Jokowi
mestinya mengetahui pasal-pasal kontroversial dalam UU MD3 sejak proses
pembahasan.
sukabumiNews.net, JAKARTA - Pernyataan Menteri Hukum
dan HAM Yasonna H. Laoly tentang sikap Presiden Jokowi yang berpotensi tidak
ingin menandatangani pengesahan revisi Undang-Undang No.17/2014 tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) menuai kritik.
Sikap Jokowi dinilai sebagai pencitraan semata
lantaran proses pembahasan hingga pengesahan revisi UU MD3 tidak saja
melibatkan DPR tapi juga pemerintah.
“Kita tetap bisa mengkritik keras pemerintah yang
terkesan lamban dan tak tegas bersikap terkait isu-isu krusial [dalam] UU MD3
selama proses pembahasan,” kata peneliti senior Forum Masyarakat Peduli
Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus dalam pesan tertulis seperti dikutip
sukabumiNews dari situs Tirto.id, Kamis (22/2/2018).
Lucius mengatakan proses revisi UU MD3 telah menjadi
polemik di masyarakat. Mestinya Presiden Jokowi lekas merespons polemik itu sebelum
keputusan pengesahan diambil. “Setelah publik ramai-ramai menolak, keinginan
Presiden ini baru dikatakan [keberatan],” ujarnya.
Keberatan presiden, sebagaimana disampaikan Yasonna,
tidak akan berpengaruh terhadap pemberlakuan UU MD3. Sebab, UU MD3 tetap akan
berlaku dengan atau tanpa tanda tangan Presiden Jokowi.
Lucius menilai DPR maupun pemerintah tidak
transparan dalam proses pembahasan hingga pengesahan revisi UU MD3. Contohnya,
isu tentang revisi UU MD3 lebih banyak berkutat pada penambahan kursi pimpinan
DPR dan MPR. Sedangkan sejumlah pasal kontroversial di dalam undang-undang
tersebut baru diketahui publik sekira sepekan sebelum pengesahan.
“Publik yang terkejut tak mampu mengonsolidasikan
gerakan untuk menolak pengaturan baru di MD3. Ini yang saya katakan sebagai
strategi ‘licik’,” kata Lucius.
Pasal-pasal kontroversial itu misalnya Pasal 245
yang mengatur diperlukannya izin Presiden dan pertimbangan Mahkamah Kehormatan
Dewan (MKD) yang ingin memeriksa anggota DPR pelanggar hukum pidana.
Pasal 122 yang menyatakan kewenangan MKD mengambil
langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang, kelompok, atau badan hukum
yang merendahkan kehormatan parlemen.
Kemudian, Pasal 73 yang mengatur kewenangan DPR
memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga
masyarakat secara paksa melalui kepolisian.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR)
Ujang Komarudin mengatakan Yassona sebagai wakil pemerintah mungkin saja tidak
melapor ke Jokowi terkait pasal-pasal kontroversial selama pembahasan revisi UU
MD3. Hal ini menurutnya karena Yasonna sebagai kader PDI Perjuangan
berkepentingan mengamankan kursi pimpinan DPR dan MPR untuk partainya.
“Betul, untuk mengamankan kepentingan PDIP, posisi
tawar,” ujar Ujang.
Di sisi lain Ujang melihat pernyataan Yasonna juga
sebagai upaya melindungi citra Jokowi yang terkesan lepas tangan. “Harusnya
pemerintah gentle menolak pasal-pasal siluman ketika pembahasan. Bukan lepas
tangan lalu meminta masyarakat untuk melakukan judicial review ke MK,” ujar
Ujang.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly mengungkapkan
Presiden Jokowi terkejut dengan sejumlah pasal dalam revisi UU MD3 yang
disahkan DPR, Senin (12/2). Yasonna mengatakan Jokowi kemungkinan tidak akan
menandatangani undang-undang yang telah direvisi dan disahkan oleh DPR bersama
pemerintah itu.
"Jadi Presiden cukup kaget juga makanya saya
jelaskan, masih menganalisis, dari apa yang disampaikan belum menandatangani
dan kemungkinan tidak akan menandatangani (UU MD3)," kata Menteri Hukum
dan HAM Yasonna H Laoly di lingkungan Istana kepresidenan Jakarta, Selasa
(20/2) seperti diberitakan Antara.
Kalaupun presiden enggan tandatangan, Yasonna
mengatakan UU MD3 tetap sah. Hal ini karena menurut aturan bila RUU tidak
disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak RUU disetujui maka RUU
tersebut sah menjadi UU.
"UU tanpa ditandatangani kan sah sendiri, tapi
apa pun itu terserah Bapak Presiden. Saya tidak mau ada pikiran Bapak Presiden
seperti itu," ujar Yasonna.
Yasonna mengakui ia tidak memberi laporan berkala
kepada Jokowi seputar pasal-pasal kontroversial. Ia juga menjelaskan alasan
mengapa menyetujui pengesahan revisi UU MD3. "Tapi sudah saya jelaskan latar
belakangnya, ini dialognya panjang. Kalau saya tidak menerima ini mungkin tidak
akan ada pengesahan MD3 pada waktu itu jadi dinamika politiknya cepat. Saya
katakan OK sebatas Contempt of Parliament dalam mengerjakan tugasnya,"
ungkap Yasonna.
Yasonna mengatakan presiden tidak mengetahui isi
perubahan UU MD3 tersebut. "Beliau tidak aware sama sekali dan tidak saya
laporkan sama sekali. Waktu itu perdebatan sangat kencang karena ada keinginan
pelantikan (pimpinan DPR) pada masa sidang yang lalu, ada keinginan itu makanya
kita putuskan segera dengan pikiran saya akan sampaikan
argumentasi," kata Yasonna.
Ia mengatakan ada banyak konsep di UU MD3 yang tidak
disetujui pemerintah. "Jadi yang tidak kita setujui dari draft itu sungguh
sangat banyak, tapi itulah pembahasan kita," ujar Yasonna. (*)
Suber: Tirto.id