Setelah proses
pandangan Fraksi, Pimpinan DPR Azis Syamsudin menyatakan pimpinan mengambil
suara berdasarkan pandangan Fraksi. Tercatat 6 Fraksi menerima dan 1 Fraksi
menerima dengan catatan (Fraksi PAN). Sementara 2 Fraksi menolak (Fraksi
Demokrat dan Fraksi PKS).
Azis pun telah
mengetuk palu yang menandakan DPR telah menyepakati RUU Omnibus Law menjadi UU
tersebut.
Sayangnya, dalam
proses tersebut, Fraksi Demokrat menyatakan Walk Out dari Rapat Paripurna
karena merasa tidak diakomodir masukannya yang meminta agar dilakukan
penundaan.
Adapun Pimpinan Rapat
Paripurna DPR yang juga hadir langsung adalah Ketua DPR Puan Maharani berserta
Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel & Sufmi Dasco.
Dalam Rapat Paripurna
tersebut, Ketua Baleg Supratman Andi Agtas melaporkan Cipta Kerja ini salah
satunya menerapkan one map policy untuk tata ruang wilayah. Sementara UU Cipta
Kerja ini nantinya akan mengatur tenaga kerja asing yang disahkan oleh
pemerintah pusat.
Adapun Supratman
menegaskan nantinya dalam Omnibus Law ini pemerintah juga menetapkan jaminan
kehilangan pekerjaan bagi para pekerja. "Yang preminya dianggarkan oleh
premi dan APBN. Serta ditegaskan Cipta Kerja ini tidak menghilangkan cuti haid
dan hamil," terangnya.
Cipta Kerja, sambung
Supratman juga menghadirkan kebijakan kemudahan berusaha dari UMKM, koperasi
hingga lembaga besar.
Namun Supratman
menegaskan dua fraksi memang tidak menerima RUU Cipta Kerja ini yakni Fraksi
Demokrat dan Fraksi PKS.
"Dinamika yang
terjadi, seperti perdebatan fraksi telah dilewati dan perdebatan cukup dalam
juga terjadi saat pembahasan."
Di sisi lain, langkah
DPR untuk meloloskan UU ini dilakukan di tengah tuntutan buruh yang menganggap
adanya pasal-pasal kontroversial.
Berikut di antara pasal-pasal
yanga dianggap kontroversial seperti dikutip sukabumiNews dari dari CNBC Indonesia
1. Upah Minimum
Presiden Konfederasi
Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan Upah Minimum
Kabupaten/Kota (UMK) dibuat bersyarat dengan memerhatikan laju inflasi atau
pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK)
dihapus dalam RUU Cipta Kerja.
Menurut Iqbal, UMK
tidak perlu bersyarat dan UMSK harus tetap ada. Sebab UMK setiap kabupaten atau
kota berbeda nilainya. Dia juga tidak setuju jika UMK di Indonesia disebut
lebih mahal dari negara ASEAN lainnya.
Jika diambil rata-rata
nilai UMK secara nasional, UMK di Indonesia disebut jauh lebih kecil dari upah
minimum di Vietnam.
"Tidak adil,
jika sektor otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor
pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai UMK-nya
sama dengan perusahaan baju atau perusahaan kerupuk. Karena itulah di seluruh
dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah
tiap-tiap industri terhadap PDB negara," papar Iqbal.
Sebagai jalan
tengahnya penetapan nilai kenaikan dan jenis industri yang mendapatkan UMSK
bisa dilakukan di tingkat nasional untuk beberapa daerah dan jenis industri
tertentu saja.
Sehingga UMSK tidak
lagi diputuskan di tingkat daerah dan tidak semua industri mendapatkan UMSK
agar ada keadilan.
"Jadi tidak
harus sama rata sama rasa, karena faktanya setiap industri berbeda
kemampuannya. Karena itu masih dibutuhkan UMSK," kata Iqbal.
2. Pesangon Berkurang
Buruh juga menolak
pengurangan nilai pesangon dari 32 kali upah menjadi 25 kali upah dalam RUU
Cipta Kerja. Di dalamnya, 19 bulan dibayar pengusaha dan 6 bulan dibayar BPJS
Ketenagakerjaan. Dia mempertanyakan dari mana BPJS mendapat sumber dana untuk
membayar pesangon.
"Karena tanpa
membayar iuran tapi BPJS membayar pesangon buruh 6 bulan. Bisa dipastikan BPJS
Ketenagakerjaan akan bangkrut atau tidak akan berkelanjutan program JKP
Pesangon dengan mengikuti skema ini," tutur Iqbal.
3. Kontrak Kerja
Tanpa Batas Waktu
Buruh pun menolak
skema Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang dihapus batas waktunya. Hal
ini membuat buruh bisa saja dikontrak seumur hidup tanpa menjadi karyawan
tetap.
"Buruh menolak
PKWT seumur hidup," ujar Iqbal.
4. Outsourcing Seumur
Hidup
Iqbal juga
menjelaskan dalam RUU Cipta Kerja, kontrak outsourcing disebut bisa seumur
hidup. Outsourcing juga diterapkan tanpa batas jenis pekerjaan.
"Padahal
sebelumnya outsourcing dibatasi hanya untuk lima jenis pekerjaan," kata
Iqbal.
5. Baru Dapat
Kompensasi Minimal 1 Tahun
RUU Cipta Kerja
mengatur kompensasi bagi pekerja yang akan diberikan bila masa kerja sudah
mencapai minimal satu tahun. Sementara itu, kontrak kerja sudah tidak memiliki
batasan waktu. Iqbal khawatir, buruh yang dikontrak di bawah satu tahun tak
akan mendapatkan kompensasi kerja.
"Dalam RUU Cipta
Kerja disebutkan, buruh kontrak yang mendapat kompensasi adalah yang memiliki
masa kerja minimal 1 tahun. Pertanyaannya, bagaimana kalau pengusaha hanya
mengontrak buruh di bawah satu tahun? Berarti buruh kontrak tidak akan
mendapatkan kompensasi," kata Said.
Hal itu dinilai bisa
menjadi masalah serius bagi buruh. Alasannya, pihak yang akan membayar Jaminan
Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk karyawan kontrak dan outsourcing menjadi tidak
jelas.
Pengusaha bisa
mengontrak buruh di bawah satu tahun untuk menghindari membayar kompensasi.
Intinya, kata Iqbal, tidak ada kepastian kerja bagi buruh Indonesia.
"Sekarang saja
jumlah karyawan kontrak dan outsourcing berkisar 70% sampai 80% dari total
buruh yang bekerja di sektor formal. Dengan disahkannya Omnibus Law, apakah mau
dibikin 5% hingga 15% saja jumlah karyawan tetap? No job security untuk buruh
Indonesia, apa ini tujuan investasi," papar Iqbal.
6. Waktu Kerja yang
Berlebihan
Buruh juga menolak
waktu kerja yang disepakati dalam RUU Cipta Kerja, karena dinilai bersifat
eksploitatif dan cenderung berlebihan.
UU Cipta Kerja diatur
lebih fleksibel untuk pekerjaan paruh waktu menjadi paling lama 8 jam per hari
atau 40 jam per minggu. Sedangkan untuk pekerjaan khusus seperti di sektor
migas, pertambangan, perkebunan, pertanian dan perikanan dapat melebihi 8 jam
per hari.
"Buruh menolak
jam kerja yang eksploitatif," kata Iqbal.
7. Hak Upah Cuti yang
Hilang
Said mengatakan hak
cuti melahirkan dan haid tidak dihilangkan, yang jadi masalah, selama cuti
tersebut buruh menjadi tidak dibayar. Pihaknya tidak setuju hal itu terjadi.
"Yang hilang
saat cuti haid dan hamil, upah buruhnya tidak dibayar, no work no pay.
Akibatnya buruh perempuan tidak akan mengambil hak cuti haid dan hamilnya
karena takut dipotong upahnya pada saat mengambil cuti tersebut," ungkap
Iqbal.
Dia ingin selama cuti
haid dan melahirkan tersebut buruh tetap diberikan haknya sebagai pekerja. Jika
buruh tidak dibayar selama cuti, menurutnya telah bertentangan dengan
Organisasi perburuhan internasional (ILO).[CNBC]
Foto: Sidang Paripurna DPR RI. (Tangkapan Layar TV Parlemen)