[Fhoto: Wakil Ketua DPR Fadli Zon dalam acara Seminar 68 tahun Mosi Integral NKRI Mohamad Natsir di Aula Museum Naskah Proklamasi, Jakarta, Selasa (10/04/2018).] |
sukabumiNews.net, JAKARTA - Di tengah tren integrasi
ekonomi dan kawasan, pemerintah seharusnya memberi perlindungan terhadap
kepentingan tenaga kerja lokal dari gempuran tenaga kerja asing, bukan malah
sebaliknya.
Demikian kritik Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon atas
relaksasi aturan tenaga kerja asing (TKA) yang dilakukan oleh pemerintah.
Menurutnya, Perpres No 20/2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing tak
berpihak pada kepentingan tenaga kerja lokal.
“Kebijakan ini menurut saya salah arah. Waktu
kampanye dulu Pak Joko Widodo berjanji menciptakan 10 juta lapangan kerja bagi
anak-anak bangsa. Namun, tiga tahun berkuasa pemerintah malah terus-menerus melakukan
relaksasi aturan ketenagakerjaan bagi orang asing,” ujar Wakil Ketua Umum DPP
Partai Gerindra itu dalam pernyataannya di Jakarta, Kamis (19/04/2018).
Ia mengatakan, melalui integrasi ekonomi ASEAN,
serta berbagai ratifikasi kerja sama internasional lainnya, tanpa ada
pelonggaran aturan sekalipun sebenarnya arus tenaga kerja asing sudah merupakan
sebuah keniscayaan.
“Nah, pada situasi itu yang sebenarnya kita butuhkan
justru adalah bagaimana melindungi tenaga kerja kita sendiri,” ungkapnya.
“Kita selama ini sudah ugal-ugalan dalam membuka
pasar domestik kita bagi produk-produk luar, jangan kini pasar tenaga kerja
kita juga dibuka untuk orang asing tanpa ada perlindungan berarti,” lanjutnya.
Apalagi, dibandingkan negara ASEAN lain, Indonesia
saat ini menurutnya memang paling tidak protektif terhadap kepentingan
nasional.
Dalam bidang perdagangan, misalnya, menurut data
INDEF tahun 2017 yang dikutipnya, Indonesia hanya memiliki hambatan nontarif
sebanyak 272 poin. Padahal, Malaysia dan Thailand saja, masing-masing punya
hambatan nontarif sebanyak 313 poin dan 990 poin.
“Kecilnya jumlah hambatan nontarif di Indonesia
menunjukkan buruknya komitmen kita dalam melindungi industri dan pasar dalam
negeri. Pemerintah seharusnya serius melindungi pasar dan industri dalam
negeri, karena itu mewakili kepentingan nasional kita.
Celakanya, sesudah pasar kita diberikan secara murah
kepada orang lain, kini bursa kerja di tanah air juga hendak diobral kepada
orang asing. Bahaya sekali keputusan pemerintah ini,” ungkapnya.
Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan dan
Transmigrasi (Kemnakertrans), kutipnya, per Maret 2018 ada sekitar 126 ribu
tenaga kerja asing yang ada di Indonesia.
Bayangkan, angka ini melonjak 69,85 persen
dibandingkan angka jumlah tenaga kerja asing pada Desember 2016, yang masih
74.813 orang. “Sebelum ada Perpres No. 20/2018 saja lonjakannya sudah besar,
apalagi sesudah ada Perpres ini,” ungkapnya.
Masalahnya, kata Fadli, itu baru data tenaga kerja
legal. “Kita tak tahu data tenaga kerja ilegal yang masuk ke Indonesia.”
Yang jelas, lanjutnya, sepanjang tahun 2017,
sama-sama disimak kasusnya ada ribuan. “Saya yakin jumlah riilnya jauh lebih
besar ketimbang yang terungkap di media.”
Di Sulawesi Tenggara, misalnya, sebut Fadli, di
sebuah perusahaan nikel tahun lalu ditemukan, dari 742 tenaga kerja asing asal
China yang bekerja di sana, 210 di antaranya tenaga kerja ilegal.
Artinya, terangnya, hampir 30 persennya tenaga kerja
ilegal. “Menurut data resmi, tenaga kerja asing legal dan ilegal mayoritas
memang berasal dari Cina.”
Fadli pun menyebut terbitnya Perpres No 20/2018 ini
berbahaya karena sebelum adanya beleid baru ini saja, bangsa ini sudah
kewalahan mengawasi tenaga kerja asing yang masuk, apalagi sesudah kerannya
kini dibuka lebar-lebar.
“Sebagai catatan, saat ini jumlah pengawas kita
hanya 2.294 orang. Bayangkan, mereka harus mengawasi sekitar 216.547 perusahaan
dan ratusan ribu tenaga kerja asing. Mana bisa?!”
Dengan angka itu, seorang petugas harus mengawasi
sekitar 94 perusahaan legal. Menurutnya itu tidak mungkin dilakukan. Apalagi
mereka harus bisa mengawasi tenaga kerja asing juga.
Artikel ini telah tayang sebelumnya di hidayatullah.com (*)