[Pelemahan Rupiah terhadap USD
Rupiah. (Foto:
Ilustrasi/NusantaraNews)] |
sukabumiNews.net, JAKARTA – Aliansi Lembaga Analisis
Kebijakan Anggaran (Alaska) menuturkan banyak orang mengatakan jika rupiah
melemah dan dollar naik artinya Indonesia tamat. Bisa jadi benar, bisa juga
salah.
“Salah satu faktor penguat dollar di valuta asing
adalah imbas dari devaluasi mata uang Cina, Yuan. Akibat dari devaluasi ini,
nilai Yuan jadi menurun di pasaran global,” kata lembaga ini melalui keterangan
tertulis, seperti diberitakan Nusantaranews.co, Sabtu (30/6/2018).
“Turunnya Yuan tersebut mau tidak mau membuat Cina
harus bekerja ekstra untuk mengimbangi peningkatan ekspansi pasar globalnya ke
seluruh dunia, salah satunya adalah Indonesia,” tambahnya.
Sebagai negara yang memiliki populasi tinggi,
Indonesia merupakan pasar yang menjanjikan bagi Cina sehingga ekspansi pasar
Cina ini akan menutup pasar lokal Indonesia karena Cina akan mengisi Indonesia
oleh produk mereka yang murah dan melimpah ruah.
“Oleh karena itu, sebagai tuan rumah di saat ekonomi
melemah karena lemahnya rupiah terhadap dollar, pemerintah Indonesia harus
meningkatkan ekspor perekonomian industri lokal dan ekonomi kreatif,” katanya.
Alaska yang terdiri dari Lembaga Kaki Publik
(Lembaga Kebijakan Anggaran dan Informasi Publik) bersama Lembaga CBA (Lembaga
Center for Budget Analysist) menilai, dengan meningkatkan ekspor produk
industri lokal dan pengembangan industri kreatif di saat dollar menguat,
ekonomi Indonesia akan menguat dan masyarakat akan merasakan keuntungan
tersebut secara langsung. Peningkatan produksi industri lokal dan industri
kreatif Indonesia akan memperkenalkan produk-produk yang siap untuk dipasarkan
di pasar global sebagai penyeimbang gencarnya produk-produk Cina yang masuk ke
Indonesia.
Selain itu, melemahnya rupiah di Indonesia akan
lebih mengkhawatirkan pasar lokal Indonesia yang membutuhkan bahan dasar
produksi industri dari hasil impor. Dengan gencarnya ekspansi pasar Cina, dan
di tengah ketidakpastian dolar atas Yuan, melemahnya rupiah di dalam negeri
Indonesia mengakibatkan tingginya harga di sektor pasar import seperti pasar
pangan, ponsel, gadget, dan lain-lain sehingga harga pasar bergejolak tidak
terkontrol. Selain itu, industri-industri di Indonesia yang membutuhkan bahan
baku impor menjadi lemah, karena biaya produksi meningkat.
“Akan beda cerita apabila Indonesia memperkuat nilai
ekonomi melalui sektor ekspor barang jadi industri lokal dan ekonomi kreatif.
dengan eksport produk industri lokal dan industri kreatif, jelas Indonesia akan
mendapatkan keuntungan yang besar. Apabila kenaikan dolar beranjak di angka Rp
100,- dalam satu bulan misalnya, tapi dalam waktu sebulan tersebut angka
produksi bisa ditingkatkan, maka keuntungan sektor industri lokal dan industri
kreatif pun menjadi keuntungan yang besar,” jelasnya.
Tapi kenyataanya, Alaska menilai Indonesia masih
dalam angka yang rendah dalam kegiatan ekspor produk industri lokal dan
industri kreatif. Sehingga, melemahnya rupiah tidak bisa meningkatkan ekonomi
di Indonesia, tetapi lebih cenderung mengkhawatirkan, karena melemahnya rupiah
akan di ikuti dengan melemahnya produksi industri yang membutuhkan bahan baku
impor, sehingga industri-industri tersebut terancam gulung tikar.
“Di sisi lain, anggapan bahwa lemahnya rupiah
menguntungkan bagi ekonomi dalam negeri dan industri lokal berjaya di negeri
sendiri ini harusnya sudah mulai dirubah. Karena anggapan itu kami nilai
sebagai penyesatan berfikir,” paparnya.
Kata Alaska, kesesatan berfikir ini menunjukkan
bahwa pemerintah tidak mampu meningkatkan pasar industri lokal dan industri
kreatif di Indonesia, sehingga pemerintah seperti membiarkan dollar naik.
Kemudian pasar di Indonesia dipenuhi oleh produk-produk impor dan menenggelamkan
pasar lokal Indonesia di kancah dunia. Sehingga hasil industri lokal tidak
diberikan kesempatan untuk muncul dan siap bersaing di kancah internasional.
Anggapan melemahnya rupiah sebagai kejayaan industri
lokal di negeri sendiri ini cenderung menjadikan industri-industri lokal
menjadi terlena serta meningkatkan tingkah laku konsumtif masyarakat terhadap
produk-produk impor. Sehingga industri lokal tidak mampu mengekspor hasil
produksinya ke negara-negara lain, karena dipaksa untuk bangga dengan hasil
penjualan di dalam negeri yang sebetulnya tidak begitu menguntungkan bila
disandingkan dengan maraknya ekspansi produk Cina di pasar lokal Indonesia.
“Oleh karena itu, pemerintah harus menekan angka
ekspor melalui industri lokal dan industri kreatif dengan meningkatkan hasil
produksi yang siap bersaing, sehingga produksi ekspor barang Indonesia tidak
lagi tertumpu pada ekspor bahan mentah yang nilainya lebih murah dibandingkan
barang jadi dan siap pakai,” katanya. (Red*)