Kru Angkatan Udara AS mempersiapkan drone tipe RQ/4A Global Hawk untuk lepas landas (Reuters) |
Terlepas dari benar-salah aksi penembakan yang dilakukan Iran, ternyata AS mengandalkan jasa drone bukan hanya sebagai pesawat mata-mata. Paman Sam turut memakai drone sebagai senjata yang telah memakan sejumlah korban sipil.
sukabumiNews, IRAN - Militer Iran merilis cuplikan
video saat mereka menembak jatuh drone mata-mata militer Amerika Serikat (AS)
pada hari Kamis (20/6/2019). Pesawat tanpa awak yang dirudal oleh Korps Garda
Revolusi Islam (IRGC) itu adalah tipe RQ-4 Global Hawk.
Video yang dirilis disertai gambar grafis,
memperlihatkan jejak rudal Iran sebelum menghantam drone AS. Dalam gambar
grafis ditunjukkan pula bahwa drone pengintai tersebut telah memasuki wilayah
udara Negeri Seribu Mullah.
Komandan IRGC, Mayor Jenderal Hossein Salami
mengatakan aksi itu merupakan pesan yang jelas kepada Washington. Penembakan
drone AS merupakan sebuah konsekuensi yang harus diterima karena telah memasuki
wilayah udara Iran di atas Provinsi Hormuzgan selatan.
Infographic shows the flight path of the US spy drone before #IRGC shoots down the unmanned aircraft.#USdroneShotDown #Drone #UnitedStates #HormuzStrait #Iran pic.twitter.com/Y7Z42Zi2mq— Press TV (@PressTV) 20 Juni 2019
Presiden AS ke-45, Donald Trump terkait hal ini
mengatakan bahwa, Iran mungkin telah melakukan kesalahan. Menurutnya, Tehran
seharunya tidak perlu melakukan tindakan konyol tersebut dan meminimalkan
insiden itu agar tidak menimbulkan keributan baru.
Terlepas dari benar-salah aksi penembakan yang
dilakukan Iran, ternyata AS mengandalkan jasa drone bukan hanya sebagai pesawat
mata-mata. Paman Sam turut memakai drone sebagai senjata yang telah memakan
sejumlah korban sipil.
Drone Pembunuh Amerika
Tercatat, Militer AS sejak Januari 2014 mulai
mengoperasikan sistem Kendaraan Udara Tak Berawak atau UAV secara
besar-besaran. Dikutip dari Military.com, jumlah drone yang dimiliki antara
lain sebanyak 7.362 unit tipe RQ-11 Ravens dan 990 unit tipe AeroVironment Wasp
IIIs
Kemudian ada pula tipe AeroVironment RQ-20 Pumas
berjumlah 1.137 unit, lalu 306 unit tipe RQ-16 T-Hawk dengan sistem UAS kecil,
246 unit tipe Predator dan MQ-1C Grey Eagles, 126 unit tipe MQ-9 Reaper, 491
unit tipe RQ-7 Shadows, hingga 33 unit tipe RQ-4 Global Hawk dengan sistem
besar.
Penggunaan drone sebagai senjata tanpa awak tercatat
telah berlangsung di berbagai negara seperti wilayah Afghanistan yang menyasar
Taliban hingga gerilyawan Al-Qaeda yang berada di Afghanistan dan Pakistan.
Dari sinilah kemudian muncul istilah war drone atau perang drone.
.@The_Intercept Releases "Drone Papers," 1st Primary Source on Global U.S. Killing Campaign http://t.co/OG9Ph4toIr pic.twitter.com/pUmz8vnIeu— Democracy Now! (@democracynow) 15 Oktober 2015
The Intercept pada Oktober 2015 menerbitkan The Drone
Papers, 8 seri laporan mengenai Pemerintah AS yang memakai pesawat tanpa awak
sebagai senjata perang. Bocoran yang meliputi sejumlah dokumen, slide, visual,
beserta analisisnya itu mengungkapkan proses birokrasi bagaimana penyerangan
menggunakan drone mendapat persetujuan.
Cache dokumen yang didapatkan dari whistleblower yang
berada dalam komunitas intelijen AS merinci bagaimana cara kerja program
pembunuhan militer AS seperti di Afghanistan, Yaman, dan Somalia, termasuk
mekanisme penargetan tersangka yang dijadwalkan akan dibunuh.
Sang pembocor mengatakan bahwa, publik Amerika punya
hak untuk mengetahui aktivitas yang dilakukan oleh pemerintahnya. Hal itu
termasuk soal bagaimana seseorang bisa ditempatkan dalam daftar target
pembunuhan dan yang harus dimatikan, melalui proses rahasia tanpa dakwaan atau
persidangan terlebih dahulu.
"Drone Papers" Expose Faulty Intel, Chain of Command Behind Global U.S. Assassinations http://t.co/uzOISnYcFB pic.twitter.com/PiijTi7qeq— Democracy Now! (@democracynow) 18 Oktober 2015
The Intercept melaporkan antara Januari 2012 dan
Februari 2013, serangan udara operasi khusus AS di timur laut Afghanistan telah
menewaskan lebih dari 200 orang. Dari jumlah itu, sebenarnya hanya 35 yang
menjadi target.
Yang lebih mengejutkan, selama satu periode 5 bulan
operasi, hampir 90 persen dari 10 orang yang tewas dalam serangan bukanlah
target sasaran. Dengan kata lain, terjadi aksi pembunuhan kepada pihak-pihak
yang tidak bersalah.
Penggunaan drone diklaim merupakan serangan yang lebih
tepat ketimbangan aksi langsung dilapangan. Masalahnya, daftar target
pembunuhan didapatkan dari pengumpulan data atas interpretasi komunikasi pada
telepon dan komputer. Telepon dan email menjadi alat utama yang digunakan
militer untuk menemukan, memperbaiki, hingga 'membereskan' targetnya.
Menurut sang pembocor, metode semacam ini mensyaratkan
kepercayaan yang tinggi kepada teknologi yang digunakan. Bukan tidak mungkin
terjadi kesalahan interpretasi. Sehingga, suatu aksi intelijen yang keliru akan
menyebabkan pembunuhan orang yang tidak bersalah, termasuk warga AS itu
sendiri.
— Eliza Mackintosh (@elizamackintosh) 16 Oktober 2015
Glenn Greenwald, salah satu jurnalis The Intercept
menerangkan ada operasi drone di Afghanistan yang mengindikasikan bahwa
Pemerintah AS mengkategorikan orang tidak dikenal yang terbunuh sebagai musuh,
sehingga menutupi jumlah sebenarnya korban sipil.
Gedung Putih sendiri baru mengeluarkan serangkaian
standar dan prosedur terkait serangan menggunakan drone pada Mei 2013. Padahal,
aksi mematikan pesawat tanpa awak di luar zona perang telah dilakukan lebih
dari belasan tahun lalu. Tercatat, eskalasi penggunaan drone sebagai senjata
telah meningkat pada pemerintahan Barack Obama.
Adapun, insiden penembakan drone AS yang dilakukan
oleh Iran merupakan kejadian terbaru dari serangkaian insiden yang tengah
memanas di Timur Tengah.
Sebelumnya terjadi serangan ledakan terhadap sejumlah
kapal tanker minyak. Otoritas Tehran berkali-kali membantah bahwa pihaknya
tidak terlibat dalam sejumlah aksi tersebut.
Artikel ini telah tayang di: Kabar24.bisnis.com
Editor: Red