Sejarah Keilmuan Eddy Hiariej cukup gemilang. Meskipun sempat gagal masuk UGM, ia justru menjadi guru besar dalam usia 37 tahun.
Pentolan tim kuasa hukum paslon 02, Bambang Widjojanto
(BW), mempertanyakan kapabilitas Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy
Hiariej, dalam sidang sengketa perselisihan hasil Pilpres 2019 di Gedung MK,
Jakarta Pusat, Jumat (21/6/2019) lalu. Ahli dari tim kuasa hukum paslon 01
selaku pihak terkait ini ternyata punya sejarah keilmuan yang memukau kendati
awalnya sempat gagal masuk UGM.
Profesor Eddy Hiariej dan Bambang Widjojanto (Foto: dok. inisiatifnews.com) |
Di persidangan, BW semula menyinggung tentang ahli
yang dihadirkan paslon 02, Jaswar Koto, yang kapabilitas keilmuannya
dipertanyakan. Kepada Eddy Hiariej, mantan Wakil Ketua KPK ini berbalik
menanyakan keahliannya dalam konteks politik, khususnya pemilu.
"Sekarang saya ingin tanya. Saya kagum kepada
sobat ahli, tapi pertanyaannya sekarang saya balik, Anda sudah tulis berapa
buku yang berkaitan dengan pemilu yang berkaitan dengan TSM [Terstruktur,
Sistematis, dan Masif]?" tanya BW.
"Tunjukkan
kepada kami bahwa Anda benar-benar ahli, bukan ahli pembuktian, tapi khusus
pembuktian dalam kaitannya pemilu. Berikan kepada kami buku-buku itu, mungkin
kami bisa belajar. Berikan kepada kami jurnal internasional yang Anda pernah
tulis," cecarnya.
BW melanjutkan, "Kalau itu sudah dilakukan, kami
akan mengatakan Anda ahli yang top. Jangan sampai ahlinya di A, ngomong B tapi
tetap ngomong ahli. Ini, kan, berbahaya."
"Jadi, bagian kedua ini, beri kami jurnal-jurnal
internasional, sudah berapa banyak yang khusus sudah mendiskusikan masalah ini
dan berapa buku yang Anda punya sehingga pantas disebut sebagai ahli?"
tambahnya.
Lantas, apa jawaban Eddy Hiariej?
"Saya selalu mengatakan, yang namanya seorang
guru besar, seorang profesor hukum, yang pertama harus dikuasai itu bukan
bidang ilmunya, tapi yang harus pertama harus dikuasai itu adalah asas dan
teori, karena dengan asas dan teori itu, dia bisa menjawab semua persoalan hukum,"
bebernya.
Eddy Hiariej mengakui dirinya memang belum pernah
menulis secara spesifik soal pemilu. Namun, "Kalau saudara tanya sudah
berapa buku, saya kira tadi sudah melampirkan CV [curriculum vitae]."
"Ada berapa buku, ada berapa jurnal
internasional. Silakan. Nanti bisa diperiksa. Kalau saya sebutkan mulai dari
poin 1 sampai poin 200 nanti sidang ini selesai," tandas Eddy.
Termasuk Profesor Termuda
Profesor Eddy Hiariej (Foto: dok. reqnews.com) |
Eddy Hiariej adalah salah satu profesor termuda di
Indonesia, ia guru besar ilmu hukum pidana. Hikmahanto Juwana, sebagai
perbandingan, menjadi guru besar termuda Fakultas Hukum (FH) Universitas
Indonesia (UI) saat 38 tahun. Sedangkan Eddy meraih gelar sejenis dari UGM
setahun lebih muda.
"Saat SK [Surat Keputusan] guru besar saya turun,
1 September 2010, saya berusia 37 tahun. Waktu mengusulkan umur 36," kata
Eddy Hiariej dalam wawancara yang dikutip dari portal HukumOnline (10 Agustus
2015).
Sebelumnya, Eddy Hiariej juga menorehkan pencapaian
yang tak kalah gemilang. Ia merengkuh gelar doktor hanya dalam waktu 2 tahun.
"Orang biasanya begitu sekolah doktor baru mulai
riset, saya tidak. Saya sudah mengumpulkan bahan itu sejak saya short course di
Perancis," ungkapnya.
Eddy Hiariej terdaftar sebagai mahasiswa magister
hukum UGM sejak 7 Februari 2007. Maret 2008, ia menuntaskan draf disertasi
pertamanya tentang penyimpangan asas legalitas dalam pelanggaran berat Hak
Asasi Manusia (HAM).
Beberapa bulan berselang, Eddy menjalani ujian terbuka
doktoralnya. Dan akhirnya, ia merengkuh gelar doktor di bidang hukum pada 7
Februari 2007 sekaligus mencetak rekor. "2 tahun 20 hari, dan memang
Alhamdulillah rekor itu belum terpatahkan," tuturnya.
Kegagalan Jadi Lecutan
Lahir di Ambon, Maluku, pada 10 April 1973, jalan
impian Eddy Hiariej ternyata tidak selalu mulus. Ia bahkan tidak lolos Ujian
Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) di FH UGM pada 1992. Eddy sempat
mengalami depresi lantaran kegagalan itu.
"Saya stres enam bulan. [Karena] saya stres, saya
liburan ke mana-mana saja sudah," kenangnya.
Namun, Eddy tidak ingin semakin terpuruk. Ia
termotivasi pesan mendiang ayah yang melihatnya berbakat di bidang hukum.
Ayahnya pernah berkata, "Kalau saya lihat karakteristikmu, cara kamu
berbicara, kamu itu cocoknya jadi jaksa."
Menjelang akhir hayat, sang ayah kembali meninggalkan
pesan, jika Eddy memang hendak berkuliah di Fakultas Hukum, maka janganlah
menjadi pengacara setelah lulus nanti. Eddy mengaku cukup terkejut mendengar
wasiat ayahnya itu.
"Mungkin ia tahu kalau saya jadi pengacara, nanti
orang yang salah dan saya bela bisa bebas. Itu juga mengapa ia bilang saya
untuk jadi jaksa," ucap Eddy mengingat pesan sang ayah yang disampaikan
saat ia duduk di bangku SMA.
Kegagalan di kesempatan pertama membuat Eddy semakin
terlecut dan akhirnya ia berhasil menjadi mahasiswa hukum di salah perguruan
tinggi terbaik di tanah air.
"Saya betul-betul intens belajar sampai UMPTN
berikutnya. Barulah kemudian saya lolos, masuk FH UGM," ucapnya.
Eddy Hiariej nantinya memang tidak menjadi pengacara,
namun ia juga bukan berprofresi sebagai jaksa. Ia memilih menjadi akademisi
atau dosen hukum karena menurutnya, ia dapat berinteraksi dengan banyak orang.
Menjadi dosen, kata Eddy, harus terus belajar.
"Katanya, sih, 7 golongan yang masuk surga itu
salah satunya adalah golongan yang selalu memberikan ilmunya kepada orang
lain," ujar Eddy.
Sebelum menjadi saksi ahli untuk paslon 01 di Sidang
MK, Eddy Hiariej menjadi ahli pula bagi Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok,
mantan Gubernur DKI Jakarta yang terseret dalam kasus dugaan penodaan agama dan
disidangkan pada 2017.
Eddy Hiariej juga hadir sebagai ahli hukum pidana yang
dihadirkan jaksa dalam sidang kasus kopi sianida pada 2016. Perkara yang
menjadi sorotan publik itu mendudukkan Jessica Kumala Wongso sebagai terdakwa
atas dugaan pembunuhan terhadap Wayan Mirna Salihin.
Yang lebih menarik, Eddy Hiariej pernah bakal
dihadirkan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, dalam perkara
pembayaran elektronik untuk pengurusan paspor di keimigrasian pada 2015. Akan
tetapi, saat itu Eddy tidak bisa hadir.
Kini, di Sidang MK dalam perkara gugatan sengketa
Pilpres 2019, Denny berada di tim kuasa hukum 02 Prabowo-Sandiaga, sedangkan
Eddy Hiariej adalah salah satu ahli dari tim kuasa hukum 01 Jokowi-Ma'ruf.
Artikel ini telah tayang di Tirto.id dengan Judul
"Sejarah Keilmuan Eddy Hiariej: Ahli 01, Pernah Gagal Masuk UGM"
BACA Juga: Saksi Ahli Profesor Eddy Hiariej Bikin Netizen Kepo,Ternyata Jadi Saksi Ahli di Sidang Kasus Jesicca
BACA Juga: Saksi Ahli Profesor Eddy Hiariej Bikin Netizen Kepo,Ternyata Jadi Saksi Ahli di Sidang Kasus Jesicca
Copyright © SUKABUMINEWS 2019