MUI mengkritik tindakan GP Ansor Bangil dan sejumlah
organisasi sayap NU lain yang menolak kedatangan Felix Siauw di Masjid Manarul
Gempeng, Bangil.
sukabumiNews - Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan mengkritik tindakan Gerakan Pemuda (GP) Ansor
Bangil dan sejumlah organisasi sayap Nahdlatul Ulama (NU) lain yang menolak
kedatangan Felix Siauw di Masjid Manarul Gempeng, Bangil, Pasuruan, Jawa Timur,
Sabtu (4/11) kemarin. Felix Siauw rencananya akan menjadi pemateri dalam sebuah
forum diskusi.
Penolakan ini, menurut Amirsyah, terlalu terburu-buru.
Penolakan tidak bisa dilakukan hanya berdasarkan prasangka bahwa Felix Siauw
akan mempromosikan gagasan khilafah sebagaimana yang kerap dilakukannya ketika
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) masih ada (baca: berbadan hukum).
"Kalau dia belum terbukti apakah akan menyampaikan
ceramah sebagaimana HTI, sebaiknya pihak-pihak ini menahan diri dulu,"
kata Amirsyah saat dihubungi Tirto, Minggu (5/11/2017).
Kendati demikian, ia mafhum bahwa apa yang dilakukan cabang
GP Ansor tersebut merupakan upaya preventif untuk mencegah tumbuhnya
radikalisme di komunitas muslim Indonesia. Terlebih, secara hukum HTI telah
dianggap ilegal dan dilarang di Indonesia. Namun, jika tidak berhati-hati,
tindakan pembubaran semacam itu akan memicu tindakan persekusi di berbagai
daerah di Indonesia.
"Kalau itu bersifat anjuran khilafah, tidak perlu.
Apalagi sampai kepada upaya mengubah [pancasila]. Apalagi HTI juga kan sudah
dibubarkan," ujarnya.
Pendapat hampir serupa juga diungkapkan oleh Galesh, aktivis
dari kelompok yang memperjuangkan kebebasan berekspresi dan mengeluarkan
pendapat, Gema Demokrasi (Gedor). Kepada Tirto, ia mengungkapkan bahwa
pembubaran yang dilakukan oleh GP Ansor berlebihan dan telah merenggut hak-hak
dasar warga untuk dapat berkumpul, berserikat dan mengungkapkan pendapat.
Seharusnya, tidak perlu ada pembubaran selama tidak ada
ujaran kebencian serta hasutan untuk melakukan tindak kekerasan dalam forum
tersebut. Jika pun ada, hal itu menjadi tanggung jawab kepolisian selaku
penjaga keamanan dan ketertiban nasional.
"Kalau cuma diskusi, itu bagian dari hak mereka,"
kata Galesh.
Masalahnya, kata dia, polisi sebagai penegak hukum kerap
lalai dalam menangani laporan yang ada di masyarakat. Ia mencontohkan,
misalnya, tidak adanya tindakan tegas kepolisian terhadap para pelaku utama
pembubaran dan penyerangan diskusi dan acara di LBH Jakarta beberapa waktu
lalu. "Padahal sudah vulgar sekali pengaduan dan kekerasannya," katanya.
Ketika dikonfirmasi, Sekretaris Jenderal GP Ansor Adung
Abdul Rachman menampik adanya upaya pelarangan yang dilakukan GP Ansor Bangil
terhadap acara Felix Siauw. Menurutnya, pihak Ansor sudah melakukan dialog
beberapa hari sebelum acara tersebut dihelat. Memang ada pelarangan, tapi itu
dilakukan oleh kepolisian.
"Yang melarang polisi. Itu kewenangan mereka,"
ujarnya.
Namun, ia membenarkan bahwa memang ada upaya sadar dan
terencana untuk membatasi segala aktivitas yang dapat merongrong pancasila.
Menurutnya, GP Ansor berkomitmen untuk menjaga Pancasila dan NKRI dari
paham-paham dan bentuk negara lain, tidak hanya khalifah, tapi juga komunisme.
Itu sebab mengapa penolakan ini telah terjadi beberapa kali. Selain Bangil,
penolakan GP Ansor terhadap Felix Siauw juga sempat muncul di Sragen dan
Semarang.
Dalam kronologi yang diterima Tirto, disebutkan bahwa atas
instruksi Pengurus Cabang NU Kabupaten Pasuruan, GP Ansor Bangil langsung
meminta ke polisi untuk berdiskusi dengan Felix Siauw begitu tahu bahwa
pentolan HTI ini akan mengisi diskusi. Karena tidak ada tanggapan, PCNU
akhirnya menyatakan keberatan kepada polisi.
Kamis (2/11) malam, GP Ansor dan Barisan Ansor Serbaguna
(Banser) sepakat untuk memperbolehkan Felix Siauw hadir, tapi dengan syarat
bersedia menandatangani surat pernyataan yang isinya mengakui pancasila, 4
pilar negara, dan tidak bicara soal khilafah. GP Ansor dan Banser pun akan
menjaga keamanan dan duduk bersama mendengar kajian Felix Siauw.
Namun, Felix Siauw menolak membubuhkan tanda tangannya.
"Akhirnya kepolisian mempersilakan Felix keluar dari
Masjid Manarul Gempeng dengan pengawalan kepolisian menuju ke rumah temannya di
daerah Sidogiri," tulis kronologi itu. "GP Ansor Bangil tidak
melarang kajian ilmiah asalkan si penceramah mengakui Pancasila sebagai dasar
negara Indonesia serta tidak koar-koar khilafah," demikian kalimat
terakhir kronologi itu.
Dalam akun Instagramnya, Felix Siauw mengatakan bahwa ia
sudah tahu bahwa kedatangannya ke Bangil ditolak sejumlah Ormas. Sehari sebelum
acara (3/11), ia mendapat kabar lanjutan bahwa semua persoalan sudah selesai.
Pertemuan tokoh agama, bupati, dan pejabat terkait memastikan bahwa acaranya
tetap diselenggarakan dengan jadwal yang juga tidak berubah.
Tapi ketika sudah sampai di lokasi, sudah ada ormas yang
berdemonstrasi. Sempat terjadi ketegangan. Pihak polisi kemudian memilih
memenangkan tuntutan demonstran: membatalkan acara.
Kapolres Pasuruan kemudian meminta Felix, yang sudah ada di
lokasi pukul 8 pagi, untuk keluar dengan alasan bahwa ia tidak mau
menandatangani surat pernyataan bermaterai. Menurut Felix, ia tidak tahu menahu
soal surat tersebut sebelum diperlihatkan, baik isinya, maupun siapa yang
membuatnya.
"Bagi saya ini jelas-jelas sebuah jebakan, dan juga
penghinaan. Sebab jika saya menandatangani, sama saja saya mengaku bahwa semua
yang dituduhkan pada saya benar adanya," katanya.
Sumber: tirto.id