JAKARTA, SUKABUMINEWS.net – Bencana gempa bumi
berkekuatan 7,7 SR memicu tsunami terjadi di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah
menyebabkan banyak sekali korban jiwa. Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) mencatat ada 832 korban jiwa per Minggu (30/9).
Di sisi yang lain, bencana alam tersebut juga
sekaligus menguak kemampuan Indonesia soal mengurangi dampak bencana
(mitigasi). Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwonugroho
menyebut Indonesia tidak lagi memiliki buoy untuk mendeteksi tsunami sejak 2012
silam.
Buoy adalah pelampung berisi perangkat elektronik
yang diletakkan di tengah laut untuk mendeteksi gelombang pasang dan tsunami.
Buoy ini merupakan salah satu opsi teknologi pendeteksi dini tercepat atas
peluang terjadinya tsunami di wilayah Indonesia. Sebab, Indonesia berada di
wilayah Cincin Api, yakni zona yang rentan gempa serta kegiatan vulkanik dan dikelilingi
oleh lautan.
Apa yang disampaikan Sutopo dibenarkan oleh Kepala
Pusat Gempa dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Rahmat
Triyono. Dia mengatakan pihaknya memang sudah lama tidak mendapat data yang
dihasilkan dari buoy.
“Ya, ya, memang tidak ada lagi, dan sudah tidak
men-support data ke BMKG,” kata Rahmat seperti dikutip CNNIndonesia.com,
melalui sambungan telepon, Minggu (30/9).
Menurut Rahmat, buoy masuk ke dalam Sistem
Peringatan Dini Tsunami Indonesia dirancang sejak tsunami Aceh 2004 silam. Buoy
dipasang di beberapa titik di laut lepas, mulai Samudra Hindia sampai Sumatera,
Laut Selatan Pulau Jawa dan seterusnya.
Hanya saja, tidak ada yang mengawasi buoy itu.
Rahmat mengatakan banyak buoy yang justru raib.
Rahmat menyatakan, BMKG masih bisa melakukan fungsi
peringatan dini tanpa buoy, karena sistem yang mereka miliki berdasarkan
permodelan tsunami. Akan tetapi, menurutnya, data dari buoy tetap lebih akurat.
Anggota Komisi VIII DPR Fraksi PDI Perjuangan
Budiman Sudjatmiko mengaku tidak tahu seluruh buoy sudah tidak beroperasi sejak
enam tahun lalu. Karenanya, dia mengatakan bakal meminta pemerintah khususnya
lembaga-lembaga terkait agar kembali meletakkan buoy di perairan Indonesia.
“Saya akan perjuangkan itu agar ada proses reparasi
dan lain-lain karena kita berada di Ring of Fire ya. Bukan cuma tsunami saja,
tapi gempa juga,” ucap Budiman saat dihubungi, Minggu (30/9) malam.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Fraksi Gerindra Sodik
Mudjahid mengatakan hal serupa. Dia mengklaim DPR baru mengetahui saat ini
sudah tidak ada lagi buoy yang beroperasi.
Sodik mengatakan dirinya hanya mengetahui kondisi
sistem itu secara umum. Menurutnya, memang banyak peralatan mitigasi yang
rusak. Namun, itu pun yang berada di daratan. Perihal peralatan yang diletakkan
di perairan, dia mengklaim tidak mengetahui kondisinya.
“Soal yang ini, DPR baru tahu. Ya ironis juga karena
kita negara kepulauan,” ungkap Sodik seperti dilansir CNNIndonesia.com.
Sodik menduga peralatan mitigasi yang bermanfaat
untuk siaga bencana menjadi terabaikan karena alokasi anggaran yang kurang
berimbang. Menurutnya, selama ini BNPB cenderung memprioritaskan anggaran untuk
dialokasikan ke aspek tanggap darurat atau yang digunakan setelah bencana
terjadi.
“Peningkatan ada tapi kurang signifikan untuk
mitigasi. Urutannya satu untuk tanggap darurat, kedua untuk rehabilitasi,
ketiga untuk kesiapsiagaan,” kata Sodik.
Sodik mengklaim selama ini DPR sering meminta kepada
pemerintah dan BNPB agar mengoptimalkan kemajuan teknologi dalam hal
kesiapsiagaan terhadap bencana alam. Dia mengatakan DPR kerap mengingatkan
bahwa aspek siaga bencana juga tidak kalah penting dibanding tanggap darurat
setelah bencana terjadi.
“Semoga kasus di Lombok dan Palu ini meyakinkan
pemerintah, bahwa bencana semakin unpredictable,” tutur Sodik.
Anggaran dan Kontribusi Perusahaan
Sodik menilai akibat dari gempa dan tsunami yang
terjadi di Palu sudah harus membuat pemerintah membuka mata. Pemerintah dan
BNPB mesti mengalokasikan anggaran yang besar untuk memantau potensi bencana.
“Dengan fakta-fakta semacam ini, DPR akan mendesak
lagi. Termasuk perubahan anggaran-anggarannya,” ujar Sodik.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh, kata Sodik,
yakni dengan merevisi peta kerawanan bencana. Pendidikan dan pelatihan siaga
bencana juga harus lebih intensif dilaksanakan.
Menurutnya, pemerintah dan BNPB mesti lebih sering
menanamkan budaya siaga bencana kepada masyarakat. Selain itu, yang terpenting,
penggunaan peralatan modern untuk mendeteksi potensi bencana alam juga harus
diperbanyak.
Sodik lalu menyinggung sikap masyarakat Indonesia
yang tergolong sering memberikan bantuan jika terjadi bencana alam di suatu
daerah. Menurutnya, pemerintah harus pula mencoba mengajak masyarakat atau
perusahaan-perusahaan memberi sumbangan untuk kepentingan mitigasi.
“Jadi nanti pemerintah, dengan regulasi, imbauan dan
aturan, mendorong kepada dunia usaha, jangan hanya fokus ke tanggap darurat,”
ujar Sodik.
Sodik yakin perusahaan-perusahaan BUMN akan
menyambut positif jika pemerintah menjalankan usulnya. Bahkan, Sodik juga
optimis perusahaan swasta juga tertarik untuk turut berkontribusi.
“Pemerintah harus membangun kesadaran kepada
perusahaan, agar sebagian keuntungan untuk membangun pembangunan desa siaga
bencana, relawan, IPTEK, dan lain-lain,” kata Sodik.
[CNNIndonesia]