Oleh: Alliya Rahmania
Kenyataan yang saat ini harus dihadapi oleh para
pelaku bisnis di dunia migas Indonesia adalah keputusan dari menteri ESDM
Ignatius Jonan yang mengeluarkan Permen ESDM No 8 Tahun 2017 mengenai kebijakan
mengganti skema PSC (Production Sharing Contract) atau Cost Recovery menjadi
skema Gross Split. Kebijakan ini didasari oleh penerimaan Negara bukan pajak
(PNBP) dari industri migas yang dirasakan pemerintah terus menurun secara
signifikan.
Pada tahun 2014 besaran PNBP dari sektor migas
berada di kisaran 19 persen. Namun pada tahun 2016 negara hanya mendapatkan
PNBP dari sektor migas sebesar 6 persen. Jika merujuk pada kondisi daya saing
Indonesia di kancah internasional, kondisi Indonesia saat ini mengalami
kenaikan dalam permintaan energi namun, hal tersebut tidak didukung dengan
fakta Indonesia sedang mengalami penurunan produksi dan penyimpanan cadangan
energi.
Terlepas dari kondisi penurunan produksi dan
penyimpanan cadangan energi, saat ini Indonesia juga sedang mengalami penurunan
investasi di sektor migas yang dikarenakan peraturan-peraturan fiskal dan
bisnis Indonesia yang dianggap tidak menarik. Hal ini mengakibatkan anggapan
miring dari investor dan penurunan prospektivitas. Pemerintah menganggap dengan
adanya perubahan skema pembagian hasil akan dapat mendorong usaha eksplorasi
dan eksploitasi menjadi lebih cepat, efektif, dan efisien. Harapan lain yang
diinginkan pemerintah adalah dengan adanya system teranyar ini, bisnis proses
KKKS dan SKK Migas akan menjadi lebih sederhana dan akuntabel.
Tetapi, dengan adanya kebijakan ini, justru
mengakibatkan perpecahan opini publik yang menghasilkan kubu pro dan kontra.
Banyak pihak yang tidak setuju dengan adanya skema Gross Split yang dianggap
memperburuk investasi migas dan memberatkan para pelaku di bisnis migas itu
sendiri karena, dengan diterapkannya skema Gross Split, seluruh risiko kini
hanya ditanggung oleh kontraktor dan pemerintah tidak terlibat dalam pembagian
resiko tersebut dan hal ini menyebabkan sulitnya kontraktor untuk
mengeksplorasi area-area berisiko tinggi. Namun ada juga beberapa pihak yang
pro dengan adanya keputusan skema Gross Split yang bertujuan dapat
menghilangkan praktek mark up atau manipulasi cost of production antara SKK
Migas dengan KKKS.
Namun, beredarnya opini pro-kontra saat ini, tak
menyurutkan niat pemerintah untuk meresmikan kebijakan ini. Bagi beberapa
pelakon industri migas, mereka menyayangkan sikap pemerintah dengan meresmikan
kebijakan Gross Split yang dianggap terburu-buru melihat kenyataan bahwa India
yang sudah lebih dulu menerapkan kebijakan Gross Split pun tidak dapat membuat
perubahan yang signifikan.
Isu-isu yag beredar saat ini tak mungkin tak menjadi
pertimbangan bagi pemerintah dalam menerapkan skema Gross Split. Oleh karena
itu, untuk melihat lebih jauh perbedaan antara skema Gross Split dan skema PSC
atau Cost Recovery, berikut adalah beberapa perbedaan antara kedua skema
tersebut.
Gross split
1. Pendapatan/produksi dibagi antara pemerintah dan
kontraktor
2. Pemerintah tidak berbagi resiko biaya produksi
dan hanya menerima bagian dari pendapatan kotor penjualan
3. Besaran laba kotor disesuaikan berdasarkan
keuntungan yang diperoleh oleh kontraktor sehingga bersifat progresif dan
adjustable
Cost Recovery
1. Keuntungan dibagi antara pemerintah dan
kontraktor
2. Pemerintah dan kontraktor berbagi risiko biaya
3. Kontraktor harus menentukan klasifikasi biaya
yang berpotensi adanya mark up dari KKKS