sukabumiNews.net, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR Fadli
Zon menilai Presiden Joko Widodo telah melakukan pemborosan anggaran negara dan
inkonsisten melakukan reformasi birokrasi.
Hal itu menanggapi terbitnya Perpres Nomor 42/2018
tentang gaji para pejabat Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP).
Menurutnya, Jokowi mengabaikan kondisi perekonomain
negara yang saat ini yang terbilang memprihatinkan.
"Perpres itu menunjukkan betapa borosnya pihak
Istana dalam mengelola anggaran, sekaligus membuktikan inkonsistensi mereka
terhadap agenda reformasi birokrasi yang selama ini selalu
didengung-dengungkan," ujar Fadli dalam pesan tertulis, seperti dikutip
sukabumiNews dari CNN Indonesia, Senin (28/5).
Fadli menuturkan lembaga non-struktural seperti BPIP
tidak sepantasnya diberi standar gaji mirip BUMN, yang melebihi standar gaji di
lembaga-lembaga tinggi kenegaraan.
Berdasarkan analisa, Fadli menemukan empat 'cacat'
serius dalam Perpres yang diteken Jokowi pada 23 Mei lalu. Pertama, Fadli
menilai struktur gaji pejabat BPIP terbilang aneh. Sebab ia menilai gaji Ketua
Dewan Pengarah BPIP Megawati Soekarnoputri lebih besar dari pada pejabat yang
lain.
Padahal, dari sisi logika manajemen baik di lembaga
pemerintah atau swasta, gaji direksi atau eksekutif selalu lebih besar daripada
gaji komisaris, meskipun komisaris adalah wakil pemegang saham.
Dewan pengarah BPIP, kata dia, seharusnya lebih
berupa anggota kehormatan, atau orang-orang yang dipinjam wibawanya saja. Dewan
pengarah dianggap tak punya fungsi eksekutif sama sekali.
Dengan status itu, Fadli merasa aneh jika Megawati
digaji lebih besar daripada anak buahnya. Lebih aneh lagi, kata Fadli, jika
seluruh unsur di BPIP tidak menolak struktur gaji itu.
"Beban kerja terbesar memang adanya di direksi
atau eksekutif. Nah, struktur gaji di BPIP ini menurut saya aneh. Bagaimana
bisa gaji ketua dewan pengarahnya lebih besar dari gaji kepala badannya
sendiri? Dari mana modelnya?!," ujarnya.
Berdasarkan Perpres Nomor 42/2018 yang
ditandatangani Jokowi, Ketua Dewan Pengarah mendapat hak keuangan sebesar
Rp112.548.000. Sementara Anggota Dewan Pengarah mendapat hak keuangan sebesar
Rp100.811.000.
Kedua, Fadli mengatakan BIPP bukan BUMN yang
dituntut untuk menghasilkan keuntungan. Sehingga dari sisi etis, BPIP tidal
layak diberi gaji lebih tinggi dari presiden dan wakil presiden yang memiliki
tanggungjawab lebih besar.
"Lembaga ini bukan BUMN atau bank sentral yang
bisa menghasilkan laba, sehingga gaji pengurusnya pantas dipatok ratusan juta.
Ini adalah lembaga non-struktural, kerjanya ad hoc, tapi kenapa kok standar
gajinya bisa setinggi langit begitu?," ujar Fadli.
Ketiga, Wakil Ketua Umum Gerindra ini menilai Jokowi
tidak konsisten dalam merealisasikan janjinya untuk melakukan efisiensi
anggaran dan reformasi birokrasi. Hal itu terbukti dari lahirnya 9 lembaga non
struktural baru yang menyita banyak anggaran negara seperti BPIP, Kantor Staf
Kepresidenan (KSP), hingga Komite Ekonomi Industri Nasional (KEIN).
"Dan keempat, dari sisi tata kelembagaan.
Kecenderungan Presiden untuk membuat lembaga baru setingkat kementerian
seharusnya distop, karena bisa overlap dan menimbulkan bentrokan dengan
lembaga-lembaga yang telah ada," ujarnya.
Atas hal itu, Fadli meminta Jokowi mengevalusi
kembali Perpres tersebut. Ia khawatir kebijakan Jokowi menimbulkan skeptisisme
dan sinisme publik. Hal itu dianggap kontra produktif terhadap misi pembinaan
ideologi dan Pancasila itu sendiri.
"Tak ada ruginya Perpres itu dicabut atau
direvisi kembali. Perpres itu sudah melukai perasaan masyarakat yang kini
sedang dihimpit kesulitan," ujar Fadli.