[Oleh: Yusril Ihza Mahendra] |
Sengaja saya menuliskan artikel ini sehari setelah
Pemerintahan Jokowi merayakan Hari Lahirnya Pancasila 1 Juni 2017. Alasannya,
saya tidak ingin menambah materi perdebatan di tengah publik yang memang sedang
riuh di tengah terjadinya degradasi makna Pancasila dalam tataran implementasi,
namun sangat subur dan surplus dalam tataran kata-kata serta simbol-simbol yang
sesungguhnya tak berguna sama sekali karena justru mendegradasi Pancasila itu
sendiri.
Perdebatan tentang mengapa Hari Lahir Pancasila
ditetapkan 1 Juni pun belum usai, meski Presiden Jokowi telah menetapkanya
lewat sebuah keputusan, bahkan menetapkan 1 Juni sebagai hari libur Nasional.
Maka Pancasila semakin kehilangan makna karena jejaknya pun mulai dihapus dan
diganti di tengah perjalanan sejarah bangsa.
Memang bila kita telusuri sejarah dengan hati yang
jernih, tentu akan menjadi pertanyaan yang tidak akan terjawab secara tuntas,
mengapa Pemerintahan Jokowi memilih menetapkan 1 Juni sebagai Hari lahir
Pancasila. Belum lagi bicara pada rumusan Pancasila yang disampaikan oleh para
pendiri bangsa saat sidang BPUPKI tahun 1945 yang dimulai dari tanggal 29 Mei
hingga 1 Juni yang memang khusus merumuskan tentang bahan konstitusi dan
rencana cetak biru bangsa Indonesia.
Rumusan-rumusan yang disampaikan oleh para pendiri
bangsa seperti Moh Yamin, Soepomo, dan Soekarno hingga ke Piagam Jakarta dan
Rumusan Pancasila dalam UUD 1945 yang ditetapkan 18 Agustus 1945. Rumusan
Yamin, Soepomo dan Soekarno serta Piagam Jakarta adalah rumusan yang berbeda
dan tidak sama Pancasila yang sekarang kita jadikan ideologi dan falsafah
bangsa.
Rumusan yang dibacakan oleh Soekarno pada tanggal 1
Juni 1945 juga adalah rumusan yang tidak sama dengan Pancasila sekarang. Lantas
menjadi tepatkah 1 Juni disebut Hari lahir Pancasila dengan semua rumusan yang
tidak sama dengan Pancasila dalam UUD 1945 yang ditetapkan tanggal 18 Agustus
1945?
Semua boleh menjawab dengan menggunakan nalar
masing-masing, namun bagi saya 1 Juni tidaklah tepat disebut sebagai hari lahir
Pancasila dan tidak juga boleh dijustifikasi bahwa Pancasila sebagai produk
tunggal Soekarno. Namun Pancasila lebih tepat disebut lahir tanggal 18 Agustus
1945 seiring perumusan bersama oleh para pendiri bangsa.
Dalam sejarah perjalanan hidup Taufik Kiemas,
sewaktu masih menjabat sebagai Ketua MPR, beliau pernah mengajukan surat
permohonan kepada Presiden RI Ke 6 Susilo Bambang Yudhoyono untuk menetapkan 1
Juni sebagai hari lahir Pancasila. Namun karena SBY paham dan mengerti sejarah
perjalanan Pancasila, ditambah pengalaman SBY sewaktu masih menjabat
Menkopolhukam era pemerintahan Megawati, beliau tidak serta merta merestui dan
menyetujui permohonan tersebut. Meski hampir setiap tahun SBY semasa
pemerintahannya selalu memperingati 1 Juni sebagai tonggak awal lahirnya
Pancasila
Sejarah telah mencatat, ketika pada suatu perayaan
Hari Kesaktian Pancasila, dan upacara secara militer telah disiapkan dengan
rencana inspektur upacara Presiden, ternyata Megawati urung menjadi Irup dan
digantikan SBY yang saat itu menjabat sebagai Menkopolhukam. Pertanyaannya
mengapa Presiden urung menjadi Irup kala itu? Mari kita tanya kejujuran ibu
Mega.
Hal itu sangat mungkin bukan terjadi begitu saja.
Mungkin saja dan menjadi patut diduga bahwa Megawati tidak senang dengan
perayaan Kesaktian Pancasila 1 Oktober karena identik dengan titik awal
kejatuhan kekuasaan Soekarno sebagai Presiden pasca kudeta gagal oleh PKI.
Secara psikologis itu menjadi masuk akal sehingga sejarah harus diganti karena
perasan traumatik atau memang sama sekali tidak suka dengan 1 Oktober Hari
Kesaktian Pancasila.
Maka untuk menggantikan itu, diupayakanlah tanggal
lain yang menjadi lebih besar dan menutupi Peringatan Kesaktian Pancasila 1
Oktober dengan 1 Juni. Sah saja andai sejarah tidak menjadi kehilangan jejak
karena bangsa ini tidak akan pernah menjadi bangsa besar jika sejarahnya tidak
lurus.
Kembali kepada peringatan hari lahir Pancasila yang
kemarin 1 Juni 2017 diperingati secara besar-besaran oleh penerintah ini. Ada
yang mengganggu dari slogan petingatan kemarin yaitu kalimat SAYA PANCASILA.
Hal ini bagi saya adalah mendegradasi makna Pancasila itu sendiri karena kita
sebagai warga negara mensejajarkan diri dengan Pancasila.
Dengan menyebut SAYA PANCASILA artinya perbuatan
yang belum tentu sesuai dengan Pancasila menjadi dianggap pancasilais.
Contohnya, pencabutan subsidi terhadap rakyat itu tidaklah Pancasilais karena
subsidi itu adalah bentuk kecil dari upaya negara mewujudkan keadilan sosial.
Pemungutan pajak secara ugal-ugalan itu juga
tidaklah Pancasilais. Penggusuran rakyat miskin itu juga tidak Pancasilais.
Lantas di mana persamaan perilaku pemerintah ini dengan Pancasila hingga berani
menyebut dirinya dengan kalimat Saya Pancasila?
Pancasila 18 Agustus 1945 itu adalah kompromi dari
kelompok Nasionalis dengan kelompok Agamis terutama kelompok Islam. Pancasila
itu lahir dari kesepakatan bersama antara paham Nasionalis dengan paham Agamis
Islam.
Tapi saat ini seolah Pancasila hanya menjadi milik
kaum yang merasa dirinya Nasionalis. Bahkan Pancasila digunakan sebagai alat
pembenaran untuk menggebuk, dan yang digebuk justru dari kalangan agamis yang
dulunya adalah bagian dari kompromi lahirnya Pancasila.
Era Soeharto, Pancasila digunakan sebagai pembenaran
menggebuk yang berbau Komunis.
Sekarang di era Jokowi, Pancasila lebih banyak
dibenturkan dan dihadap-hadapkan dengan kaum Agamis Islam. Ini tidak sehat dan
tidak baik. Yang merasa dirinya nasionalis tidak boleh merasa bahwa dirinyalah
Pancasila.
Pancasila semakin terdegradasi jauh. Bagi rejim ini,
yang tidak sepaham dengan dirinya dianggap tidak Pancasilais, dianggap tidak
toleran, dianggap tidak berbhineka. Ini perusakan nilai ruh Pancasila yang
sesungguhnya.
Presiden harus melakukan upaya-upaya yang benar dan
tepat dalam menangani masalah ini sebelum menjadi membesar. Presiden harus
mengerti dan memahami sejarah supaya tidak mudah diatur kelompok lain untuk
menciptakan sejarah baru terkait sejarah Pancasila seperti penetapan 1 Juni itu
sebagai Hari Lahir Pancadila dan sebagai hari libur.
Pancasila itu bukan Soekarno, Pancasila bukan
golongan tertentu saja, tapi Pancasila itu adalah hasil kompromi besar para
pendiri bangsa yang harus dijaga kelurusan sejarahnya, dikawal penerapannya
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta diamalkan nilai -nilainya dalam
menyelenggarakan negara.
Berhentilah siapapun yang ingin menciptakan sejarah
dengan memodifikasi sejarah bangsa, terutama sejarah Pancasila agar Pancasila
tidak kehilangan jejak dan tidak terdegradasi makanya jadi sebatas
simbol-simbol semata. [mc]