Ilustrasi: Vaksin Covid-19. (Foto: Net)
sukabumiNews.net,
JAKARTA – Di tengah perjuangan ilmuwan untuk menghasilkan vaksin Covid-19,
gelagat penolakan terhadap vaksinasi muncul pada kelompok masyarakat di
berbagai negara. Mengingat jumlah mereka cukup besar, ilmuwan mengingatkan
pemerintah untuk tidak menyepelekan hal tersebut.
Para ilmuwan
menyerukan pemerintah segera bertindak untuk meningkatkan kepercayaan
masyarakat pada imunisasi Covid-19. Apalagi, perawatan yang efektif cuma
sedikit dan tidak ada obat untuk melawan virus corona.
Kondisi itulah yang
membuat perusahaan dan pemerintah berlomba untuk mengembangkan vaksin dalam
upaya untuk menghentikan pandemi. Ilmuwan mencermati, keraguan terhadap vaksin
meningkat akibat informasi yang salah dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap
kemajuan ilmu pengetahuan.
Dalam sebuah studi
baru yang diterbitkan di Nature Medicine, para peneliti di Spanyol, Amerika
Serikat, dan Inggris mensurvei 13.400 orang di 19 negara yang terpukul oleh
Covid-19. Mereka menemukan bahwa 72 persen dari mereka akan diimunisasi, 14
persen akan menolak dan 14 persen ragu-ragu.
Ketika ditelisik
kemungkinan penolakan vaksinasi pada seluruh populasi, jumlahnya bisa mencapai
puluhan juta orang. Ilmuwan mengatakan, temuan ini harus menjadi seruan untuk
bertindak bagi komunitas kesehatan internasional.
BACA Juga: Cina Peringatkan Virus Baru Lebih Berbahaya Daripada COVID-19 di Kazakhstan
"Jika kami tidak
mulai membangun literasi vaksin dan memulihkan kepercayaan publik pada sains
saat ini, kami tidak dapat berharap untuk menahan pandemi ini," kata rekan
penulis Heidi Larson, yang menjalankan Proyek Kepercayaan Vaksin di London School
of Hygiene and Tropical Medicine dilansir Republika.co.id
dari laman Health 24 pada Jumat, 23 Oktober 2020.
Para peneliti
menemukan bahwa orang-orang yang paling tidak percaya pada pemerintah cenderung
tidak menerima vaksin. Bahkan, mereka yang pernah kena Covid-19 cenderung tidak
merespons secara positif.
Sementara itu, di
China, 87 persen responden mengatakan mereka akan menggunakan vaksin yang
"terjamin, aman, dan efektif". Jumlah respondennya tertinggi dari
semua negara yang disurvei.
Sementara itu,
proporsinya turun menjadi 75 persen di AS. Di Rusia, angkanya serendah 55
persen.
"Kami menemukan
bahwa masalah keraguan terhadap vaksin sangat terkait dengan kurangnya
kepercayaan pada pemerintah," kata koordinator studi Jeffrey Lazarus, dari
Barcelona Institute for Global Health.
Kalangan dewasa tua
Ketika ditanya apakah
masyarakat akan menerima vaksin yang disetujui dan aman yang direkomendasikan
"oleh pemberi kerja", hanya 32 persen responden yang sepenuhnya
setuju. Tingkat penerimaan sangat bervariasi di setiap negara.
China sekali lagi memiliki
tanggapan positif yang paling jelas. Sebanyak 84 persen menyetujui penuh atau
agak setuju. Di Rusia, angkanya cuma 27 persen.
Studi tersebut
dirilis dalam Union World Conference on Lung Health. Mereka menemukan
penerimaan yang lebih besar terhadap vaksin di antara orang-orang yang
berpenghasilan lebih dari 32 dolar AS (sekitar Rp 467 ribu) per hari.
BACA Juga: Peneliti Saudi Berhasil Memecahkan Kode Genetik Virus Corona
Mereka juga menemukan
orang tua lebih mungkin menerima vaksin daripada mereka yang berusia di bawah
22 tahun. Dalam inisiatif baru yang didukung oleh AS dan Vaccine Alliance Gavi,
para ilmuwan yang terlibat dalam pengembangan vaksin akan muncul dalam
serangkaian video di media sosial untuk membantu meningkatkan kepercayaan
publik terhadap pengembangan vaksin.
Para peneliti dan
dokter di Inggris, AS, Afrika Selatan, India, dan Brasil akan mengunggah video
edukasi dengan tagar #TeamHalo, referensi ke lingkaran upaya ilmiah global di
TikTok, Twitter, dan Instagram.
"Saya terbiasa
menghabiskan waktu memipet sampel dan menganalisis data. TikTok adalah hal baru
bagi saya, tetapi saya antusias untuk mengungkap karya kami dan membuatnya
dapat diakses oleh dunia," kata Anna Blakney, seorang ahli biologi yang
berpartisipasi dan merupakan bagian dari tim pengembangan vaksin di Imperial
College di London.
Awal bulan ini,
sebuah studi di jurnal Royal Society Open Science menemukan bahwa sepertiga
orang di beberapa negara mungkin percaya informasi yang salah tentang virus
corona dan pada gilirannya kurang terbuka untuk imunisasi. Penelitian terbaru
dari Cornell University menemukan bahwa Presiden AS Donald Trump adalah
pendorong kesalahan informasi Covid-19 terbesar di dunia karena promosinya
tentang apa yang oleh para peneliti disebut "obat ajaib".
Sementara itu,
kecepatan perkembangan vaksin telah menimbulkan kekhawatiran di beberapa
negara. Apalagi, Rusia pada bulan Agustus mengeklaim bahwa mereka akan mulai
meluncurkan vaksin Sputnik V sebelum uji coba fase 3.
Klaim tersebut paling
banyak mendapat kritik. Sebab, karena terlalu prematur untuk menyebut vaksin
sudah tersedia. (Rol/sn)
BACA Juga: Ilmuan Inggris Sebut Corona Sulit Dimusnahkan
Editora: Red