Ribuan buruh dari berbagai perusahaan bersama Mahasiswa se-Sukabumi
melakukan aksi unjuk rasa di lapangan Merdeka, Sukabumi, Jawa Barat, menolak UU
Cipta Kerja Omnibus Law, Rabu (7/10/2020).
sukabumiNews.net, JAKARTA
– Demonstrasi buruh dan mahasiswa, Kamis (8/10/2020) kemarin, dituding dilatari
berbagai hoaks yang ada di media sosial soal Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker).
Presiden Konfederasi
Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal dalam pernyataan tertulisnya, Sabtu
(10/10/2020), menjawab tudingan tersebut.
"Terkait dengan
beredar di tengah masyarakat mengenai hoaks tentang 12 poin permasalahan
sekitar Omnibus Law UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan yang tidak sesuai
dengan faktanya," kata Said.
KSPI memberikan
analisa terhadap 12 poin yang disebut hoaks tersebut, sekaligus menjawab
tudingan.
Berikut analisa 12 poin yang dianggap hoaks tersebut seperti dikutip sukabumiNews dari KOMPAS TV pada Sabtu (10/10/2020).
BACA Juga: Tidak Saja Buruh dan Mahasiswa, Wali Kota Sukabumi Sepakat Menolak Omnibus Law
1. Benarkah uang
pesangon akan dikurangi?
Faktanya : Uang
pesangon dikurangi.
Bahkan hal ini diakui
sendiri oleh Pemerintah dan DPR. Uang pesangon dari 32 kali dikurangi menjadi
25 kali, sebanyak 19 dibayar pengusaha dan 6 bulan melalui Jaminan Kehilangan
Pekerjaan atau JKP yang akan dikelola BPJS Ketenagakerjaan.
Lagipula dalam masih
belum jelas, yang oleh JKP itu 6 kali atau 6 bulan, karena kami tidak menemukan
hal ini dalam omnibus law. Di mana bisa saja besarnya hanya sekian ratus ribu
selama 6 kali.
KSPI berpandangan,
ketentuan mengenai BPJS Ketenagakerjaan yang akan membayar pesangon sebesar 6
bulan upah tidak masuk akal. Dari mana sumber dananya? Pengurangan terhadap
nilai pesangon, jelas-jelas merugikan kaum buruh.
Selain itu, karena
dalam omnibus law buruh kontrak dan outsourcing tanpa batasan jenis industri
dan bisa “seumur hidup”, maka besar kemungkinan tidak ada pengangkatan karyawan
tetap. Ketika tidak pengangkatan, dengan sendiri pesangon akan hilang (tidak
lagi didapatkan buruh).
2. Benarkah UMP, UMK,
UMSK, dan UMSP dihapus?
Faktanya: Upah
Minimum Sektoral (UMSP dan UMSK) dihapus. Sedangkan UMK ada persyaratan.
Dihapusnya UMSK dan
UMSP merupakan bentuk ketidakadilan. Sebab sektor otomotif seperti Toyota,
Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di
Morowali dan lain-lain, nilai upah minimumnya sama dengan perusahan baju atau
perusahaan kerupuk.
Itulah sebabnya, di
seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai
tambah tiap-tiap industri terhadap PDP negara.
Fakta lain adalah,
UMK ditetapkan bersyarat yang diatur kemudian adalah pemerintah. Bagi KSPI, hal
ini hanya menjadi alibi bagi Pemerintah untuk menghilangkan UMK di
daerah-daerah yang selama ini berlaku, karena kewenangan untuk itu ada di
pemerintah. Padahal dalam UU 13 Tahun 2003, UMK langsung ditentukan tanpa
syarat.
Fakta yang lain, UU
Cipta Kerja yang wajib ditetapkan adalah upah minimum provinsi (UMP). Ini makin
menegaskan kekhawatiran kami bahwa UMK hendak dihilangkan, karena tidak lagi
menjadi kewajiban untuk ditetapkan.
Adapun yang
diinginkan buruh adalah UMSK tetap ada dan UMK ditetapkan sesuai UU 13 Tahun
2013 tanpa syarat, dengan mengacu kepada kebutuhan hidup layak (KHL).
3. Benarkah Upah
buruh dihitung per jam?
Faktanya: Aturan
dalam Omnibus Law, tentang perubahan terhadap Pasal 88B UU 13 Tahun 2003,
memungkinkan adanya pembayaran upah satuan waktu, yang bisa menjadi dasar
pembayaran upah per jam.
Di mana upah per jam
yang dihitung per jam ini pernah disampaikan oleh Menteri Ketenagakerjaan,
sebagaimana bisa kita telusuri kembali dari berbagai pemberitaan di media
(ketik “pemerintah akan terapkan upah per jam” di Google untuk melihat
beritanya).
Adapun permintaan
buruh adalah menegaskan di dalam Ommibus Law UU Cipta kerja, bahwa upah per jam
tidak dibuka ruang untuk diberlakukan.
BACA Juga: Massa Buruh Demo di Tanjung Priok Menolak Upah Murah
4. Benarkah hak cuti
hilang dan tidak ada kompensasi?
Faktanya: Cuti
panjang bukan lagi kewajiban yang harus diberikan pengusaha, sehingga
berpotensi hilang.
Dalam UU 13 tahun
2003 Pasal 79 Ayat (2) huruf d diatur secara tegas, bahwa pengusaha harus
memberikan hak cuti panjang selama 2 bulan kepada buruh yang sudah bekerja
selama 6 (enam) tahun.
Sedangkan dalam
Omnibus Law, pasal yang mengatur mengenai cuti panjang diubah, sehingga cuti
panjang bukan lagi kewajiban pengusaha.
Buruh juga meminta
agar cuti haid dan melahirkan tidak dipotong upahnya. Sebab kalau upahnya dipotong,
maka buruh akan cenderung untuk tidak menghambil cuti.
Karena meskipun cuti
haid dan melahirkan tetap ada di undang-undang, tetapi dalam pelaksanaan di
lapangan tidak akan bisa berjalan jika upahnya dipotong, karena pengusaha akan
memaksa secara halus buruh perempuan tidak mengambil cuti haid dengan
menakut-nakuti upahnya akan dipotong.
Adapun permintaan
buruh adalah, semua hak cuti buruh dikembalikan sebagaimana yang diatur dalam
UU 13 tahun 2003.
5. Benarkah
outsourcing di semua jenis industri dan dengan kontrak seumur hidup?
Faktanya: Outsourcing
(pemborongan pekerjaan) bisa diterapkan di semua jenis pekerjaan tanpa
terkecuali.
Dalam Pasal 65 UU No
13 Tahun 2003 outsourcing harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; dilakukan dengan perintah
langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; merupakan kegiatan
penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan tidak menghambat proses produksi
secara langsung.
Tetapi di dalam
omnibus law justru menghapus pasal 65 UU 13 tahun 2003 yang memberikan batasan
terhadap outsourcing. Sehingga outsourcing bisa bebas di semua jenis pekerjaan.
Fakta yang lain,
dalam UU 13 Tahun 2003, outsouring hanya dibatasi di lima jenis pekerjaan,
sesuai dengan Pasal 66 Ayat (1): Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan
kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi,
kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan
langsung dengan proses produksi.
Tetapi dalam omnibus
law, Pasal 66 Ayat (1) yang memberikan batasan mengenai pekerjaan yang boleh
menggunakan pekerja outsourcing dihapus. Artinya, semua jenis pekerjaan bisa
di-outsourcing. Di sini akan terjadi perbudakan modern.
Di seluruh dunia,
lazim penggunaan outsourcing dibatasi jenis pekerjaannya agar tidak terjadi
modern slavery. Misal di Perancis hanya boleh untuk 13 jenis pekerjaan boleh
menggunakan karyawan outsourcing dan tidak boleh seumur hidup, begitu pula di
banyak negara industri lainnya.
Di Indonesia
berdasarkan UU 13 Tahun 2003 karyawan outsourcing hanya boleh dipergunakan
untuk 5 jenis pekerjaan. Negara harus hadir melindungi rakyatnya agar tidak
terjadi perdagangan tenaga manusia melalui agen outsourcing.
Ketika outsourcing
dibebaskan, berarti tidak ada job security atau tidak ada kepastian kerja bagi
buruh Indonesia. Hal ini menyebabkan hilangnya peran negara untuk melindungi
buruh Indonesia, termasuk melindungi rakyat yang masuk pasar kerja tanpa
kepastian masa depannya dengan dikontrak dan outsourcing seumur hidup.
Tahun 2020 saja
jumlah karyawan kontrak dan outsourcing sekarang berkisar 70% sampai 80% dari
total buruh yang bekerja di sektor formal. Dengan disahkannya omnibus law, bisa
saja karyawan tetap hanya tinggal 5%.
Adapun permintaan
KSPI adalah meminta outsourcing dibatasi untuk jenis pekerjaan tertentu dan
tidak boleh seumur hidup, atau kembali sesuai UU 13 Tahun 2003.
6. Benarkah tidak
akan ada status karyawan tetap?
Faktanya: Karyawan
kontrak tidak ada lagi batasan waktu.
Sebagaimana bisa kita
lihat di dalam perubahan pasal 59 UU 13 tahun 2003 di omnibus law, tidak lagi
diatur mengenai berapa lama kontrak (PKWT) harus diberlakukan. Sehingga bisa
saja terjadi PKWT seumur hidup.
Jika hal ini
diterapkan, maka buruh Indonesia tidak memiliki kepastian terhadap masa depan.
No job security. Buruh tidak lagi memiliki harapan untuk diangkat menjadi
karyawan tetap, karena pengusaha cenderung akan mempergunakan karyawan kontrak
yang bisa diberhentikan kapan saja.
Sekarang saja jumlah
karyawan kontrak dan outsourcing sebesar 60 persen hingga 75 persen tanpa
kepastian kerja, upah rendah, tidak ada jaminan sosial. Data ini hasil survei
FSPMI bersama lembaga nirlaba Jerman FES di tiga provinsi yaitu Jabar, Jatim,
Kepri.
Adapun permintaan
KSPI adalah meminta tetap harus ada batas waktu kontrak bagi pekerja kontrak
atau PKWT, sehingga tidak membuka ruang bagi pengusaha untuk mengontrak buruh
berulang-ulang tanpa ada pengangkatan menjadi karyawan tetap.
7. Apakah Perusahaan
bisa mem-PHK kapanpun secara sepihak?
Faktanya: Perusahaan
yang melakukan PHK secara sepihak, dalam Omnibus Law tidak lagi dikategorikan
batal demi hukum dan upah selama proses perselisihan PHK tidak dibayar.
Hal ini, karena,
Omnibus Law menghapus pasal 155 UU 13 Tahun 2003 yang mengatur: (1) Pemutusan
hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3)
batal demi hukum; (2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap
melaksanakan segala kewajibannya; dan (3) Pengusaha dapat melakukan
penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa
tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan
hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang
biasa diterima pekerja/buruh.
Jika tidak ada aturan
yang menyebutkan bahwa PHK tanpa izin dari lembaga penyelesaian hubungan
industrial adalah batal demi hukum dan tidak ada kewajiban untuk membayar upah
hak lain selama proses perselisihan berlansung, PHK akan semakin mudah.
Selain itu, Omnibus
law juga mempermudah PHK, sebagaimana terlihat dalam Pasal 154A, khususnya Ayat
1 huruf (b) dan (i) yang mengatur: Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi
karena alasan: (huruf b) perusahaan melakukan efisiensi; dan (huruf i)
pekerja/buruh mangkir.
Padahal sebelumnya,
Mahkamah Konstitusi sudah memberikan putusan bahwa PHK karena efisiensi hanya
bisa dilakukan ketika perusahaan tutup permanen. Dengan pasal ini, bisa saja
perusahaan melakukan PHK dengan alasan efisiensi meskipun sedang untung besar.
Selain itu, dalam
omnibus law PHK bisa dilakukan karena buruh mangkir (tanpa dijelaskan berapa
lama mangkir, sehingga bisa hanya 1 hari). Padahal dalam UU 13 Tahun 2003 PHK
karena mangkir hanya bisa dilakukan setelah mangkir 5 hari berturut-turu dan
dipanggil minimal 2 kali secara tertulis.
Adapun permintaan buruh,
semua hal yang mengatur mengeni PHK dikembalikan kepada UU No 13 Tahun 2003.
8. Benarkah Jaminan
sosial dan kesejahteraan lainnya hilang?
Faktanya: Karena
outsourcing dan karyawan kontrak bebas, di mana mereka akan mudah direkrut dan
dipecat, maka sulit bagi mereka bekerja hingga masa pensiun. Sehingga tidak
mendapatkan jaminan pensiun.
Sekarang saja, masih
banyak buruh outsourcing yang tidak mendapatkan jaminan pensiun atau jaminan
sosial yang lain.
Adapun permintaan
buruh adalah meminta agar aturan mengenai outsourcing dan kontrak dikembalikan
seperti semula, sehingga lebih memberikan kepastian kerja dan dengan sendirinya
buruh akan terjamin hak jaminan sosialnya.
9. Benarkah semua
karyawan berstatus tenaga kerja harian?
Faktanya: Omnibus law
mengatur hubungan yang fleksibel dengan mudah rekrut dan pecat. Sehingga
mungkin saja akan banyak buruh yang berstatus sebagai tenaga kerja harian.
Selain itu, omnibus
law waktu kerja fleksibel. Hal ini justru akan meningkatkan jumlah pekerja
informal di industri padat karya. Misalnya, pabrik boneka, sepatu, baju, tidak
lagi mendirikan bangunan pabrik tetapi cukup mendirikan kantor saja.
Pengusaha bisa saja
memberikan order ke masyarakat atau buruh yang bekerja dari rumah (home
industry). Dengan sistem seperti ini, tidak ada lagi perlindungan untuk buruh.
Upah hanya dibayarkan seenaknya dan tidak ada jamian kesehatan dan jaminan
pensiun.
Dampak lebih lanjut,
hasil produksi dari para buruh ini menjadi tidak kompetitif dan terjadi
eksploitasi terhadap tenaga buruh.
Sekarang saja, hal
seperti ini sudah terjadi di sektor garmen, sepatu, makanan minuman, dan
boneka. Padahal tujuan omnibus law ini salah satunya adalah menambah jumlah
pekerja formal dari perpindahan sektor informal.
Adapun permintaan
buruh adalah meminta agar ada kejelasan waktu kerja, sehingga tidak membuka
ruang bagi pengusaha untuk mempekerjakan buruh dengan sistem harian.
10. Benarkah Tenaga
kerja asing bebas masuk?
Faktanya: Omnibus law
menghilangkan kewajiban bagi tenaga kerja asing untuk memiliki izin.
Di mana dalam Pasal
42 Ayat (1) UU 13 tahun 2003 disebutkan: Setiap pemberi kerja yang
mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau
pejabat yang ditunjuk. Tetapi dalam omnibus law diubah dengan hanya memiliki
pengesahan RPTKA. Tidak lagi memerlukan izin seperti dalam aturan sebelumnya.
Jelas hal ini akan
mempermudah TKA masuk. Apalagi praktiknya, saat ini saja TKA unskill sudah
banyak yang masuk.
Adapun permintaan
buruh adalah, mengembalikan pasal mengenai TKA sesuai dengan UU 13 Tahun 2003
11. Benarkah buruh
dilarang protes, ancamannya PHK?
Faktanya:
Kekhawatiran ini adalah dampak dari meluasnya buruh outsourcing dan kontrak.
Karyawan kontrak itu, kalau tidak nurut (banyak protes), pasti tidak akan
diperpanjang kontraknya. Belum lagi diakomodirnya bahwa alasan efisiensi bisa
dijadikan alasan untuk melakukan PHK.
Pasal ini berpotensi
menjadi pasal karet untuk “menyingkirkan buruh yang vocal” dengan alasan
pengurangan (efisiensi).
Adapun buruh meminta
PHK karena alasan efisiensi dilakukan sebagaimana Putusan MK, hanya bisa
dilakukan ketika perusahaan tutup permanen.
12. Benarkah libur
hari raya hanya pada tanggal merah dan tidak ada penambahan cuti?
Faktanya: Ini bisa
saja terjadi, sebagai dampak dari penerapan jam kerja yang fleksibel dan upah
per jam sebagaimana lihat tanggapan kami di atas. Sehingga hari libur pun,
buruh bisa saja diwajibkan tetap bekerja.
Sementara terkait
dengan pernyataan di atas, hal itu sendiri oleh pemerintah, bahwa hari libur di
luar tanggal merah tidak diatur dalam undang-undang tetapi dalam kebijakan
pemerintah.
Dalam hal ini, buruh
meminta, meskipun hari libur ditetapkan oleh kebijakan pemerintah, ditegaskan
bahwa buruh tidak boleh diwajibkan untuk bekerja.
BACA Juga: Ini Daftar Beberapa Kepala Daerah yang Menolak Omnibus Law