“Faktor yang menyebabkan Tunjangan Profesi Guru
(TPG) atau ada juga yang menyebut Tunjangan Sertifikasi tidak cair bukan faktor
tunggal. Banyak faktor penyebabnya. Berikut penjelasan Kepala Bidang Pendidik
dan Tenaga Kependidikan (Kabid PTK) Dinas Pendidikan Kabupaten Sukabumi, DR.
Sudarajat, M.Pd. terkait hal itu seperti disampaikan kepada Rosad Furqon dari sukabumiNews.”
sukabumiNews,
SUKABUMI - Paling tidak ada tujuh penyebab TPG tidak cair
bagi seorang guru, nomor satu yang paling pokok adalah tidak diterbitkan SKTP
(Surat Keputusan Tunjangan Profesi) bagi guru yang bersangkutan. SKTP, kata
Kabid PTK, merupakan salah satu persyaratan pencairan TPG yang sangat
ditunggu-tunggu oleh para guru. Penerbitan SKTP berbasis Dapodik, tambahnya.
Faktor-faktor lainnya: bukan guru tetap,
kekurangan jam mengajar, guru pendidikan agama Islam, tidak memenuhi ketentuan
Sistem Informasi Manajemen (SIM) Tunjangan, nol dalam skor mata pelajaran
akibat pemberlakuan Kurikulum 2013, dan ketujuh tidak memenuhi salah satu atau
semua ketentuan rasio guru terhadap murid. Selain ketujuh faktor tersebut, ujar
Sudrajat, masih ada faktor-faktor lain yang menjadi penyebab tidak cairnya TPG.
Faktor nomor 2, lanjut dia, menjadikan guru
tersebut di Dapodik terceklis sebagai guru honor atau GTT (Guru Tidak Tetap),
sedangkan TPG dijatahkan untuk guru PNS dan guru bukan PNS yang memenuhi
persyaratan antara lain berstatus sebagai guru tetap. Adapun faktor nomor 4,
guru yang mengajar PAI tidak bernaung di
bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tunjangan profesinya ada di
Kementerian Agama.
Guru penerima TPG, kata Sudrajat, harus memenuhi
ketentuan jumlah jam mengajar dan keharusan mengampu mata pelajaran atau
menjadi guru kelas. Data tentang hal tersebut diinput oleh sekolah yang akan
disinkronkan dengan aplikasi SIM Tunjangan.
Berdasarkan ketentuan SIM Tunjangan: a) tidak melebihi 40 jam pelajaran, b) di
satminkal (satuan administrasi pangkal) tidak boleh kurang dari 6 jam pelajaran
tatap muka, c) yang liner satminkal kurang dari 6 jam pelajaran, d) kondisi
linieritas atau konversi kode mata pelajaran yakni kesesuaian antara kode
bidang sertifikasi dengan mata pelajaran yang diajarkan, contoh untuk ketentuan
d) di atas: kode
061 yang sudah ditiadakan di SD dikonversi menjadi 027 guru kelas dan 220
penjaskes, e) khusus SMP bila guru sebagai wakil kepala
sekolah yang diakui hanya rasio 1 : 9 untuk wakil kepala sekolah berbanding
jumlah rombel.
Akibat penerapan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ke K13 terjadi penghapusan mata pelajaran sehingga dalam Dapodik jumlah
jam mengajarnya menjadi nol. Contohnya: kode 217 seni budaya
di SD, menurut Kurikulum 2013 tidak diajarkan. Kode 217 tersebut hanya ada di KTSP. Guru dengan kode sertifikasi 217
seni budaya SD menjadi 0 jam di Dapodiknya sehingga SKTP tidak terbit.
Faktor terakhir yang harus diperhatikan terkait TPG adalah rasio
guru dan murid sesuai Surat Dirjen Guru
dan Tenaga Kependidikan (GTK) No. 36792/B.BI.I/GT/2016
tanggal 24 Nov 2016 Perihal Rasio Minimal Jumlah Peserta Didik Terhadap
Guru.
(a) Ketentuan Rasio sesuai pasal 17 ayat (1) perbandingan peserta
didik terhadap guru adalah 1 guru : jumlah
siswa di dalam
satu rombel. Data pembanding adalah guru dalam 1 rombel (bukan seluruh guru PNS
ataupun non-PNS dalam satu sekolah). Contohnya : Kelas I siswa 25 hanya boleh
ada guru 1 tidak boleh ada 2 guru dalam 1 rombel. Ketentuan ini tidak berlaku bagi team teaching seperti di TK atau kelas-kelas khusus.
(b) Satuan pendidikan yang tidak memenuhi rasio seperti pada poin
(a) dan tidak mempunyai rombel pararel,
tetap dibayar tunjangan profesinya. Contoh rombel pararel: Kelas I (A, B, C)
dan Kelas II (A, B, C). Jika tidak punya
rombel pararel, berapa pun siswa di
rombel tersebut jumlahnya, guru yang mengajar di rombel tersebut tetap dibayar
TPG-nya.
(c) Jika terdapat kelas pararel, maka tetap diberlakukan rasio
peserta didik dan guru sebagaimana poin (a). Contoh: Kelas IA
jumlah siswa 20, kelas IB jumlah siswa 19. Kelas IB tidak memenuhi rasio
peserta didik dan guru sehingga guru yang mengajar di IB tidak dapat dibayar
TPG-nya.
(d) Aturan poin (a), (b), dan (c) itu tidak berlaku bagi satuan
pendidikan khusus dan layanan khusus. Guru yang ada dalam satuan pendidikan
tersebut berhak atas TPG-nya. Contoh SLB sebagai satuan layanan khusus, berapa
pun jumlah siswa dalam 1 rombel di SLB, guru tetap dibayar TPG-nya. (FURQON)