Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin mengatakan pemerintah belakangan ini telah membangun kediktatoran konstitusional. (ANTARA FOTO/Abriawan Abhe) |
sukabumiNews.net, JAKARTA
– Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin
mengungkapkan sejumlah syarat pemakzulan pemimpin. Mengutip tokoh pemikir
politik Islam, Al Mawardi, Din mengatakan syarat-syarat itu harus terpenuhi.
"Pemakzulan itu
dalam pendapat beberapa teoritikus politik Islam, Al Mawardi yang terkenal itu,
pemakzulan imam, pemimpin, mungkin dilakukan jika syarat tertanggalkan,"
ujar Din dalam seminar nasional bertema 'Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas
Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19', Senin (1/6/2020).
Syarat pertama adalah
ketiadaan keadilan. Din menuturkan, apabila seorang pemimpin menciptakan
ketidakadilan atau menciptakan kesenjangan sosial di masyarakat maka sangat
mungkin untuk dimakzulkan.
"Apabila tidak
adil di masyarakat, hanya menciptakan satu kelompok lebih kaya dari yang lain,
ada kesenjangan sosial ekonomi, sudah dapat makzul," katanya.
Syarat berikutnya,
lanjut Din, adalah ketiadaan ilmu pengetahuan. Dosen Pemikiran Politik Islam
FISIP UIN Syarif Hidayatullah ini mengatakan ketiadaan ilmu ini merujuk pada
kerendahan visi terutama tentang cita-cita hidup bangsa.
Dalam konteks negara
modern, menurut Din, visi adalah cita-cita bangsa yang bersatu, berdaulat,
adil, dan makmur.
"Jika tidak
diwujudkan oleh pemimpin sudah bisa menjadi syarat makzul," ucapnya.
Syarat berikutnya
adalah ketiadaan kemampuan atau kewibawaan pemimpin dalam situasi kritis.
Menurut Din, kondisi itu kerap terjadi ketika seorang pemimpin tertekan
kekuatan dari luar. Ia mengibaratkan kondisi itu seperti suatu negara yang
kehilangan kedaulatan akibat kekuatan asing.
"Apabil pemimpin
tertekan kekuatan lain, terdikte kekuatan lain, baik keluarga atau orang dekat,
itu memenuhi syarat makzul," ungkapnya.
Mantan Ketua Umum PP
Muhammadiyah ini mengatakan pemakzulan pemimpin sangat mungkin dilakukan
apabila terjadi kepemimpinan represif hingga cenderung diktator.
Din menyebut
pemerintah Indonesia belakangan ini tak berbeda jauh dengan kondisi tersebut.
Menurutnya, pemerintah saat ini tengah membangun kediktatoran konstitusional.
Bentuk kediktatoran konstitusional ini terlihat dari berbagai kebijakan yang
diterbitkan pemerintah.
"Saya melihat
kehidupan kenegaraan kita terakhir ini membangun kediktatoran konstitusional,
bersemayam di balik konstitusi seperti godok Perppu jadi UU, dan sejumlah
kebijakan-kebijakan lain," katanya.
Merujuk pada pemikir
Islam modern Rasyid Ridho, Din meminta agar masyarakat tak segan melawan
kepemimpinan yang zalim apalagi jika melanggar konstitusi.
"Rasyid Ridho
(pemikir) yang lebih modern dari Al Ghazali menyerukan agar melawan
kepemimpinan yang zalim terutama jika membahayakan kehidupan bersama seperti
melanggar konstitusi," ujarnya.
Sementara itu,
pemberhentian presiden ataupun wakil presiden diatur dalam Pasal 7A, Pasal 7B,
dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen.
Dalam Pasal 7A
disebutkan presiden atau wakil presiden dapat diberhentikan jika terbukti
melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, serta terbukti tidak lagi
memenuhi syarat sebagai presiden dan wakil presiden.
Pemberhentian
presiden dan wakil presiden dalam masa jabatan dilakukan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Usul pemberhentian
presiden dan wakil presiden ini dapat diajukan DPR dengan terlebih dahulu
mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus pendapat bahwa dua pemimpin itu melanggar hukum atau
tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan wakil presiden.
Pendapat DPR ini
merupakan pelaksanaan fungsi pengawasan wakil rakyat. Permintaan ke MK hanya
dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR
yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri minimal 2/3 dari jumlah anggota
DPR.
MK wajib memeriksa,
mengadili, dan memutus pendapat DPR paling lama 90 hari setelah menerima
permintaan DPR. Jika MK memutuskan presiden dan wakil presiden melakukan
pelanggaran hukum, DPR menggelar sidang paripurna untuk meneruskan usul
pemberhentian kepada MPR.
MPR wajib
menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR paling lambat 30 hari sejak
menerima usul tersebut.
Keputusan MPR atas
usul pemberhentian presiden dan wakil presiden harus diambil dalam rapat
paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan
disetujui minimal 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. (psp/fra)
BACA Juga : Kapan KAMI Bergerak? Tunggu Komando dari 3 Tokoh Ini
BACA Juga : Kapan KAMI Bergerak? Tunggu Komando dari 3 Tokoh Ini
Sumber : CNN
Indonesia
COPYRIGHT © SUKABUMINEWS 2020