sukabumiNews.net, KEBERAGAMAN (pluralitas)
di masyarakat itu sebuah niscaya. Sunnatullah. Beragam agama, ras dan suku.
Keberagaman akan terus ada di masyarakat dan tak akan pernah hilang. Islam
dengan konsep sebuah negara hadir mengakomodasi keberagaman tersebut. Keberagaman
terjaga dengan rapi dan indah dibawah sistem Khilafah Islamiyah. Tidak ada
uniformisasi dan eksklusifitas jika syariat Islam diformalisasikan dalam
undang-undang negara. Lalu apa yang dikhawatirkan? Di bawah otoritas hukum
Islam, entitas-entitas selain Islam tidak dipaksa mentah-mentah untuk masuk ke
dalam agama Islam, atau diusir dari negara Islam. Mereka mendapatkan
perlindungan dan hak yang sama seperti kaum muslim. Mereka tidak diintimidasi
dan diganggu serta dapat hidup berdampingan satu dengan yang lain. Mereka
dibiarkan beribadah sesuai agama dan kepercayaannya. Islam melindungi
“kebebasan mereka” dalam hal ibadah, keyakinan dan urusan-urusan privat mereka.
Ini adalah kemuliaan
ideologi Islam yang tak dimiliki oleh ideologi yang lain. Islam yang lengkap
mengatur urusan manusia, mulai dari hubungannya dengan Sang Khalik (hablum
minallah), dengan dirinya sendiri (hablum minnafsihi) dan dengan sesamanya
(hablum minannas). Paripurna. Mengayomi semua kalangan baik muslim maupun
nonmuslim. Islam dengan sistem Khilafahnya adalah solusi paripurna atas segala
permasalahan yang terjadi di penjuru negeri muslim yang disekat-sekat oleh
nasionalisme, yang dikerat-kerat oleh ashobiyah kesukuan dan golongan. Khilafah
hadir untuk menyatukan kita semua, kaum muslimin, apapun madzhabnya.
Formalisasi syariat Islam
dalam koridor negara sejatinya tidak pernah mengancam keberagaman di tengah
masyarakat. Ketakutan dan kekhawatiran tersebut terjadi akibat pengarus-opinian
isu yang disebarkan tanpa dasar yang jelas dan tentunya ada upaya mencegah
formalisasi syariat Islam itu sendiri. Apalagi ditambah dengan awamnya
masyarakat terhadap sejarah dan nash syariat. Selain itu, adanya pobia atau
hiperpobia akibat isu miring yang beredar tentang hakikat syariat Islam yang
dikesankan horor, yang jika diterapkan akan menimbulkan chaos berdarah-darah.
Apabila kita meninjau dari sisi sejarah dan nash-nash syariat yang lurus, akan
kita dapati bahwa isu tersebut sama sekali tidak benar.
Tinjauan Historis
Di jaman Nabi SAW, ketika
Negara Islam ditegakkan di Madinah masyarakatnya plural. Ada kaum muslim,
Yahudi, Nashrani dan juga kaum Musyrik. Mereka hidup berdampingan dibawah
otoritas hukum Islam. Entitas-entitas nonmuslim tidak dipaksa masuk Islam.
Masyarakat Islam menjadi inklusif bersama yang lain.
Dalam klausul 13-17 Piagam
Madinah yang dicetuskan Rasulullah saw disebutkan sebagai berikut, “Orang
mukmin tidak boleh membunuh orang mukmin untuk kepentingan orang kafir, juga
tidak boleh menolong orang kafir dalam memusuhi orang mukmin. Janji
perlindungan Allah adalah satu. Mukmin yang tertindas dan lemah, akan
memperoleh perlindungan hingga menjadi kuat. Sesama mukmin hendaknya saling
tolong-menolong. Orang-orang Yahudi yang mengikuti langkah kami (Muhammad),
mereka memperoleh perlindungan dan hak yang sama; mereka tidak akan dimusuhi
dan tidak pula dianiaya. Perjanjian damai yang dilakukan oleh orang-orang
mukmin haruslah merupakan satu kesepakatan. Tidak dibenarkan seorang mukmin
mengadakan perdamaian dengan meninggalkan yang lain dalam keadaan perang di jalan
Allah, kecuali telah disepakati dan diterima bersama.” (lihat Sirah Ibnu
Hisyam; hal.341-344; Sirah Ibnu Ishhaq; hal.101; Abu Ubaid, no.517, Ibnu
Zanjawaih, dalam kitab al-Amwal (dari Zuhdi), lembaran 70A-71B, Umar
al-Mushili, dalam kitab Wasiilat al-Muta’abidin, juz 8; hal 32B; Sirah Ibnu
Sayid an-Nas (dari Ishhaq dan Ibnu Khaitsamah)I/198; Ibnu Katsir 3/224-226;
Abdul Mun’im Khan, no.79. Bunyi teks tersebut sesuai dengan klausul 13-17
Piagam Madinah).
Fathiy Syamsuddin Ramadhan
an-Nawiy dalam bukunya yang berjudul “Panduan Lurus Memahami Khilafah
Islamiyyah Menurut Kitab Kuning” menyatakan bahwa kaum Yahudi yang dimaksud
dalam piagam Madinah adalah orang-orang Yahudi yang ingin menjadi bagian dari
penduduk negara Islam. Karena merupakan bagian dari rakyat negara Islam, mereka
mendapatkan perlindungan dan hak yang sama dalam muamalah. Dalam piagam Madinah
tersebut disebutkan nama-nama kabilah Yahudi yang mengikat perjanjian dengan
Rasulullah saw (menjadi bagian Daulah Islamiyyah), yakni Yahudi Bani ‘Auf, Yahudibani
Najjar, dan sebagainya.
Setelah Negara Islam
meluas ke jazirah arab, Nabi saw memberikan perlindungan atas jiwa, harta dan
agama penduduk Jarba’, Ailah, Adzrah, Maqna, yang mayoritas penduduknya
beragama Kristen. Juga kepada penduduk Khaibar yang mayoritas beragama Yahudi.
Juga kepada penduduk Juhainah, Asyja’, Bani Dlamrah, Najran, Aslam, Muzainaah,
Juza’ah, Jidzaam, jarsy, Qadla’ah, orang-orang Kristen di Bahrain, Bani Mudrik,
Ri’asy, dan masih banyak lagi (Fathiy Syamsuddin Ramadhan an-Nawiy, Panduan
Lurus Memahami Khilafah Islamiyyah Menurut Kitab Kuning, Wadi-Press, Jakarta,
hal.111; Prof. Dr. Mohammad Hamidullah, Majmuu’atu al-Watssaiq al-Siyaasiyyah
li al ‘Ahd al-Nabawiy wa al-Khilaafah al-Raasyidah, ed.6, 1987, Daar
al-Nafaais, Beirut, Libanon, hal 116-123, hal.165-289).
Dari hal tersebut dapat
kita simpulkan bahwa; Pertama, masyarakat Madinah bersikap inklusif terhadap
masyarakat yang sifat alaminya beragam. Kedua, Negara Islam (Daulah/ Khilafah
Islamiyah) menjamin dan melindungi keberagaman (pluralitas) di tengah umat dan
tidak menghendaki uniformisasi. Jadi tak perlu takut dengan formalisasi syariat
Islam dalam koridor negara.
Di zaman Kehilafahan Islam
juga demikian. Kekuasaan Khilafah Islamiyah yang mencakup 2/3 dunia dan
membentang mulai dari Jazirah Arab, Syam, Afrika, Hindia, Balkan, dan Asia
tengah berhasil mewujudkan keadilan, keamanan dan kesejahteraan kepada seluruh
warga negaranya, baik muslim maupun nonmuslim. Penduduk Palestina yang terdiri
dari umat Islam, Kristen dan Yahudi hidup berdampingan dengan damai tanpa
permusuhan. Di Andalusia pun juga demikian keadaannya.
Pemerintahan Khilafah
Islamiyah juga pernah memberikan perlindungan kepada para pengungsi Yahudi yang
lari dari inkuisisi Spanyol pasca jatuhnya pemerintahan Islam di Andalusia
(tahun 1519 M), pernah mengirimkan bantuan pangan kepada pemerintah Amerika
Serikat pasca perang melawan Inggris (abad ke-18), juga kepada Raja Swedia yang
diusir tentara Rusia dan mencari suaka politik ke Khalifah (tahun 1709 M).
Khalifah juga pernah memberikan izin dan ongkos kepada 30 keluarga Yunani yang
telah bermigrasi ke Rusia namun ingin kembali ke wilayah Khilafah karena di
Rusia tidak sejahtera (Fathiy Syamsuddin Ramadhan an-Nawiy, Panduan Lurus
Memahami Khilafah Islamiyyah Menurut Kitab Kuning, Wadi-Press, Jakarta,
hal.114).
Tinjauan Syariat
Agama Islam adalah agama
universal bagi seluruh umat manusia. Nash-nash syariat Islam sejatinya tidak
hanya berlaku bagi kaum muslim, tapi juga berlaku untuk semua umat tanpa
membedakan SARA. Universal, dalam arti nonmuslim wajib terikat dengan syariat
Islam ‘hanya’ pada aspek-aspek tertentu saja seperti hukum-hukum yang
menyangkut masalah muamalah, pidana, pemerintahan dan sebagainya. Hukum-hukum
yang juga akan diberlakukan kepada nonmuslim adalah hokum-hukum yang
pelaksanaannya tidak mensyaratkan adanya keimanan dan keislaman terlebih dahulu
dan tidak ada nash umum yang mengecualikan pelaksanaannya bagi nonmuslim. Maka
jika nonmuslim mencuri maka akan dikenai hukuman potong tangan, jika berzina
maka akan dikenai had zina, dan sebagainya.
Jadi jelas bahwa
orang-orang nonmuslim tidak pernah dipaksa untuk masuk Islam. Ibadah dan
keyakinan mereka dijamin oleh negara. Keragaman budaya, agama dan pandangan
hidup selain Islam tidak diberangus. Namun seorang muslim diwajibkan untuk
‘mengajak’ nonmuslim untuk memeluk agama Islam. Islam yang rahmatan lil
‘alamin, membawa berkah untuk seluruh umat manusia. Jika nonmuslim menolak,
mereka tidak dipaksa dan dibiarkan tetap memeluk agama dan keyakinannya. Dalam
Al-Quran Allah swt berfirman: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agam (Islam).
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu
barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak
akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (TQS. Al Baqarah
[2]:256)
Namun demikian, jika ada
orang muslim yang murtad dari agama Islam maka akan dikenai sanksi hukuman mati
dari Negara Islam. Begitu pula seorang muslim yang meyakini dan menyebarluaskan
ide-ide sekulerisme, sosialisme, liberalisme dan sebagainya akan dikenai sanksi
ta’zir (ditetapkan qadhi). Hal ini bukan melanggar hak kebebasan, namun ada had
riddah (sanksi bagi orang murtad) dalam hukum Islam (Abdurrahman Al-Maliki dan
Ahmad Ad-Da’ur, Sistem Sanksi dan Hukum Pembuktian dalam Islam, Pustaka
Thariqul Izzah, hal.117-122).
Memandang Pluralitas
Keberagaman (pluralitas)
agama, keyakinan dan budaya bukanlah ancaman. Islam mengakui pluralitas di
tengah masyarakat dan mengakomodasinya. Dalam konteks Negara, Islam tidak
memaksakan penyeragaman (uniformisasi) atas hal tersebut dan tidak bersikap
eksklusif terhadap warga nonmuslim (inklusif). Klaim kebenaran (truth claim)
dari masing-masing agama atau keyakinan bukanlah faktor penyebab terjadinya
konflik antara satu sama lain karena itu adalah identitas yang melekat pada
masing-masing agama atau keyakinan yang ada.
Namun sayangnya, Islam
(Khilafah) cenderung dibenturkan dengan keberagaman (pluralitas) dan dijadikan
sebagai pihak tertuduh (kambing hitam) penyebab munculnya chaos dan
ketidakadilan. Padahal kita tahu, saat ini ketimpangan ekonomi yang terjadi,
tidak meratanya distribusi kekayaan (yang menumpuk pada segelintir orang),
maraknya pergaulan bebas, munculnya kelompok LGBT (lesbian, gay, biseks dan
transgender), merebaknya pedofilia, tumpulnya hukum atas penistaan agama,
justru terjadi saat negara tidak diatur dengan sistem khilafah dan syariat
Islam. Bukankah semua kebobrokan ini terjadi saat pluralisme yang absurd
didengungkan, demokrasi yang rapuh dibela, kapitalisme yang mau ambruk masih
saja ditambal-sulam ditutup-tutupi kelemahannya serta sekulerisme yang
menjauhkan manusia dari Tuhannya berusaha dijejalkan ke benak masyarakat?
Sudah saatnya kita menilai
Islam dan syariatnya secara adil tanpa harus bersikap defensive apologetic
terhadap apa saja yang dinashkan oleh syariat. Tak perlu kita menutupi
ketegasan hukum-hukum Islam, jika akibatnya justru menimbulkan mispersepsi di
tengah masyarakat dan membuat kesimpulan yang keliru tentang hakikat kebenaran
ajaran Islam. Adillah. Jujurlah. Proporsionallah. Sampaikanlah, bahwa Islam
mengakomodasi pluralitas tanpa terjebak dengan ide pluralisme yang justru
membuat yang haq (benar) dan batil (salah) menjadi samar. Wallahu a’lam
bishshawwab.[VM]
Penulis : Emma Lucya F, S.Si
Pemerhati Masalah Perempuan, Keluarga dan Generasi
(PKG)
Sumber: visimuslim.net