Tokoh nasional DR. Rizal Ramli dan pakar hukum tata negara, Refly Harun saat mengajukan gugatan ke MK/Net. (RMOL) |
sukabumiNews.net,
JAKARTA – Gugatan terhadap UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum yang diajukan tokoh
nasional DR. Rizal Ramli dan Abdulrachim Kresno menemui titik terang.
Gugatan yang diajukan
ke Mahkamah Konstitusi pada Jumat (4/9/2020) ini berkaitan dengan ambang batas
pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) di dalam UU Pemilu.
Pada Senin (14/9/2020),
MK telah berkirim surat kepada kuasa hukum Rizal Ramli Dan Abdulrachim Kresno,
Refly Harun.
Surat bernomor 588.74/PAN.MK/9/2020
itu berisi perihal panggilan sidang. Di mana Refly Harun diminta untuk datang
memenuhi panggilan sidang perdana kasus ini.
Sidang dengan agenda
pemeriksaan pendahuluan itu akan digelar pada Senin depan (21/9/2020). Surat
yang diteken Panitera MK, Muhidin itu mewajibkan kepada Refly Harun untuk
datang memenuhi undangan.
Namun demikian,
lantaran masih meningkatnya pandemi Covid-19, sidang akan digelar secara
virtual.
Gugatan ini diajukan
lantaran pihak Rizal Ramli dan Abdulrachim Kresno menginginkan adanya pilpres
yang lebih berkualitas dan juga fair.
Setidaknya ada dua
argumen yang dibawa dalam pengajuan gugatan. Pertama argumentasi yang bersifat
konstitusional dan nonkonstitusional.
Dalam argumen
konstitusional, Refly Harun mengurai bahwa setelah Pemilu 2019 lalu, ada empat
partai politik yang kehilangan hak konstitusionalnya untuk bisa mengusung atau
mengajukan calon presidennya, yaitu PSI, Garuda, Berkarya, dan Perindo.
Keempatnya tidak bisa
mengusung calon karena tidak punya suara atau kursi di Pemilu 2014. Sementara
kondisi serupa juga berpotensi besar terjadi di Pemilu 2024. Padahal partai
memiliki hak konstitusional untuk mengusung calon.
Hal ini lantaran ada
aturan mengenai syarat partai atau gabungan partai yang boleh mengusung
pasangan capres dan cawapres harus memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen
suara sah di level nasional.
“Nah, hak
konstitusional ini secara teoritis tidak boleh dihilangkan di peraturan di
bawahnya, di UU. Ini hak konstitusional hak di atas sudah," ujarnya.
Sementara terkait argumen
nonkonstitusional, Refly menjelaskan bahwa tentang keputusan MK yang pernah
menolak uji materi presidential threshold. Refly mengaku tidak bisa menerima
argumentari MK yang menyebut memperkuat
sistem presidensial.
“Itu kan hipotesis.
MK mengatakan bahwa itu legal policy. Nah, kalau kita pakai argumentasi
nonkonstitusionalnya, damage-nya luar biasa yang namanya presidential treshold
ini, kan. Itu argumenasi nonkonstitusional," demikian Refly. (RMOL)
BACA Juga: Yusril Ihza Mahendra: Gugatan ke MK adalah Langkah Terhormat
BACA Juga: Yusril Ihza Mahendra: Gugatan ke MK adalah Langkah Terhormat