Belanja Urusan Perut, Haruskah?
Oleh: AA. Hasan Lamahering (direktur FITRA)
Biaya makan dan minuman adalah salah satu mata belanja
daerah yang hampir dapat dipastikan menjadi kebutuhan yang tak dapat
dihindarkan oleh setiap organisasi perangkat daerah (OPD). Setiap program yang
dilaksanakan oleh OPD pasti ada komponen belanja makan dan minuman, hal yang
demikian memang tak dapat dihidarkan namun dapat di efisienkan.
Publik berhak untuk mengetahui standar harga satuan
yang ditetapkan oleh kepala daerah dengan berbagai pertimbangan, salah satu
diantaranya adalah inflasi ekonomi. Sudahkah pemerintah daerah membuka informasi
standar harga satuan? Atau maukah pemerintah daerah membukanya? Swjenak kita
tinggalkan pertanyaan itu, karena pasti lama menunggu jawaban dari pemerintah.
Lalu mari kita berlayar ke anggaran urusan perut pada setiap program OPD
belanja makan minum secara garis besar dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu :
1). Belanja Makan dan Minuman Rapat; 2). Belanja Makan dan Minuman Tamu; dan
3). Belanja Makan dan Minuman harian Pegawai dan beberapa jenis belanja makan
minum lainnya.
Publik tentu ingin dan memiliki hak untuk mengetahui
harga satuan belanja makan dan minuman untuk setiap orang/kegiatan. Apa jenis
makan dan minumannya sehingga dapat ditemukan rasionalisasi harga. Hal ini akan
terjawab bila setiap OPD mau memberikan informasi dokumen pelaksanaan anggaran
(DPA) yang merupakan dokumen publik bila merujuk pada Peraturan Komisi
Informasi, namun bagi OPD akan menggeleng kepalanya sebagai tanda tidak setuju
karena DPA bagi OPD adalah dokumen urusan dapurnya. Kondisi ini membingungkan
nalar sehat siapapun (pastinya, selain penyelenggara pemerintahan) karena
rakyatlah pemegang saham mayoritas atas anggaran yang dikelola oleh pemerintah.
Kok Rakyat tak Dapat Mengakses?
Semakin tertutup pengelolaan anggaran rakyat, maka di
sanalah awal mula muncul potensi penyimpangan. Sebagaimana telah dibahas dalam
paragraf – paragraf sebelumnya, bahwa rakyat tidak punya saluran untuk
mendapatkan informasi standar harga satuannya belanja urusan perut tersebut.
Hal itu karena impotensinya pejabat pengelola informasi dan dokumentas (PPID)
dilingkungan pemerintah daerah. Sehingga dapat dibuat sebuah premis bahwa
memang pemerintah daerah tidak berkeinginan untuk memenuhi salah satu hak
warganya, yakni mengetahui anggaran daerah dan kinerjanya.
Mengapa rakyat dibuat untuk tidak boleh mengetahui DPA
OPD? Ditengah tata kelola pemerintahan yang dzulumàt maka akan menimbulkan
sederet pertanyaan. Jika ternyata standar harga satuan makan minum lebih besar
dari harga sebenarnya maka bagaimana tata kekelo kelebihan anggarannya atau sebaliknya
maka bagaimana mensiasati kekurangannya?
Bagaimana jika anggaran makan minum tidak tersebap?
Seberapa banyak tamu yang mengunjungi OPD sehingga dianggarkan secara khusus
makan dan minumannya? Mungkin pertanyaan – pertanyaan ini bagi pelaku dan administrator
kebijakan publik akan tersenyum dan sedikit mencibir karena beranggapan bahwa
hal semacam itu saja kok tidak tahu. Namun faktanya publik tidak banyak yang
tahu, sehingga perlulah literasi anggaran karena rakyat berdaulat atas anggaran
(APBD).
Tidak bisanya masyarakat mengakses informasi anggaran
menandakan bahwa pemerintah mengidap sindrom kuasa akut. Dimana sindrom ini
menyerang sendi – sendi kepekaan dan kesadaran bahwa anggaran atau uang yang
dikelolanya adalah uang rakyat sebagai pemegang saham mayoritas.
Alokasi Anggaran Urusan Perut
Nah, sekarang kita mulai berenang karena saya sulit
mengajak publik untuk menyelami anggaran urusan perut. Bak film Dilan,
pemerintah daerah akan berkata “anggaran itu terlalu berat, biarkan kami saja”.
Berenang memberi sensasi atas rasa fisik dan psikis.
Belanja makan minum pada lingkungan OPD di Kabupaten
Sukabumi tahun anggaran 2019 mencapai Rp. 56,5 Milyar dan OPD yang terbesar
biaya makan minumnya adalah Dinas Kesehatan dengan nilai mencapai Rp. 14,5 Milyar
atau 25,8 % dari total anggaran makan minum OPD. Sementara tragisnya adalah
belanja makanan dan minuman untuk Bayi dan Balita pada Dinas Kesehatan hanya
sebesar Rp.87,5 Juta dan untuk makan dan minum ibu hamil sebesar Rp. 82,8 Juta
artinya belanja makan minum untuk bayi / balita dan ibu hamil masing – masing
hanya 0,01% dari total anggaran makan minum Dinas Kesehatan.
Mari kita lihat bagaimana anggaran makan – minum di
Kota Sukabumi. Tiga besar OPD dengan biaya makan minum terbesar adalah Dinas
Kesehatan sebesar Rp. 3,2 Milyar atau 19,1%, Sekretriat Daerah sebesar Rp. 3
Milyar atau 17,5% dan Sekretariat Dewan sebesar Rp. 1,6 Milyar atau 9,7% dari
total anggaran makan – minum OPD. Temuan lain misalnya tidak ada anggaran
khusus untuk makan minum bayi/balita dan ibu hamil. Apakah karena seluruh rumah
tangga yang memiliki bayi/balita dan ibu hamil di Kota Sukabumi sudajh pada
level sejahtera ataukah ada program lain yang menanggulangi ueusan dimaksud?
Hanya Pemerintah Kota Sukabumilah yang memiliki otoritas menjawab hal itu.