Oleh: Nur Hidayah Perwitasari
Warga melakukan aksi dengan pengawalan prajurut TNI di Bundaran Timika Indah, Mimika, Papua, Rabu (21/8/2019). ANTARA FOTO/Jeremias Rahadat/wpa/nz. |
Kronologi asal usul kericuhan yang terjadi di Sorong, Manokwari, Fakfak, Timika, dipicu oleh aksi rasisme terhadap mahasiswa asal Papua di Malang dan Surabaya.
sukabumiNews - AKSI Massa di beberapa wilayah Papua
masih terus terjadi hingga Rabu (21/8/2019).
Aksi ini menjadi respons masyarakat Papua terhadap
tindakan rasisme yang menimpa mahasiswa asal Papua di Malang dan Surabaya
beberapa waktu lalu.
Sebelumnya, pada Kamis (15/8/2019) terjadi bentrokan
antara sekelompok warga Malang dengan mahasiswa asal Papua, di kawasan
Rajabali, Kota Malang, Jawa Timur.
Berdasarkan laporan dari Badan Kesatuan Bangsa dan
Politik Malang, para mahasiswa asal Papua tersebut dalam perjalanan dari
Stadion Gajayana menuju Balai Kota Malang untuk menyampaikan aspirasinya.
Mahasiswa Papua yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa
Papua (AMP) itu akan melakukan aksi damai di Balai Kota Malang, mengecam
penandatanganan New York Agreement antar pemerintah Indonesia dan Belanda pada
15 Agustus 1962.
Sekitar pukul 08.55 WIB, mereka tiba di simpang empat
Rajabali dan bertemu sekelompok warga Malang. Kemudian terjadi perselisihan
atau adu mulut, yang berujung terjadinya bentrokan. Bentrokan antara kedua
kelompok itu semakin memanas. Puncaknya, kurang lebih pada pukul 09.20 WIB,
kedua kelompok saling melempar batu.
Aksi Rasisme di Surabaya
Pada Jumat (16/8/2019) secara tiba-tiba sekitar 15
anggota yang berasal dari TNI mendatangi asrama mereka di Surabaya.
Dorlince Iyowau saat dihubungi Tirto, Sabtu malam,
pukul 21.30 WIB mengatakan tanpa permisi mereka menggedor gerbang asrama. Hal
itu membuat kaget 15 mahasiswa, termasuk Dorli, yang berada di dalamnya.
Menurut Dorli sekitar pukul 15.20 WIB TNI mendobrak
pintu disertai ujaran rasis dan kebencian.
Sikap arogan TNI tersebut, menurut Dorli, ditenggarai
oleh bendera merah putih milik pemerintah kota Surabaya yang terpasang di depan
asrama mereka, tiba-tiba sudah berada di dalam saluran air. Sementara Dorli
mengaku, ia dan kawan-kawannya tak tahu soal hal itu.
"Karena kami tidak tahu soal itu [bendera merah
putih] di dalam got. Kami minta bernegosiasi. Tapi TNI menolak," ujarnya.
"Dalam dua hari pemasangan [bendera itu] masih
baik-baik saja. Munculnya permasalahan itu pada 16 Agustus kemarin tiba-tiba
ada di got."
Setelah TNI tiba dan menggedor gerbang asrama
mahasiswa Papua, menurut Dorli, datang lagi secara bertahap pihak Satpol PP dan
organisasi masyarakat.
Dalam kondisi terkepung, Dorli mengaku harus menahan
lapar, begitu juga dengan belasan kawan-kawan lainnya.
Hingga akhirnya datanglah 27 mahasiswa Papua lainnya,
yang hendak membawakan makanan untuk mereka pada Sabtu siang tadi, sekitar
pukul 12.00 WIB.
Dorli dan 41 mahasiswa Papua lainnya bertahan hingga
pukul 15.00 WIB, sebelum akhirnya mendapat serangan gas air mata dan mendekam
di Mapolrestabes Surabaya.
Kericuhan Mulai Terjadi di Papua
Perlakuan rasisme yang dialami oleh mahasiswa asal
Papua di Malang dan Surabaya tidak segera mendapat respons dari pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah Jawa Timur.
Akhirnya pada Senin (19/8/2019) pagi situasi mencekam
menyelimuti Manokwari. Sejumlah jalan protokol diblokir mahasiswa dan
masyarakat. Mereka protes karena tak terima dengan rasisme dan persekusi
terhadap sejumlah mahasiswa asal Papua yang sedang belajar di Jawa Timur.
Wakil Gubernur Papua Barat Muhammad Lakotani menyebut,
massa sempat membakar Gedung DPRD. Mereka juga merusak sejumlah fasilitas dan
membuat lalu lintas di Manokwari jadi semerawut.
“Massa cenderung beringas, sehingga kami tak bisa
mendekat, Gedung DPRD provinsi sudah dibakar,” kata Lakotani dalam program
Breaking News KompasTV, Senin pagi.
Selain di Manokwari, protes juga dilakukan ratusan
orang--mungkin ribuan orang--turun ke jalan di Jayapura, Papua.
Efek domino aksi massa yang terjadi di Manokwari,
Papua Barat juga menjalar ke Kota Sorong. Bandara Domine Eduard Osok menjadi
sasaran massa, mereka melempari fasilitas yang ada di bandara tersebut, Senin
(19/8/2019).
Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo
mengatakan ada beberapa kantor yang turut jadi sasaran aksi massa.
"Ada beberapa kantor, masih belum di-update.
Kalau sudah kondusif, aparat bersama pemda setempat akan menginventarisasikan
kerusakan properti di area publik," ujar dia di Mabes Polri, Senin
(19/8/2019).
Beda Pendapat Antara TNI dan Polri
Saat kerusuhan masih berlangsung, Karopenmas Polri
Brigjen Dedi Prasetyo memberikan keterangan pers kepada wartawan.
Dalam pernyataannya, Dedi menyebut kerusuhan di Papua
Barat dipicu provokasi penyebaran konten di sosial media.
“Mereka cukup terprovokasi dengan yang disebar akun di
sosmed,” kata Dedi di Mabes Polri, Senin siang.
Ia tak menyebut kerusuhan tersebut dipicu ulah rasis
aparat dan masyarakat di Surabaya.
Sementara Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebut
kerusuhan yang terjadi di Papua memang dipicu represi aparat terhadap mahasiswa
Papua di Surabaya dan Malang.
Namun, Tito mencoba “menghaluskan masalah” dengan
menyebut kerusuhan dipicu kesalahpahaman.
“Kemarin ada kesalahpahaman, kemudian mungkin ada yang
membuat kata-kata kurang nyaman, sehingga mungkin saudara kita terusik di
Papua,” ucap Tito di Surabaya, Senin siang.
Menko Polhukam Wiranto menampik alasan yang
dikemukakan Tito Karnavian dan anak-anak buahnya. Meski tak menyebut kerusuhan
dipicu rasisme aparat, Wiranto mengaku kerusuhan itu dipicu pernyataan negatif
sejumlah pihak--termasuk aparat dan masyarakat.
“Pemerintah menyesalkan adanya insiden yang saat ini
sedang berkembang tentang pelecehan Bendera Merah Putih di Jawa Timur yang
disusul dengan berbagai pernyataan negatif oleh oknum-oknum yang memicu aksi di
beberapa daerah terutama di Papua dan Papua Barat yang nyata-nyata mengganggu
kebersamaan dan persatuan kita sebagai bangsa,” kata Wiranto dalam konferensi
pers di Kantor Kemenko Polhukam.
Sama seperti Wiranto, Gubernur Jawa Timur Khofifah
Indar Parawansa juga tampak membantah keterangan Tito.
Khofifah yang malah meminta maaf atas ulah sejumlah
pihak termasuk masyarakat Jawa Timur yang berbuat rasis terhadap mahasiswa
Papua.
Menurut Khofifah, rasisme tersebut merupakan tindakan
personal dan tidak mencerminkan sikap warga Jawa Timur.
“Atas nama komitmen berindonesia, mari kita tempatkan
satu sama lain dengan saling menghormati dan menghargai. Saya tadi bertelepon
dengan Gubernur Papua, meminta maaf karena sama sekali, kalau [ular rasis] itu
bukan mewakili suara Jatim,” kata Khofifah, Senin siang.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini juga meminta maaf
atas tindakan sejumlah orang yang berbuat rasis terhadap mahasiswa di Asrama
Papua.
Namun, ia menampik jika ada pengusiran terhadap
mahasiswa Papua di Surabaya. “Kalau ada kesalahan kami mohon maaf, tapi tak
benar kami mengusir,” kata Risma, Senin siang.
Hingga Rabu (21/8/2019) siang kondisi di Papua masih
belum kondusif. Dilansir dari Antara, Aksi massa yang terjadi di Fakfak, Papua
Barat berujung pada pembakaran dan perusakan fasilitas umum, Rabu (21/8/2019).
Seperti dilansir Antara, massa membakar kios yang ada di Pasar Fakfak dan jalan
menuju ke pasar.
Aksi massa juga terjadi di Timika, Kabupaten Mimika,
Provinsi Papua, Rabu (21/8/2019), yang awalnya berlangsung kondusif, kini massa
mulai melempari Gedung DPRD Mimika dengan batu.
Wartawan Antara melaporkan dari lokasi kejadian bahwa
lemparan batu ke arah gedung DPRD Mimika yang terletak di Jalan Cenderawasih
Kota Timika, mencuat sekitar pukul 13.00 WIT.
Aksi ini menjadi respons masyarakat Papua terhadap
tindakan rasisme yang menimpa mahasiswa asal Papua.