Sejumlah wisatawan di objek wisata Rumah Adat Aceh di Banda Aceh. [Antara/Ampelsa] |
sukabumiNews, BANDA ACEH – Tanpa terasa, musibah tsunami
telah berjalan satu dekade. Bencana dahsyat yang telah meluluhlantakan Aceh
menjadi ingatan yang tak terlupakan bagi segenap warga. Namun demikian, bencana
itu kini mengubah wajah Ibu Kota Provinsi Aceh lebih bersinar.
Sebagai kota terparah yang dilanda tsunami, Banda Aceh
kini semakin mandiri, bangkit dan lebih menggeliat. Pembangunan, baik
infrastruktur maupun lapangan kerja, kembali tumbuh perlahan. Begitu juga
dengan perekonomian masyarakat.
"Secara ekonomi, kita terus mengalami pertumbuhan
yang tinggi setelah bencana. Secara sosial, kemasyarakatan dan kesehatan,
dampak bencana besar itu juga telah dapat diatasi dengan cukup baik, sehingga
Aceh, khususnya Banda Aceh, sering menjadi tempat pembelajaran pasca-bencana,"
ungkap Wali Kota Banda Aceh, Illiza Saaduddin Djamal, dikutip suara.com.
Menurut Illiza, 10 tahun tsunami merupakan sebuah
momen yang tepat untuk mengkaji apa yang telah terjadi di Aceh. Perubahan apa
saja yang terjadi di masyarakat menurutnya dapat dilihat dalam 10 tahun periode
pemulihan ini. Begitu juga dengan hal-hal lain seperti bantuan, kegiatan,
hingga intervensi pasca-tsunami 2004.
"Kita juga dapat melihat apakah program-program
mitigasi bencana makin baik dan diterima masyarakat, sehingga hidup kita lebih
aman di masa depan," ujarnya.
Banda Aceh, kata Illiza lagi, 10 tahun yang lalu sama
seperti kota mati, gelap gulita dan porak-poranda. Kini, hiruk-pikuk kehidupan
siang-malam sudah kembali terlihat. Bahkan menurutnya, jauh lebih ramai
dibandingkan sebelumnya.
"Lihat saja misalnya, Banda Aceh yang sudah
dijuluki (kota) 1001 Warung Kopi (Warkop)," ujarnya.
Saat ini sampai larut malam, warga Banda Aceh bisa
menikmati hiruk-pikuk malam tanpa ada gangguan. Seperti diketahui, Aceh
sebelumnya juga pernah mengalami era konflik selama lebih dari 30 tahun. Namun
pasca-tsunami, warga Banda Aceh dan Aceh secara umum sudah bisa menikmati
secangkir kopi sembari berdiskusi dan menyelesaikan tugas-tugas yang
berhubungan dengan internet.
Untuk membangun kembali Banda Aceh, pemerintah
setempat menurut Illiza, telah bekerja sama dengan Tsunami and Disaster
Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Kobe
University, Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), serta Toyota Foundation.
Berkat kerja sama itulah menurutnya, wajah Banda Aceh kini sudah berubah jauh
lebih elok.
Kemegahan balai kota, jalan beraspal hotmix dan
penataan taman kota yang indah, serta beberapa Ruang Terbuka Hijau (RTH), kini
bisa disaksikan di Banda Aceh. Pembangunan Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue
juga menjadi salah satunya, di mana kawasan Pantai Ulee Lheue pun sudah
dijadikan objek wisata.
Di sektor ekonomi lainnya, kini juga sudah ada
beberapa mal besar yang dibangun di Banda Aceh. Antara lain adalah bangunan di
Pasar Aceh, pusat perbelanjaan di Banda Aceh, serta dua mal besar yang sudah
berdiri kokoh di kota ini.
"Selama 10 tahun pasca-tsunami, secara fisik,
Aceh, khususnya Banda Aceh, termasuk wilayah Kecamatan Meuraxa yang menjadi
ground zero, kini sudah jauh lebih baik," kata Illiza lagi.
Sementara itu, warga Aceh, menurut Illiza pula, patut
bersyukur karena Unsyiah sebagai lembaga pendidikan dan penelitian utama di
Aceh telah mempunyai sebuah lembaga kajian tsunami dan mitigasi bencana
bertaraf internasional.
"Pusat Studi Tsunami dan Mitigasi Bencana (TDMRC)
dapat menjadi tumpuan dan harapan kita untuk memahami bencana dan kebencanaan
di Aceh," katanya, sembari menekankan pentingnya kajian-kajian tentang
kebencanaan.
Sejenak, Illiza lantas kembali mengenang parahnya
dampak dari bencana besar tsunami di tahun 2004 lalu.
"Sekitar 170.000 orang meninggal atau hilang, dan
500.000 orang kehilangan tempat tinggal di sepanjang 2.000 mil Lautan Hindia
hingga ke India, Sri Lanka, Maldives, Madagaskar dan Somalia di Afrika,"
katanya.
Di Aceh sendiri, lanjut Illiza, tak kurang dari
126.761 orang meninggal, 93.285 hilang, 25.572 terluka, serta sebanyak 125.572
orang kehilangan tempat tinggalnya. Termasuk di antara para korban yang dinamai
"syuhada tsunami 2004" itu adalah warga Kota Banda Aceh yang
berjumlah 78.417 jiwa, baik yang meninggal maupun dinyatakan hilang.
"Jika tidak dilakukan usaha-usaha mitigasi dan
adaptasi yang memadai, ke depan jika terjadi bencana besar (lagi), kita tidak
pernah tahu berapa banyak korban manusia dan harta benda," tutupnya.
Pewarta: Afiansyah Ocxie/Suara.com
Editor: Red.
Copyright
© SUKABUMINEWS 2019