[Oleh: Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati
Bangsa]
sukabumiNews.net, PARTAI umat itu PKS, PAN, PPP dan
PKB. Belakangan PBB masuk. Gerindra? Nasionalis sekuler. Hanya saja, punya
hubungan dekat dengan PKS. Sama-sama konsisten sebagai oposisi. Sekutu, begitu
istilah yang digunakan Prabowo.
Belakangan, PPP dan PKB nempel Jokowi. Setelah
sebelumnya dukung Ahok di Pilgub DKI 2017. Sejak itu, kedua partai ini dianggap
tidak memperjuangkan umat. Sebaliknya, berhadapan dengan kepentingan umat. Umat
yang mana? Yang anti Ahok.
Hanya PAN dan PKS yang mengambil posisi untuk
merepresentasikan umat. Umat yang ini tidak hanya anti Ahok, tapi umat
yang ingin ganti presiden. Yang anti Ahok, umumnya
juga anti Jokowi. Sebab, Jokowi-Ahok dianggap satu pengusung, pendukung dan
sama bohirnya.
PKS punya kursi 40, dan PAN 49 kursi. Jumlah 89
kursi. Kedua partai ini tak segera beri dukungan kepada Prabowo. Pasalnya?
Kabar santer, mereka tak yakin Prabowo menang. Indikatornya? Kalau yakin
menang, pasti PAN-PKS akan dukung tanpa syarat cawapres. Demi jaga soliditas,
PKS tetap dukung Prabowo, meski kecil peluangnya untuk menang. Sama-sama kalah,
cawapresnya mesti dari PKS. Gunanya? Elektoral effect. Suara PKS naik untuk
memperbanyak jumlah kursi di DPR. PAN tak setuju. Rasionalkah alasan ini?
Satu sisi, tagar dan kampanye #2019GantiPresiden
lahir dan didengungkan oleh Mardani Ali Sera, kader PKS. Disisi lain tetap mau
usung calon yang tidak diyakini akan menang. Alasannya demi soliditas. Nah, apa
maksud PKS? Kalau benar PKS hanya mengutamakan soliditasnya dengan Gerindra,
dan semata-mata mengejar elektoral partainya, dengan mengabaikan unsur
kemenangan di pilpres 2019, maka sama halnya PKS tak sejalan dengan umat yang
ingin ganti presiden.
Jika kabar ini benar, maka PKS bersikap partai
oriented. Bukan umat oriented. Mengabaikan aspirasi umat yang selama ini
percaya PKS-PAN dan Gerindra sebagai gerbong ganti presiden.
Jika yakin Prabowo menang, kenapa PKS-PAN tidak
dukung dari awal. Tanpa syarat cawapres. Maksimalkan kerja politik dengan
pertama, ajak gabung partai yang lain. Kedua, optimalkan peran dan jaringan
umat. Sebaliknya, jika tak yakin Prabowo akan menang, mengapa PKS-PAN tidak
minta Prabowo mundur legowo. Simple.
Dikenal sebagai negarawan, Prabowo bisa terima dan
legowo. Dengan catatan, ada data akurat dan analisis yang meyakinkan.
Elektabilitas Prabowo tak bisa diupgrade, misalnya ini jadi alasan. Akan jauh
lebih realistis dari pada sikap saling mengunci. Jangan sampai majunya Prabowo
dan Ahmad Heryawan semata-mata alasan elektoral effect partainya masing-masing.
Jika benar begitu, mereka tak punya mental sebagai pemenang.
Jika digabung, suara PKS dan PAN sebenarnya lebih besar
jumlahnya yaitu 89 kursi dibanding Gerindra, 73 kursi. Tapi, nampaknya PkS-PAN
kalah senior, sehingga ada rasa segan sama Prabowo? politik kok rasa segan.
Sementara, Prabowo tidak akan pilih cawapres dari
kader PKS, karena Gerindra, dengan hasil survei dan kalkulasinya, yakin betul
tak akan menang jika cawapres dari PKS. Prabowo-Ahmad Heryawan 10,2%. Masuk
akal juga alasan Gerindra. Akhirnya, bertepuk sebelah tangan. Atas sikap ini,
sebagian kader PKS menganggap Prabowo tidak konsisten. Lah kok?
Kabarnya ada perjanjian: 2019 capres Gerindra,
cawapres PKS. Kok sekarang gak mau terima cawapres dari kader PKS. Mau komitmen
sama MoU, atau mau menang? Sepertinya perlu istikharah. Biar lebih kelihatan
partai Islamnya.
Gerindra dan PKS buntu. Tak mudah terurai, mengingat
keduanya sama-sama kekeuh. Lalu, posisi umat dimana? Diajak bicara? Disertakan
dalam menentukan keputusan capres-cawapres?
Koalisi PKS-Gerindra terancam bubar. Jika iya,
apakah lalu abstain di pilpres 2019? Kabar sudah mulai terdengar. Putus asa?
Ngambek? Jika itu pilihannya, maka umat selama ini salah menitipkan suara.
Merasa tertipu dengan sikap partai yang belum matang jadi oposisi. Belum siap
untuk menang. Mereka pikir partai ini mikirin umat. Ternyata? Yang satu kekeuh
ingin capres. Yang satunya lagi tetep ingin cawapres. Sama-sama ngototnya.
Emang umat didenger? Ke-GR-an.
PKS-PAN sebenarnya punya alternatif. Ada solusi.
Gabungan PKS-PAN bisa cari capres alternatif . Gandeng Demokrat, maka syarat
kursinya cukup Demokrat punya 61. Ditambah PAN-PKS 89 kursi. Total 150 kursi.
Lebih dari cukup. Kenapa tidak berani ambil langkah alternatif?
Gerindra? Bisa diajak gabung tanpa syarat capres.
Total kursi 223. Hampir 50%. Apalagi kalau calon yang diusung diyakini menang.
Bisa menggoda partai koalisi istana. Tak ada yang mustahil dalam negosiasi.
Seni berpolitik adalah negosiasi yang paling realistis. Realistis itu fokus
pada kemenangan. Bukan pada ego elektoral effect partai. Bukan mau
memperpanjang nasib sebagai oposisi.
Memang, bersama lebih baik. Itu prinsip dalam
koalisi. Jika tidak bisa? Mesti ada keberanian mengambil langkah alternatif,
tapi cerdas, cermat dan efektif. Itu baru berpolitik yang berkarakter dan
matang. Nyapres kok untuk jadi oposisi? Gak rasional. Gak realistis. Dan tidak menarik.
Kalah sebelum bertanding. Melempem. Penonton kecewa.