Oleh: Petrik Matanasi
PKI berkampanye seperti kebanyakan partai dan capres masa kini. Mereka doyan janji dan jualan isu kemiskinan.
Di luar
citra buruk yang dibangun sepanjang era Orde Baru, PKI tergolong partai sukses
sebelum diberangus pada 1965. Kejayaan PKI terjadi sejak Pemilu 1955. Ketika
itu PKI menempati urutan keempat dalam pemilu dan sukses menempatkan 39 wakil di
kursi DPR dan 80 wakil di Konstituante.
Mengapa banyak yang
memilih PKI di tahun 1955?
Salah satu kunci
pentingnya adalah kampanye PKI soal isu kemiskinan. Meski PKI dibenci setengah
hidup oleh kelompok-kelompok politik mayoritas di Indonesia, tapi jurus jualan
kemiskinannya diamalkan dengan baik. Tak hanya kemiskinan di kota, tapi juga
kemiskinan di desa. Di kota ada buruh, di desa ada tani. Karena kemiskinan
mereka, dua golongan itu potensial jadi pemilih PKI dalam pemilu. PKI sendiri
punya lambang palu dan arit. Palu merepresentasikan buruh, arit mewakili
petani.
Menurut Jafar
Suryomenggolo dalam Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal 1950an (2015),
dengan mengutip Everett Hawkins di artikel "Labour in Developing
Economics" (1962), kaum buruh adalah golongan miskin di Jakarta. Upah
mereka sangat rendah.
Sementara itu pada
1953 terjadi kenaikan harga bahan pokok. Tak heran jika pada era 1950-an
Tunjangan Hari Raya (THR) sudah mulai diperjuangkan kaum buruh.
Jualan Isu
Kemiskinan
Soal desa, Hasim
Adnan dalam tulisannya, "Membungkam Deru Bising Drumband di Bumi
Parahiyangan" yang dimuat dalam buku Sisi Senyap Politik Bising (2007)
menyebut, “[...] biasanya PKI hanya akan berkembang di kawasan pedesaan yang
mengalami kemiskinan endemik” (hlm. 44).
Subang dan
Indramayu, misalnya, adalah daerah miskin yang diincar PKI. Tapi tentu saja PKI
tak cuma mengincar daerah miskin di Jawa Barat.
“Kaum tani Indonesia
yang merupakan 70 % daripada penduduk masih tetap berada dalam kedudukan budak,
hidup melarat dan terbelakang di bawah tindasan tuan tanah dan lintah darat,”
kata Ahmad alias Dipa Nusantara Aidit, Ketua CC PKI, dalam pidatonya yang
berjudul Jalan ke Demokrasi Rakyat bagi Indonesia.
“Kewajiban kaum
Komunis yang pertama-tama ialah menarik kaum tani ke dalam front persatuan
nasional,” tambah Aidit.
Lebih lanjut Aidit
menjelaskan bahwa kaum komunis harus mengikis sumber-sumber penderitaan petani.
“Kewajiban yang terdekat daripada kaum Komunis Indonesia ialah melenyapkan
sisa-sisa feodalisme, mengembangkan revolusi agraria antifeodal, menyita tanah
tuan tanah dan memberikan dengan cuma-cuma tanah tuan tanah kepada kaum tani,
terutama kepada kaum tani tak bertanah dan tani miskin, sebagai milik
perseorangan mereka,” katanya pula.
Dari sini terlihat
PKI hendak melakukan bagi-bagi tanah kepada para petani di desa-desa. Harap
diingat, tidak semua petani punya sawah. Banyak juga yang jadi petani penggarap
bagi lahan-lahan petani kaya atau tuan tanah. Sudah pasti kemiskinan semacam ini
adalah lahan basah pagi PKI. “Langkah pertama dalam pekerjaan di kalangan kaum
tani ialah membantu perjuangan mereka untuk kebutuhan sehari-hari, untuk
mendapatkan tuntutan bagian kaum tani,” seru Aidit.
Baca juga: Sebelum Pecahnya Pemberontakan 1965, Sukabumi Sudah Menjadi Incaran PKI
Baca juga: Sebelum Pecahnya Pemberontakan 1965, Sukabumi Sudah Menjadi Incaran PKI
Seperti dicatat
Satriono Priyo Utomo dalam Aidit, Marxisme-Leninisme, dan Revolusi Indonesia
(2016: 119), ada jargon “Tanah untuk kaum tani” dari Barisan Tani Indonesia
(BTI) dalam Kongres Nasional V 1954. Semua tahu BTI terkait dengan PKI.
Aidit tak lupa
memberi patokan. Menurutnya, selama belum banyak kaum tani (terutama yang
miskin dan tak bertanah) masuk ke partai dan jadi kader partai, maka itu
artinya PKI belum bekerja sungguh-sungguh.
Tak hanya di tahun
1955, pada 1965 PKI juga konsisten dengan isu kemiskinan meski tidak ada
rencana pemilu di periode itu. Mereka gemar mengulang program partai yang
dirumuskan pada 1955.
“Semua tanah yang
dimiliki oleh tuan-tuan tanah asing maupun tuan-tuan tanah Indonesia harus
disita tanpa penggantian kerugian. Kepada kaum tani, pertama-tama kepada kaum
tani tak bertanah dan kaum tani miskin, diberikan dan dibagikan tanah dengan
cuma-cuma,” demikian salah satu program PKI pada 1965.
Tentu saja tak semua
orang setuju dengan ide PKI yang tak pernah terwujud ini. Tapi gagasan
merangkul orang susah masih diterapkan hingga kini.
Kampanye Anti-Asing
PKI, lewat mulut
Aidit dalam pidato Jalan ke Demokrasi Rakyat bagi Indonesia, menyebut: “Salah
satu bentuk pertentangan dan permusuhan antara negara-negara imperialis ialah
perang imperialis yang membawa kemiskinan, kesengsaraan, dan kematian
berjuta-juta manusia.”
Negara imperalis era
1950-an yang dianggap mengganggu bagi PKI adalah Amerika Serikat. Menurut PKI,
seperti ditulis Aidit dalam Revolusi, Angkatan Bersenjata & Partai Komunis
(PKI dan AURI) II, modal asing (dari Amerika) yang masuk ke Indonesia pada 1952
ditaksir mencapai 350 juta dolar.
PKI sendiri alergi
pada perusahaan Amerika yang beroperasi di Indonesia seperti Shell, Stanvac dan
Caltex. Bagi PKI, itu adalah bentuk neokolonialisme Amerika di bidang ekonomi.
PKI rupanya juga ingin terlihat anti-asing di masa itu. Semangat anti-asing dan
menuduh pihak asing sebagai salah satu biang kerok masalah ekonomi masih
terpelihara dan masih lumayan untuk jadi isu politik hingga kini.
Seperti umumnya
partai jelang pemilu, PKI juga memberi janji-janji manis. Ideologi bukan
jaminan utama kemenangan dalam pemilu. Lewat koran andalannya, Harian Rakjat
(28 September 1955), sehari sebelum pemilu DPR pada 29 September 1955, PKI
melempar banyak janji. Tak tanggung-tanggung, PKI memaparkan 19 janji.
Janji yang banyak
itu ditujukan tak hanya ditujukan kepada kaum buruh dan tani, tapi juga
nelayan, pengusaha kecil, kaum perempuan, seniman, bahkan kelompok agama. Hal
terakhir terasa janggal bagi orang-orang Orde Baru, karena PKI sudah terlanjur
diberi citra anti-agama.
“Bagi kaum agama,
memilih PKI berarti djaminan kebebasan beragama,” demikian janji PKI nomor 10
di Harian Rakjat.
Janji yang paling
krusial tentu janji soal kesejahteraan ekonomi. Seperti janji nomor 3: “Bagi
kaum tani, memilih PKI berarti turunnja sewa tanah tuan-tanah, perbaikan upah
buruh-tani, pentjegahan perampasan tanah kaum tani, hapusnja pologoro dan
hapusnja rodi.”
Sementara bagi kaum
nelayan, dalam janji No. 12 disebutkan, “memilih PKI berarti perlindungan
terhadap saingan modal monopoli.”
Tak hanya kepada
kaum-kaum tadi yang hingga kini masih sengsara hidupnya, para abdi negara pun
tak luput diberi janji. “Bagi para pradjurit, polisi dan pegawai negeri
lainnja, memilih PKI berarti djaminan hak-haknja dan perbaikan gadji,” begitu
bunyi janji nomor 4.
Jurus berjanji ala
PKI macam ini masih diterapkan hingga sekarang. Siapa yang tak suka gajinya
diperbaiki agar besar, apalagi kalau ditambah tunjangan-tunjangan? Bukan tidak
mungkin banyak PNS yang akan memilih PKI jika macam ini janjinya.
Sumber:
GoBeritaGo- Baca juga: Ini Data Kronologis Melengkapi Tulisan Tentang PKI
- BACA Juga : Front Anti Komunis Harus Dibentuk Kembali