Kembali kepada Al-Quran dan Assunnah

Kembali Pada Al Quran Dan Sunnah (Hadits) Bukanlah Berarti Melupakan Ulama

Ketika kita mengajak kembali pada Al-Qur’an dan Al-Hadits, bukan berarti kita meninggalkan perkataan para ulama atau meninggalkan pendapat madzhab. Bahkan boleh kita mengikuti pendapat ulama selama tidak keluar dari ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Siapa yang mencintai para ulama, boleh baginya mengikuti pendapatnya selama pendapat tersebut sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Seperti itu disebut muhsin (orang yang baik). Bahkan keadaan ini lebih baik daripada yang lainnya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 22: 249)

Rambu Ketika Bermadzhab

Bermadzhab itu boleh asalkan kita mau mengikuti rambu-rambut berikut ini.

Rambu pertama: Harus diyakini bahwa bermadzhab bukan dijadikan standar kawan dan musuh yang akhirnya memecah belah persatuan kaum muslimin. Yang tepat, yang jadi prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang dijadikan standar kawan adalah jika mengikuti Al Qur’an dan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta ijma’ (konsensus) para ulama kaum muslimin. Menyelisihi ketiga hal tadi, berarti dijadikan standar untuk bara’ atau berlepas diri.

Rambu kedua: Tidak boleh seseorang meyakini bahwa setiap muslim wajib mengikuti imam tertentu, tidak boleh mengikuti imam lainnya. Mengikuti satu imam inilah sebagai standar kebenaran, tidak pada lainnya.

Ibnu Taimiyah berkata, “Yang bisa kita katakan pada orang awam, hendaklah ia taklid (ikut saja pendapat) dari satu orang, tanpa kita tentukan harus ikut Zaid atau ‘Amr. Sedangkan jika kita katakana, “Wajib bagi orang awam untuk taklid pada si A atau si B (dengan menunjuk orang tertentu, lalu dilarang ikuti yang lain), seperti itu bukanlah prinsip orang muslim yang sebenarnya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 22: 249)

Rambu ketiga: Imam yang diikuti madzhabnya tersebut harus diyakini bahwa ia hanya diaati karena ia menyampaikan maksud dari agama dan syari’at Allah. Sedangkan yang mutlak ditaati adalah Allah dan Rasul-Nya.

Rambut keempat: Menjaga diri agar tidak terjatuh pada hal-hal yang terlarang sebagaimana yang dialami para pengikut madzhab di antaranya:

Fanatik buta dan ingin berpecah belah.
Berpaling dari Al Qur’an dan As-Sunnah karena yang diagungkan adalah perkataan imam madzhab.
Membela madzhab secara overdosis bahkan sampai menggunakan hadits-hadits dhaif agar orang lain mengikuti madzhabnya.
Mendudukkan imam madzhab sebagai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Ma’alim Ushul Al-Fiqh, hlm. 496-497)
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

أَمَّا وُجُوبُ اتِّبَاعِ الْقَائِلِ فِي كُلِّ مَا يَقُولُهُ مِنْ غَيْرِ ذِكْرِ دَلِيلٍ يَدُلُّ عَلَى صِحَّةِ مَا يَقُولُ فَلَيْسَ بِصَحِيحِ ؛ بَلْ هَذِهِ الْمَرْتَبَةُ هِيَ ” مَرْتَبَةُ الرَّسُولِ ” الَّتِي لَا تَصْلُحُ إلَّا لَهُ

“Adapun menyatakan bahwa wajib mengikuti seseorang dalam setiap perkataannya tanpa menyebutkan dalil mengenai benarnya apa yang ia ucapkan, maka ini adalah sesuatu yang tidak tepat. Menyikapi seseorang seperti ini sama halnya dengan menyikapi rasul semata yang selainnya tidak boleh diperlakukan seperti itu.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 35: 121)

Allah Ta’ala berfirman,

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An- Nisa’: 65)

Bermadzhab dan Ikuti Ulama itu Boleh, Asalkan …

Dijadikan sebagai wasilah (perantara untuk belajar), bukan tujuan.
Untuk menghilangkan mafsadat (kerusakan) lebih besar. (Lihat Ma’alim Ushul Al-Fiqh, 495)

Prinsip Taat Ulama

Wajib mentaati ulama ketika selaras dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Namun ketaatan pada ulama bukan berdiri sendiri, artinya jika tidak bersesuaian dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, maka wajib ditinggalkan.

Kita diperintahkan untuk mentaati ulama. Namun kalau ada perselisihan kembali pada Allah dan Rasul-Nya sebagaimana dalam ayat,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 59)

Wallahu waliyyut taufiq.


Referensi:
Ma’alim Ushul Al-Fiqh ‘inda Ahli As-Sunnah wa Al-Jama’ah. Cetakan kesembilan, tahun 1431 H. Muhammad bin Husain bin Hasan Al-Jizaniy. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

Majmu’ah Al-Fatawa. Cetakan keempat, tahun 1432 H. Ahmad bin Taimiyyah Al-Harrani. Penerbit Darul Wafa’.

Ust Manatahan

Pembina & Penasehat Yayasan Assya'rauniyah. Pondok Leungsir, Penasehat DKM Nurul Anwar Talaga Caringin, Penceramah dan Pemimpin Redaksi sukabumiNews.net

Anda boleh beropini dengan mengomantari Artikel di atas

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال