Memperhatikan kondisi saat ini, banyak sekali kata-kata
atau sebutan, gelar, dan julukan yang buruk mudah terlontar, baik melalui lisan atau melalui jari-jemari
komentar di media sosial. Sebutlah misalnya julukan “cebong”, “kampret”, “IQ 200 sekolam” dan
ucapan-ucapan buruk lainnya.
Ucapan-ucapan yang
tampak ringan di lisan dan tulisan, padahal berat timbangannya di sisi Allah
Ta’ala di hari kiamat kelak.
Islam tidak membenarkan sesama kita saling memperlolok
dan memanggil dengan panggilan yang ia sendiri tidak suka mendengarnya.
Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡا لَا یَسۡخَرۡ قَوۡمٌ مِّنۡ قَوۡمٍ عَسٰۤی اَنۡ یَّکُوۡنُوۡا خَیۡرًا مِّنۡہُمۡ
وَ لَا نِسَآءٌ مِّنۡ نِّسَآءٍ عَسٰۤی اَنۡ یَّکُنَّ خَیۡرًا مِّنۡہُنَّ ۚ وَ لَا
تَلۡمِزُوۡۤا اَنۡفُسَکُمۡ وَ لَا تَنَابَزُوۡا بِالۡاَلۡقَابِ ؕ بِئۡسَ الِاسۡمُ الۡفُسُوۡقُ
بَعۡدَ الۡاِیۡمَانِ ۚ وَ مَنۡ لَّمۡ یَتُبۡ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الظّٰلِمُوۡنَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan
orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan
itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan
kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah
suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung
ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan
barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” [QS.
49 (Al-Hujurat) ayat 11].
Kepada orang yang mengolok-olok, saling memanggil
dengan gelar yang buruk, dan perbuatan mencela orang lain Allah Ta’ala menyebutnya
dengan Kefasikan. “Fasik” adalah keluar dari ketaatan kepada Allah Ta’ala, dan perbuatan
semacam ini tidak pantas dinamakan dan disandingkan dengan keimanan.
Hukum Saling
Memanggil dengan Gelar dan Julukan yang Buruk
Allah Ta’ala
berfirman,
وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ
“Dan janganlah kamu
saling memanggil dengan gelar (yang buruk)” (QS. Al-Hujuraat [49]: 11).
Pada asalnya,
“laqab” (gelar atau julukan) itu bisa mengandung pujian dan bisa juga
mengandung celaan. Jika julukan tersebut mengandung pujian, inilah yang
dianjurkan. Seperti, memanggil orang lain dengan “yang mulia”, “yang ‘alim
(berilmu)”, “yang terhormat” dan sebagainya.
Namun jika julukan
tersebut mengandung celaan, maka inilah maksud ayat di atas, yaitu hukumnya
terlarang. Misalnya, memanggil orang lain dengan “orang pelit”, “orang hina”,
“orang bodoh”, dan sejenisnya.
Meskipun itu adalah
benar karena ada kekurangan (cacat) dalam fisiknya, tetap dilarang. Misalnya
dengan memanggil orang lain dengan “si pincang”, “si mata juling”, “si buta”,
dan sejenisnya, kecuali jika julukan tersebut untuk mengidentifikasi orang lain,
bukan dalam rangka merendahkan, maka diperbolehkan.
Sayangnya yang kita jumpai saat ini, orang sangat mudah meremehkan larangan
Allah Ta’ala dalam ayat di atas. Diberikanlah julukan bagi orang yang berbeda
pandangan atau pilihan “politiknya” dengan sebutan (maaf) “cebong”, sedangkan
di pihak lain diberikan julukan (maaf) “kampret” dan julukan-julukan yang buruk
lainnya. Seolah-olah ucapannya itu adalah ucapan yang ringan dan tidak ada
perhitungannya nanti di sisi Allah Ta’ala.
Lebih-lebih bagi
mereka yang pertama kali memiliki ide julukan ini dan yang pertama kali
mempopulerkannya, kemudian diikuti oleh banyak orang. Karena bisa jadi orang
tersebut menanggung dosa jariyah sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً،
كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ
يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Dan barangsiapa
yang membuat (mempelopori) perbuatan yang buruk dalam Islam, maka baginya dosa
dan (ditambah dengan) dosa orang-orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa
mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun” (HR Muslim no. 1017).
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ، كَانَ عَلَيْهِ مِنَ
الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
“Dan barangsiapa
yang mengajak kepada kesesatan, dia mendapatkan dosa, seperti dosa orang yang
mengikutinya, tanpa mengurangi dosa orang yang mengikuti tersebut sedikit pun”
(HR. Muslim no. 2674).
Mencela Orang Lain
Berarti Mencela Diri Sendiri
Ada yang menarik
dalam ayat di atas berkaitan dengan larangan mencela orang lain. Allah Ta’ala
melarang kita mencela orang lain dengan lafadz,
وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ
“Dan janganlah kamu
mencela dirimu sendiri” (QS. Al-Hujuraat [49]: 11).
Mengapa mencela
orang lain Allah Ta’ala sebut dengan mencela diri sendiri? Ada dua penjelasan
mengenai hal ini. Penjelasan pertama, karena setiap mukmin itu bagaikan satu
tubuh. Sehingga ketika dia mencela orang lain, pada hakikatnya dia mencela
dirinya sendiri, karena orang lain itu adalah saudaranya sendiri. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ المُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ
بَعْضُهُ بَعْضًا
“Sesungguhnya orang
mukmin yang satu dengan mukmin yang lain itu bagaikan satu bangunan, yang
saling menguatkan satu sama lain” (HR. Bukhari no. 481 dan Muslim no. 2585).
Dalam hadits yang
lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ،
وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ
الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan
orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, saling mengasihi dan saling
menyokong satu sama lain itu bagaikan satu tubuh. Jika satu bagian tubuh sakit,
maka seluruh bagian tubuh lainnya akan merasakan sakit, dengan begadang (tidak
bisa tidur) dan demam” (HR. Muslim no. 2586).
Penjelasan kedua
adalah karena jika kita mencela orang lain, maka orang tersebut akan membalas
dengan mencela diri kita sendiri, dan begitulah seterusnya akan saling mencela.
Dan itulah fenomena yang kita saksikan saat ini.
Mencela orang lain
itu termasuk perbuatan merendahkan (menghina) mereka. Allah Ta’ala berfirman,
الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ
سَخِرَ اللَّهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“(Orang-orang
munafik) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah
dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk
disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu
menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka
adzab yang pedih” (QS. At-Taubah [9]: 79).
Oleh: Kang Malik AS