Kembali
Pada Al Quran Dan Sunnah (Hadits) Bukanlah Berarti Melupakan Ulama
Majmu’ah Al-Fatawa. Cetakan keempat, tahun 1432
H. Ahmad bin Taimiyyah Al-Harrani. Penerbit Darul Wafa’.
Ketika
kita mengajak kembali pada Al-Qur’an dan Al-Hadits, bukan berarti kita
meninggalkan perkataan para ulama atau meninggalkan pendapat madzhab. Bahkan
boleh kita mengikuti pendapat ulama selama tidak keluar dari ajaran Al-Qur’an
dan As-Sunnah.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Siapa yang mencintai
para ulama, boleh baginya mengikuti pendapatnya selama pendapat tersebut sesuai
dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Seperti itu disebut muhsin (orang yang baik).
Bahkan keadaan ini lebih baik daripada yang lainnya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 22:
249)
Rambu
Ketika Bermadzhab
Bermadzhab
itu boleh asalkan kita mau mengikuti rambu-rambut berikut ini.
Rambu
pertama: Harus
diyakini bahwa bermadzhab bukan dijadikan standar kawan dan musuh yang akhirnya
memecah belah persatuan kaum muslimin. Yang tepat, yang jadi prinsip Ahlus
Sunnah wal Jama’ah, yang dijadikan standar kawan adalah jika mengikuti Al
Qur’an dan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta ijma’
(konsensus) para ulama kaum muslimin. Menyelisihi ketiga hal tadi, berarti
dijadikan standar untuk bara’ atau berlepas diri.
Rambu
kedua: Tidak boleh
seseorang meyakini bahwa setiap muslim wajib mengikuti imam tertentu, tidak
boleh mengikuti imam lainnya. Mengikuti satu imam inilah sebagai standar
kebenaran, tidak pada lainnya.
Ibnu
Taimiyah berkata, “Yang bisa kita katakan pada orang awam, hendaklah ia taklid
(ikut saja pendapat) dari satu orang, tanpa kita tentukan harus ikut Zaid atau
‘Amr. Sedangkan jika kita katakana, “Wajib bagi orang awam untuk taklid pada si
A atau si B (dengan menunjuk orang tertentu, lalu dilarang ikuti yang lain),
seperti itu bukanlah prinsip orang muslim yang sebenarnya.” (Majmu’ah
Al-Fatawa, 22: 249)
Rambu
ketiga: Imam yang
diikuti madzhabnya tersebut harus diyakini bahwa ia hanya diaati karena ia
menyampaikan maksud dari agama dan syari’at Allah. Sedangkan yang mutlak
ditaati adalah Allah dan Rasul-Nya.
Rambut
keempat: Menjaga
diri agar tidak terjatuh pada hal-hal yang terlarang sebagaimana yang dialami
para pengikut madzhab di antaranya:
Fanatik
buta dan ingin berpecah belah.
Berpaling
dari Al Qur’an dan As-Sunnah karena yang diagungkan adalah perkataan imam
madzhab.
Membela
madzhab secara overdosis bahkan sampai menggunakan hadits-hadits dhaif agar
orang lain mengikuti madzhabnya.
Mendudukkan
imam madzhab sebagai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Ma’alim Ushul
Al-Fiqh, hlm. 496-497)
Ibnu
Taimiyah rahimahullah mengatakan,
أَمَّا وُجُوبُ
اتِّبَاعِ الْقَائِلِ فِي كُلِّ مَا يَقُولُهُ مِنْ غَيْرِ ذِكْرِ دَلِيلٍ يَدُلُّ
عَلَى صِحَّةِ مَا يَقُولُ فَلَيْسَ بِصَحِيحِ ؛ بَلْ هَذِهِ الْمَرْتَبَةُ هِيَ ”
مَرْتَبَةُ الرَّسُولِ ” الَّتِي لَا تَصْلُحُ إلَّا لَهُ
“Adapun menyatakan
bahwa wajib mengikuti seseorang dalam setiap perkataannya tanpa menyebutkan
dalil mengenai benarnya apa yang ia ucapkan, maka ini adalah sesuatu yang tidak
tepat. Menyikapi seseorang seperti ini sama halnya dengan menyikapi rasul
semata yang selainnya tidak boleh diperlakukan seperti itu.” (Majmu’ah
Al-Fatawa, 35: 121)
Allah
Ta’ala berfirman,
فَلَا وَرَبِّكَ
لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا
فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi
Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An- Nisa’: 65)
Bermadzhab
dan Ikuti Ulama itu Boleh, Asalkan …
Dijadikan
sebagai wasilah (perantara untuk belajar), bukan tujuan.
Untuk
menghilangkan mafsadat (kerusakan) lebih besar. (Lihat Ma’alim Ushul Al-Fiqh,
495)
Prinsip
Taat Ulama
Wajib
mentaati ulama ketika selaras dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Namun
ketaatan pada ulama bukan berdiri sendiri, artinya jika tidak bersesuaian
dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, maka wajib ditinggalkan.
Kita
diperintahkan untuk mentaati ulama. Namun kalau ada perselisihan kembali pada
Allah dan Rasul-Nya sebagaimana dalam ayat,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 59)
Wallahu
waliyyut taufiq.
Referensi:
Ma’alim
Ushul Al-Fiqh ‘inda Ahli As-Sunnah wa Al-Jama’ah. Cetakan kesembilan, tahun
1431 H. Muhammad bin Husain bin Hasan Al-Jizaniy. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.