Kerusuhan 21-22 Mei (Gambar Istimewa). |
Tim Mawar terlibat dalam kasus penculikan aktivis 1998
sukabumiNews, JAKARTA - Mantan anggota Tim Mawar yang
terlibat dalam penculikan aktivis 1998, Fauka Noor Farid, diduga terlibat di
balik aksi demonstrasi yang berakhir ricuh pada 22 Mei 2019 lalu.
Dalam laporan Majalah Tempo edisi 10 Juni 2019
bertajuk 'Tim Mawar dan Rusuh Sarinah' menjelaskan bahwa Fauka merupakan mantan
anak buah Calon presiden (capres) nomor urut 02, Prabowo Subianto, di Komando
Pasukan Khusus (Kopassus).
Lalu, apa sebenarnya Tim Mawar itu?
1. Dalang dalam operasi penculikan para aktivis politik
pro-demokrasi
Dilansir dari berbagai sumber, Tim Mawar adalah sebuah
tim kecil dari kesatuan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Grup IV, Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD). Tim ini adalah dalang dalam operasi
penculikan para aktivis politik pro-demokrasi.
Kasus penculikan ini menyeret 11 anggota Tim Mawar ke
pengadilan Mahmilti II pada bulan April 1999. Saat itu, Mahmilti II Jakarta
yang diketuai Kolonel CHK Susanto, memutus perkara nomor
PUT.25-16/K-AD/MMT-II/IV/1999 yang memberi vonis kepada Mayor Inf Bambang
Kristiono (Komandan Tim Mawar) dengan 22 bulan penjara dan memecatnya sebagai
anggota TNI.
Pengadilan juga memberi vonis pada Kapten Inf Fausani
Syahrial Multhazar (Wakil Komandan Tim Mawar), Kapten Inf Nugroho Sulistiyo
Budi, Kapten Inf Yulius Selvanus, dan Kapten Inf Untung Budi Harto,
masing-masing 20 bulan penjara dan memecat mereka sebagai anggota TNI.
Sedangkan, 6 prajurit lainnya dihukum penjara tetapi
tidak dikenai sanksi pemecatan sebagai anggota TNI. Mereka itu adalah Kapten
Inf Dadang Hendra Yuda, Kapten Inf Djaka Budi Utama, Kapten Inf Fauka Noor
Farid, di mana masing-masing dipenjara 1 tahun 4 bulan. Sementara Serka Sunaryo,
Serka Sigit Sugianto, dan Sertu Sukadi hanya dikenai hukuman penjara 1 tahun.
Menurut pengakuan komandan Tim Mawar, Mayor Bambang
Kristiono, di sidang Mahkamah Militer, seluruh kegiatan penculikan aktivis itu
dilaporkan kepada komandan grupnya, yakni Kolonel Chairawan K. Nusyirwan,
tetapi sang komandan tidak pernah diajukan ke pengadilan sehingga tidak bisa
dikonfirmasi.
Sementara itu tanggung jawab komando diberlakukan
kepada para perwira pemegang komando pada saat itu. Dewan Kehormatan Perwira
telah memberikan rekomendasi kepada Pimpinan ABRI.
Dilansir dari Majalah Tempo edisi 1998, Tim Mawar yang
dibentuk pada 1997 lalu ini menargetkan
atau menangkap para aktivis radikal.
Pada persidangan yang digelar di Mahkamah Militer
Tinggi II-08 Jakarta tahun 1998, Bambang mengaku menculik atas dasar hati
nurani. Ia mengaku tergerak melakukannya demi mengamankan kepentingan nasional.
Menurut Bambang, tindakan para aktivis akan mengganggu stabilitas nasional.
2. Penculikan aktivis 1998
Penculikan aktivis 1998 adalah peristiwa penghilangan
orang secara paksa atau penculikan terhadap para aktivis pro-demokrasi yang
terjadi menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1997 dan Sidang
Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1998.
Peristiwa penculikan ini berlangsung dalam tiga tahap
yaitu, menjelang Pemilu Mei 1997, dalam waktu dua bulan menjelang sidang MPR
bulan Maret, sembilan di antara mereka yang diculik selama periode kedua
dilepas dari kurungan dan muncul kembali. Beberapa di antara mereka berbicara
secara terbuka mengenai pengalaman mereka. Tapi tak satu pun dari mereka yang
diculik pada periode pertama dan ketiga muncul.
Selama periode 1997-1998, KONTRAS (Komisi untuk Orang
Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mencatat 23 orang telah dihilangkan oleh
alat-alat negara. Dari angka itu, 1 orang ditemukan meninggal (Leonardus
Gilang), 9 orang dilepaskan penculiknya, dan 13 lainnya masih hilang hingga
hari ini. Dan penculikan itu terjadi saat masa kepemimpinan Jenderal tertinggi
ABRI yang kini menjabat sebagai Menko Polhukam, Wiranto.
Sembilan aktivis yang dilepaskan adalah:
1. Desmond Junaidi Mahesa, diculik di Lembaga Bantuan
Hukum Nusantara, Jakarta, 4 Februari 1998.
2. Haryanto Taslam.
3. Pius Lustrilanang, diculik di RSCM, 2 Februari
1998.
4. Faisol Reza, diculik di RSCM setelah konferensi
pers KNPD di YLBHI, Jakarta, 12 Maret 1998.
5. Rahardjo Walujo Djati, diculik di RSCM setelah
konferensi pers KNPD di YLBHI, Jakarta, 12 Maret 1998.
6. Nezar Patria, diculik di Rumah Susun Klender, 13 Maret
1998.
7. Aan Rusdianto, diculik di Rumah Susun Klender, 13
Maret 1998.
8. Mugianto, diculik di Rumah Susun Klender, 13 Maret
1998.
9. Andi Arief, diculik di Lampung, 28 Maret 1998.
Ke-13 aktivis yang masih hilang dan belum kembali
berasal dari berbagai organisasi, seperti Partai Rakyat Demokratik, PDI
Pro-Megawati, dan para mahasiswa. Berikut daftarnya:
1. Petrus Bima Anugrah (Mahasiswa Universitas
Airlangga dan STF Driyakara, aktivis SMID, hilang di Jakarta pada 30 Maret
1998)
2. Herman Hendrawan (Mahasiswa Universitas Airlangga,
hilang setelah konferensi pers KNPD di YLBHI, Jakarta, 12 Maret 1998)
3. Suyat (Aktivis SMID, dia hilang di Solo pada 12
Februari 1998)
4. Wiji Thukul (Penyair, aktivis JAKER. Dia hilang di
Jakarta pada 10 Januari 1998)
5 . Yani Afri (Sopir, pendukung PDI dan Megawati, ikut
koalisi Mega Bintang dalam Pemilu 1997, sempat ditahan di Makodim Jakarta
Utara. Dia hilang di Jakarta pada 26 April 1997)
6. Sonny (Sopir, teman Yani Afri, pendukung PDI
Megawati. Hilang di Jakarta pada 26 April 1997)
7. Deddy Hamdun (Pengusaha, aktif di PPP dan dalam
kampanye 1997 Mega-Bintang. Hilang di Jakarta pada 29 Mei 1997)
8. Noval Al Katiri (Pengusaha, teman Deddy Hamdun,
aktivis PPP. Dia hilang di Jakarta pada 29 Mei 1997)
9. Ismail (Sopir Deddy Hamdun. Hilang di Jakarta pada
29 Mei 1997)
10. Ucok Mundandar Siahaan (Mahasiswa Perbanas,
diculik saat kerusuhan 14 Mei 1998 di Jakarta)
11. Hendra Hambali (Siswa SMA, raib saat kerusuhan di
Glodok, Jakarta, 15 Mei 1998)
12. Yadin Muhidin (Alumnus Sekolah Pelayaran, sempat
ditahan di Polres Jakarta Utara. Dia hilang di Jakarta pada 14 Mei 1998)
13. Abdun Nasser (Kontraktor, hilang saat kerusuhan 14
Mei 1998, Jakarta)
Mugiyanto, Nezar Patria, Aan Rusdianto (korban yang
dilepaskan) tinggal satu rumah di Rusun Klender bersama Bimo Petrus (korban
yang masih hilang). Faisol Reza, Rahardjo Walujo Djati (korban yang
dilepaskan), dan Herman Hendrawan (korban yang masih hilang) diculik setelah
ketiganya menghadiri konferensi pers KNPD di YLBHI pada 12 Maret 1998.
3. Kasus diselidiki Komnas HAM
Kasus ini kemudian diselidiki oleh Komisi Nasional
(Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) berdasar UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM
dan hasilnya telah diserahkan ke Jaksa Agung pada 2006. Tim penyelidik Komnas
HAM untuk kasus penghilangan orang secara paksa ini bekerja sejak 1 Oktober
2005 hingga 30 Oktober 2006.
Ada pun jumlah korban atas penghilangan orang tersebut
adalah 1 orang terbunuh, 11 orang disiksa, 12 orang dianiaya, 23 orang
dihilangkan secara paksa, dan 19 orang dirampas kemerdekaan fisiknya secara
sewenang-wenang.
Abdul Hakim Garuda Nusantara (Ketua Komnas HAM pada
2006) meminta agar hasil penyelidikan yang didapat dapat dilanjutkan oleh
Kejaksaan Agung untuk membentuk tim penyidik. Hal ini karena, telah didapat
bukti permulaan yang cukup untuk menyimpulkan terjadinya kejahatan terhadap
kemanusiaan.
Sementara itu, asisten tim ad hoc penyidik peristiwa
penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998, Lamria, menyatakan ada beberapa
orang dari 13 aktivis yang masih dinyatakan hilang tersebut diketahui pernah
berada di Pos Komando Taktis (Poskotis) Kopassus yang terletak di Cijantung,
Jakarta.
Komnas HAM menyimpulkan ada bukti permulaan
pelanggaran HAM berat dalam kasus penghilangan orang secara paksa selama
1997-1998. Kesimpulan ini didasarkan penyelidikan dan kesaksian 58 korban dan
warga masyarakat, 18 anggota dan purnawirawan Polri, serta seorang purnawirawan
TNI.
Pada 22 Desember 2006, Komnas HAM meminta DPR agar
mendesak Presiden mengerahkan dan memobilisasi semua aparat penegak hukum untuk
menuntaskan persoalan.
Ketua DPR Agung Laksono pada 7 Februari 2007 juga
meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memerintahkan Jaksa Agung Abdul
Rahman Saleh, melakukan penyelidikan dan penyidikan berdasarkan temuan Komnas
HAM untuk menuntaskan kasus penculikan 13 aktivis.
4. Fauka disebut berada di Sarinah saat terjadinya
kerusuhan pada 22 Mei
Berdasarkan penelusuran Tempo, disebutkan bahwa Fauka
berada di kawasan Sarinah tepatnya di depan Gedung Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu) RI saat terjadinya peristiwa kerusuhan 22 Mei lalu.
Tak hanya itu, dijelaskan pula terdapat sebuah
transkrip percakapan yang mengungkap jika Fauka beberapa kali melakukan
komunikasi dengan Ketua Umum Baladhika Indonesia Jaya, Dahlia Zein, tentang
kerusuhan yang terjadi di sekitar kawasan Bawaslu.
5. Polri masih mendalami terkait kabar tersebut
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Bagian Penerangan Umum
(Kabag Penum) Divisi Humas Mabes Polri, Kombes Pol Asep Adi Saputra, mengatakan
bahwa pihaknya masih melakukan pendalaman terkait hasil laporan yang
diungkapkan oleh Majalah Tempo.
"Pada prinsipnya, penyidik melakukan upaya-upaya
penyelidikan dengan memperhatikan berbagai sumber informasi, termasuk dari
media tersebut. Yang jelas tentunya semua menggunakan metode khusus untuk
penyelidikan ini," jelasnya di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin(10/6).
Senada, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan
Keamaman (Menko Polhukam) Jenderal TNI (Purn) Wiranto pun tidak ingin
berkomentar lebih jauh terkait kabar tersebut. Ia hanya menyebut akan
menjelaskan lebih lanjut update informasi terkait kerusuhan 22 Mei pada Selasa
(11/6) besok.
"Kita ingin supaya adanya satu penjelasan secara
detail mengenai tokoh-tokoh yang ditangkap, apa sebabnya, alasannya apa, besok
itu akan lengkap disampaikan ke publik. Jadi bukan informasi lagi, tapi berita
acara pemeriksaannya ya," jelas Wiranto di Kemenko Polhukam, Jakarta
Pusat, Senin(10/6).
"Jadi, jangan khawatir nanti kita jelaskan ke
publik. Supaya apa? Supaya tidak ada kesimpangsiuran, begitu," sambungnya.
BACA Juga:
Menhan:Tak Ada Anggota Kopassus Aktif Terlibat Kerusuhan Mei
Pewarta: IDN Times
Editor:
Red.