Siapa saja sembilan hakim konstitusi tersebut?
Berikut ini profil singkat dari para hakim konstitusi yang menangani gugatan pilpres 2019
1. Dr Anwar Usman, S.H., M.H.
Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2 April 2018-2
Oktober 2020 ini mengawali kariernya sebagai guru honorer hingga enam tahun
lamanya. SD Kalibaru menjadi persinggahan terakhirnya sebagai pendidik.
Meskipun tidak pernah terbayang untuk menjadi hakim konstitusi, ia memberanikan
diri banting setir untuk melanjutkan studi S1-nya di Fakultas Hukum Universitas
Islam Jakarta.
Pria berkelahiran Bima, 31 Desember 1956 itu
melanjutkan pilihannya sebagai sarjana hukum dengan mendaftar sebagai calon
hakim. Pada 1985 ia lulus tes dan diangkat menjadi calon hakim Pengadilan
Negeri Bogor. Anwar juga melanjutkan pendidikannya di Program Studi Magister
Hukum STIH IBLAM Jakarta pada 2001 dan Program Bidang Ilmu Studi Kebijakan
Sekolah Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada 2010.
Sosok yang mencintai teater ini memiliki segudang
prestasi di dunia peradilan. Ia pernah menjabat sebagai Asisten Hakim Agung di
Mahkamah Agung pada 1997-2003. Selanjutnya menjadi Kepala Biro Kepegawaian
Mahkamah Agung pada 2003-2006. Kemudian Anwar diangkat menjadi Hakim Pengadilan
Tinggi Jakarta dengan tetap dipekerjakan sebagai Kepala Biro Kepegawaian.
2. Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.Si., DFM
Aswanto juga mengabdikan diri selama bertahun-tahun
sebagai pendidik. Ia merupakan Guru Besar Ilmu Pidana Universitas Hasanuddin dan
menjadi dosen untuk mahasiswa S1 hingga S3. Kiprahnya sebagai hakim tidak
selalu berjalan mulus.Selain latar belakangnya sebagai pendidik, Aswanto juga
harus banting setir mempelajari kembali seluk-beluk dunia hukum tata negara dan
hukum administrasi negara karena sebelumnya ia adalah ahli hukum pidana.
Selain itu, latar belakang pendidikan Aswanto juga
tidak sejalan satu sama lain. Aswanto meraih gelar sarjana hukum pidana dari
Universitas Hasanuddin. Pendidikan selanjutnya ia tempuh di UGM dengan program
pascasarjana Ilmu Ketahanan sedangkan gelar doktor diperolehnya dari Fakultas
Ilmu Hukum Universitas Airlangga dengan disertasi yang berkaitan dengan hak
asasi manusia.
Saat mencalonkan menjadi hakim konstitusi, ada surat
kaleng yang menolak pencalonan Aswanto. Ia mengklarifikasi tulisan ini dengan
mengucap sumpah. Pria kelahiran Palopo ini juga memberikan tanggapan mengenai
latarnya sebagai ahli hukum pidana. Disertasinya tentang HAM berkaitan dengan
konstitusi, ia juga memiliki nilai tambah dari pengalamannya sebagai ketua
Panwas.
“Orang mengatakan MK lebih kepada persoalan
ketatanegaraan, tapi kan tidak melulu selalu berkaitan dengan hukum
administrasi negara dan hukum tata negara," kata Aswanto, seperti dikutip
dari laman Mahkamah Konstitusi. Menurutnya, persoalan ketatanegaraan mencakup
seluruh aspek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
3. Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S.
Arief yang lahir di Semarang, 3 Februari 1956 ini juga
memiliki latar belakang di dunia pendidikan. Ia merupakan Guru Besar
Universitas Diponegoro pada 2008. Arief juga pernah menjabat sebagai Dekan
Fakultas Hukum Undip.
Kaderisasi merupakan caranya untuk menularkan
virus-virus penegakan hukum kepada anak didiknya. Hal ini juga diterapkan Arief
saat menjadi anggota Tim Asesor Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, serta anggota Tim Penilai Angka
Kredit Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud.
Pilihannya menjadi hakim konstitusi didukung oleh
berbagai pihak, termasuk akademisi di Fakultas Hukum Undip, Guru Besar Ilmu
Hukum Tata Negara Universitas Andalas Saldi Isra, dan pusat studi konstitusi
dari berbagai perguruan tinggi. Ia mengikuti uji kelayakan dan kepatutan (fit
and proper test) di Komisi III DPR dan mengusung makalah bertajuk “Prinsip
Ultra Petita dalam Putusan MK terkait Pengujian UU terhadap UUD 1945”. Arief
pun menang dengan dukungan 42 suara dari 48 anggota Komisi III DPR.
Kapabilitas Arief tidak perlu diragukan karena sejak
lama ia telah berkiprah di bidang hukum, khususnya hukum tata negara. Ia pernah
menjadi Ketua Asosiasi Pengajar HTN-HAN Jawa Tengah, Ketua Pusat Studi Hukum
Demokrasi dan Konstitusi, Ketua Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum
Berperspektif Gender Indonesia, dan Ketua Pusat Studi Hukum Lingkungan.
4. Dr. Wahiduddin Adams, S.H, M.A
Wahiduddin mengawali kariernya sebagai Pegawai Negeri
Sipil (PNS). Selayaknya hakim konstitusi sebelumnya, Wahid berencana untuk
menghabiskan masa purnabaktinya dengan menjadi dosen, bahkan SK PNS-nya telah
dipindahkan menjadi pendidik di UIN Syarif Hidayatullah, Fakultas Syariah dan
Hukum. Namun, ia terpanggil untuk mengabdi lebih jauh dibidang hukum saat DPR
membuka kesempatan untuk menjadi hakim konstitusi.
Pengalamannya yang pernah menjabat sebagai Dirjen
Peraturan Perundang-Undangan mengantarkannya meraih kursi hakim konstitusi.
Menteri Hukum dan HAM kerap membawa Wahid untuk memberikan otoritas kepadanya
sebagai wapres pada sidang pengujian undang-undang dan sengketa kewenangan
lembaga negara di MK. Wahid juga pernah menjadi pemohon mewakili Kementerian
Hukum dan HAM dalam sengketa kewenangan lembaga negara antara Presiden dengan
DPR dan BPK.
Sedari kecil Wahid dikenal dengan sosok yang religius
dan sederhana. Orang tuanya mengarahkan untuk menempuh pendidikan di madrasah
Tsanawiyah hingga Aliyah di Salatiga. Ia melanjutkan pendidikannya di S1
Peradilan Islam, Fakultas Syariah, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 1979
dan De Postdoctorale Cursus Wetgevingsleer di Leiden, Belanda (1987). Selanjutnya
Wahid melanjutkan program magister dan doktor di Hukum Islam UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta dari 1991-2002. Terakhir, ia menempuh studi di Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah untuk jenjang S1 pada 2005.
5. Dr. Suhartoyo, S.H., M.H.
Hakim kelahiran Sleman, Yogyakarta pada 15 November
1959 ini mengawali kariernya sebagai hakim di Pengadilan Negeri. Sarjana hukum
lulusan Universitas Islam Indonesia 1983 ini memulai kiprahnya sebagai calon
hakim di PN Bandar Lampung pada 1986. Tiga tahun kemudian, ia menjadi hakim PN
Curup 1989, PN Metro pada 1995, hingga menjadi Wakil Ketua PN Kotabumi pada
1999.
Kariernya terus berlanjut sebagai hakim PN Tangerang
2001, Ketua PN Praya 2004, lalu kembali ke Jawa sebagai hakim PN Bekasi pada 2006. Ia lantas menjabat
sebagai wakil ketua PN Pontianak pada 2009 hingga menjadi ketua di sana setahun
setelahnya. Satu tahun kemudian Suhartoyo menjadi Wakil Ketua PN Jakarta Timur
lalu menjadi Ketua PN Jakarta Selatan pada 2011. Jabatan terakhirnya sebelum di
MK adalah hakim Pengadilan Tinggi Denpasar hingga 2015.
Suhartoyo mendapatkan gelar S2 dari Universitas
Tarumanegara pada 2003 dan gelar doktor dari Universitas Jayabaya pada 2014.
Saat pencalonan sebagai hakim konstitusi, Suhartoyo pernah tersandung penolakan
Komisi Yudisial. Pasalnya, ada dugaan pelanggaran etik pada perkara buron
Sudjiono Timan dalam kasus Peninjauan Kembali perkara korupsi Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia (BLBI).
KY menyebut Suhartoyo bolak balik ke Singapura 18 kali
pada 2013 atau pada periode PK tersebut. Ia juga membantah bertemu adik
Sudjiono di Singapura. “Saya hanya satu kali terbang ke Singapura,” kata dia.
6. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H., M.Hum.
Hakim konstitusi kelahiran Pangkal Pinang, 27 Juni
1962 ini merupakan alumni Fakultas Hukum UGM 1981. Hakim yang dilantik
menggantikan Maria Farida Indrati ini lama bergelut dengan urusan akademi pada
Hukum Tata Negara di FH UGM. Lulusan S2 Hukum Tata Negara Universitas
Padjadjaran dan S3 Hukum UGM ini bersama mantan ketua MK Mahfud M.D. sempat membuat
Parliament Watch pada 1998.
Enny pernah menjadi tim seleksi calon Anggota Komisi
Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Yogyakarta. Ia juga turut membuat aturan Pemilihan
Walikota Yogyakarta pada 2006. Jabatan terakhirnya sebelum menjadi hakim MK
adalah Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia.
Saat dilantik, Enny mengatakan akan independen dalam
menjalankan tugasnya. Hal ini menjawab pertanyaan para wartawan terkait jabatan
sebelumnya sebagai Kepala BPHN Kementerian Hukum dan Hal Azasi Manusia (Kumham)
yang bertugas merumuskan Undang-Undang. Menurutnya, independensi merupakan
kunci dalam pelaksanaan tugasnya sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi. "Kalau
bisa melakukan itu, kita bisa menanggalkan posisi di mana kita berada,"
kata Enny saat itu.
7. Dr. Manahan M.P. Sitompul S.H., M.Hum.
Pria kelahiran Tarutung, 8 Desember 1953 ini sempat
berkarir di dunia penerbangan dengan menjadi Pegawai Negeri Sipil pada Unit
Keselamatan Penerbangan di Bandara Polonia, Medan. Namun belakangan ia banting
setir lantaran mengambil kuliah jurusan Hukum Internasional di kelas karyawan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan lulus 1982.
Setelahnya ia memulai karier di dunia pengadilan
dengan dilantik menjadi hakim di Pengadilan Negeri Kabanjahe. Karier Manahan
banyak berputar-putar seputaran Sumatera Utara hingga tahun 2002 dilantik
menjadi Ketua PN Simalungun, hakim di PN Pontianak tahun 2003, Wakil Ketua PN
Sragen tahun 2005, hingga 2007 dipercaya menjadi Ketua PN Cilacap. Usai menjabat
di sejumlah PN daerah, Manahan lantas menjadi hakim tinggi di Pengadilan Tinggi
Manado pada tahun 2010.
Tahun 2013, ia sempat mengikuti tes sebagai calon
hakim agung di Mahkamah Agung namun gagal saat uji kepatutan di Dewan
Perwakilan Rakyat. Manahan akhirnya dipanggil ikut uji kepatutan menjadi Wakil
Ketua Pengadilan Tinggi di Pangkal Pinang dan lolos. Tahun 2015, suami dari
Hartaty Malau ini ikut fit and proper test sebagai hakim konstitusi di MK dan
lolos.
Manahan juga mendapatkan seluruh gelar akademiknya
dari USU. Pada tahun 2001, ia meraih gelar magister dari jurusan Hukum Bisnis
di 2001, menyusul tahun 2009 mendapatkan gelar Doktor dari jurusan yang sama.
8. Prof. Dr. Saldi Isra., S.H., MPA.
Nama terakhir ini sebelum dilantik di MK dikenal sebagai
pengamat hukum tata negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO)
Universitas Andalas. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Andalas ini awalnya
bekerja sebagai dosen Universitas Bung Hatta, Padang pada 1995. Tidak berapa
lama di tahun yang sama, Saldi kembali ke almamaternya untuk mengajar selama 22
tahun.
Pria kelahiran 20 Agustus 1968 ini juga sempat kuliah
di Universiti Malaya dan mendapat gelar Master of Public Administration pada
2001. Ia meraih gelar Doktor di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2009 dan
dikukuhkan sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas setahun
kemudian.
Saldi sejak lama memimpikan karier sebagai hakim
konstitusi. Ia semakin mantap mencalonkan diri sebagai hakim konstitusi pada
2017 setelah berdiskusi dengan Mahfud M.D.
Saat itu Mahfud mengatakan, apabila Saldi tak mau mendaftar sama saja
dengan menutup peluang generasi baru di MK. Setelah menyisihkan dua orang
kandidat lain, Saldi akhirnya dilantik Presiden Joko Widodo menjadi hakim
konstitusi menggantikan Patrialis Akbar. "Itu beberapa pertimbangan
saya," kata Saldi seperti dikutip dari situs MK.
9. Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum
Palguna sempat menolak saat ditawari menjadi hakim
konstitusi untuk kedua kalinya. Pertama kali tawaran untuk melanjutkan profesi
yang pernah digelutinya selama lima tahun tersebut datang dari Jimly
Asshiddiqie yang saat itu menjabat ketua MK. Palguna menolak secara halus
tawaran ini karena ingin melanjutkan studi S3-nya.
Pada 2013, ia kembali menerima tawaran untuk mendaftar
sebagai hakim konstitusi dari anggota DPR. Palguna lagi-lagi menolak dengan
alasan ingin fokus di ranah akademis dan membantu almamaternya untuk proses
akreditasi.
Permintaan terakhir pada 2014 datang dari Presiden
Joko Widodo. Palguna sungguh tidak menyangka presiden akan memilihnya. Pria
yang pernah bercita-cita menjadi tentara ini akhirnya menerima tawaran menjadi
hakim konstitusi untuk periode kedua. Sebelumnya pada 1999-2004, Palguna pernah
menjadi anggota MPR RI sebagai utusan daerah. Ia merupakan salah satu pelaku
sejarah ketika MPR RI mengamandemen UUD 1945.
Sumber: Katadata
Editor: Red.